Intoleransi di sekolah ada tetapi sering kali tidak disadari karena dianggap hal biasa. Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia mengembangkan program pendidikan damai di sekolah untuk mempromosikan toleransi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Maraknya isu intoleransi yang terjadi di sekolah membuat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia mengambil inisiatif mengembangkan program pendidikan damai di sekolah. Berbeda dengan pendidikan agama pada umumnya yang menekankan kepada pelaksanaan ritual ibadah, program ini mendorong agar siswa lintas agama saling berdiskusi terkait nilai-nilai kebaikan universal dalam semua ajaran agama.
Program ini diselenggarakan sejak Januari 2019 di tiga sekolah percontohan di Tangerang Selatan, Banten, yaitu SMAN 6, SMKN 3, dan SMK Al Mubarok. Mereka membangun jejaring toleransi dengan siswa sebagai ujung tombak untuk advokasi kesetaraan, penghargaan terhadap keragaman, dan pencegahan masuknya ideologi ekstrem dan anti inklusivitas ke sekolah.
“Idenya muncul terinspirasi dari inisiatif AGPAII (Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam) tahun 2014 yang mempertemukan para guru agama Islam dari golongan Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah,” kata Ketua AGPAII Tangsel Tajudin ketika ditemui di SMAN 6 Tangsel, Kamis (9/1/2020).
Ia mengungkapkan, sebelum kegiatan temu guru lintas aliran dalam Islam itu terjadi terdapat banyak prasangka dari para peserta. Namun, setelah menjalani kegiatan selama tiga hari mereka melihat bahwa ternyata di balik perbedaan pendekatan beragama itu ternyata lebih banyak persamaan nilai-nilai kebaikan universal yang semestinya bisa mempererat persaudaraan.
Berdasarkan konsep itu, AGPAII menginisiasi program serupa untuk siswa. Dari asesmen yang dilakukan ke berbagai sekolah, tiga sekolah di Tangsel tersebut dinilai memiliki kesiapan dari segi heterogenitas, visi kepala sekolah yang berwawasan kebangsaan, dan kebijakan sekolah yang mendukung penghargaan atas berbagai keragaman latar belakang siswa dan guru.
“Intoleransi di sekolah ada tetapi sering kali tidak disadari karena sudah dianggap sebagai hal biasa. Padahal, ini justru berbahaya karena mengembangkan stigma yang dibawa oleh siswa sampai mereka tumbuh dewasa,” kata Tajudin.
Intoleransi di sekolah ada tetapi sering kali tidak disadari karena sudah dianggap sebagai hal biasa.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada November 2017 meluncurkan penelitian berjudul “Api dalam Sekam” yang memotret sikap keberagamaan 1.589 siswa SMA, SMK, madrasah aliyah, serta 322 guru dan dosen pendidikan agama Islam. Penelitian dilakukan di 68 kabupaten/ kota di 34 provinsi.
Aspek pendidikan agama yang ditekankan di sekolah adalah hidup jujur, disiplin, dan bekerja keras yang mencakup 47,55 persen dari total materi. Diikuti mengenai tata cara berpakaian sesuai Al Quran dan sunah, yaitu 28,08 persen. Materi menghargai perbedaan orang lain hanya 12,96 persen.
Sebanyak 69,3 persen guru dan dosen terungkap pernah mengikuti aksi intoleran terhadap orang-orang yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Sementara 24,2 persen pernah terlibat aksi intoleran terhadap kelompok non-Muslim. Demikian pula dengan siswa dan mahasiswa. Sebanyak 34 persen pernah terlibat aksi intoleran terhadap komunitas tertentu dalam Islam. Terhadap kelompok non-Muslim, 17,3 persen pernah ikut aksi intoleransi.
Keragaman mendasar
Menurut Tajudin, program pendidikan damai di sekolah tidak hanya menyasar kepada toleransi antarsiswa berbeda agama dan suku bangsa, tetapi juga perbedaan pendekatan beragama di antara siswa yang beragama sama. Targetnya ialah membangun budaya kelas heterogen dan saling menghargai. Prasangka muncul karena tidak saling mengenal. Merancang kelas yang heterogen memungkinkan siswa secara alami membangun pertemanan dan dialog. Guru bertindak mengembangkan topik pembahasan antara siswa agar tidak hanya di permukaan.
Program pendidikan damai di sekolah tidak hanya menyasar kepada toleransi antarsiswa berbeda agama dan suku bangsa, tetapi juga perbedaan pendekatan beragama di antara siswa yang beragama sama.
Tujuan kedua adalah budaya sekolah yang benar-benar merayakan keragaman, bukan sekadar formalitas seperti menyediakan pelajaran agama bagi semua siswa karena itu merupakan kewajiban lembaga pendidikan. Sekolah hendaknya memiliki kebijakan antiperundungan berbasis perbedaan agama, suku bangsa, status sosial ekonomi, maupun aspek lainnya.
“Kebijakan pro keragaman juga mencakup kepekaan sekolah terhadap ragam di dalam satu kelompok agama. Misalnya, di sekolah negeri siswi Muslim jangan dipaksa mengenakan atribut keagamaan karena cara setiap keluarga mempraktikkan nilai keagamaan beragam. Sekolah memiliki pemahaman batasan kebijakan yang umum dengan yang sudah menyasar ranah privat,” tutur Tajudin.
Ia mengatakan, saat ini fokus pendidikan damai ini adalah membangun kontra narasi ekstremisme di kalangan ekstrakurikuler Rohani Islam. Penekanannya adalah memahami istilah “jihad” sebagai perjuangan personal untuk berbuat kebaikan terhadap sesama tanpa pamrih dan melihat latar belakang orang lain. Setelah itu, program berkembang kepada membangun dialog antarsiswa lintas agama, misalnya melalui forum Rohani Islam dengan Rohani Kristen.
Di SMAN 6 Tangsel, kebiasaan dialog ini sudah berjalan sebelum program pendidikan damai masuk ke sekolah. Namun, sejak ada pendidikan damai ini dialog yang terjadi menjadi kian intensif. Kepala SMAN 6 Tangsel Agus Hendrawan mengatakan, pihaknya biasa memanggil tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat untuk memberi motivasi kebangsaan di sekolah.
Anggota rohis yang juga kader Academy of Show Your Ideas for Peace, gerakan yang digagas AGPAII untuk membangun jejaring rohis advokat perdamaian, Vindo Raidansyah, mengaku dirinya kini banyak bertanya kepada teman-teman lintas agama mengenai konsep beragama yang mereka praktikkan.
“Ternyata tidak banyak berbeda dengan konsep beragama yang saya pelajari sejak kecil. Dulu, meskipun sekelas saya jarang ngobrol dengan teman berbeda agama. Sekarang justru jadi akrab,” ujar siswa kelas XII-IPA 1 ini.
Dulu, meskipun sekelas saya jarang ngobrol dengan teman berbeda agama. Sekarang justru jadi akrab.
Teman Vindo, anggota Rohani Kristen SMAN 6 Tangsel, Rafael Vito Adrian menuturkan, dialog sangat bermanfaat untuk menghilangkan kecurigaan. Selama ini, ia dan teman-teman di Rohani Kristen kerap membaca dan menonton berita tentang terorisme. Mereka penasaran terhadap konsep perdamaian yang dipercaya umat muslim maupun umat beragama lainnya. Melalui dialog antarsiswa ini mereka bisa belajar lebih dalam tentang nilai-nilai berbagai agama tanpa merasa diceramahi.