Nasib Guru Agama Masih Terpinggirkan
Pendidikan agama penting untuk pembentukan iman dan takwa siswa. Namun, nasib guru-guru agama di sekolah masih terpinggirkan. Jumlah mereka terbatas dan sebagian besar masih berstatus honorer.
JAKARTA, KOMPAS — Kehadiran guru agama menjadi bagian penting untuk membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa. Namun, pendidikan agama di sekolah kurang teperhatikan karena minimnya tenaga pengajar.
Sebagian besar guru agama masih berstatus honorer dan jumlahnya terbatas. Pengangkatan guru agama belum menjadi komitmen karena kegamangan pemerintah daerah tentang status guru agama di sekolah umum yang dinaungi dua kementerian, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Berdasarkan jumlah rombongan belajar di sekolah negeri yang didata Kemendikbudristek, dibutuhkan sekitar 350.000 guru agama sesuai peta agama peserta didik. Namun, sampai sekarang baru tersedia sekitar 107.000 guru agama berstatus aparatur sipil negara (ASN) sehingga masih dibutuhkan sekitar 242.000 guru agama berstatus ASN.
Dari dua tahap seleksi ASN pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) tahap 1 dan 2 tahun 2021, formasi guru agama memang minim diajukan pemda. Bahkan, banyak daerah tidak menyediakan formasi guru agama sehingga para guru agama yang sebagian besar berstatus honorer kehilangan kesempatan menjadi ASN PPPK seperti guru mata pelajaran lainnya.
Karena itulah keterbatasan guru agama masih saja terjadi di sejumlah daerah. Di Kota Malang, Jawa Timur, misalnya, jumlah guru agama Islam sebanyak 536 orang, sedangkan jumlah lembaga pendidikan dari SD hingga SMA di sana sekitar 800 sekolah.
Kekurangan guru agama Islam tersebut akibat jumlah guru yang pensiun lebih banyak daripada guru baru. Akibatnya, banyak guru mengajar melebihi waktu yang ditentukan, yakni 40 jam per minggu, guna menutup kekurangan guru tersebut. Padahal, sesuai aturan, guru mestinya mengajar 24 jam per minggu.
Keberadaan guru agama di Sumatera Selatan juga belum memadai. Beberapa sekolah menggunakan jasa guru honorer untuk membantu mengajar agama. Bahkan, ada sekolah yang terpaksa tidak menyediakan guru agama untuk siswa non-Muslim karena tidak memiliki anggaran.
Kepala SD Negeri 13 Palembang Erma mengatakan, sebanyak 610 siswa di sekolahnya hanya diajar oleh dua guru agama Islam, salah satunya guru honorer. Setelah berkurang satu guru agama, Erma akhirnya membebankan jam tambahan pada dua guru yang tersisa. Pilihan untuk menambah guru honorer tidak bisa dilakukan karena sekolah tidak memiliki anggaran.
Sekolah juga tak mampu membayar guru honorer guru agama non-Muslim. Akibatnya, 10 siswa beragama non-Muslim tidak bisa belajar agama sesuai keyakinan mereka di sekolah. Meskipun begitu, siswa tetap berada di kelas selama jam pelajaran agama Islam berlangsung.
Karena tidak memiliki guru agama, mereka akhirnya meminta nilai di tempat ibadahnya. ”Untuk yang Kristen, kami minta nilai dari gereja,” kata Erma.
Edi Rismawan (30), guru agama honorer SD Negeri 13 Palembang, berharap dirinya dapat segera memiliki status yang jelas. Selama enam tahun mengabdi, ia harus mengais jam ajar di dua sekolah. ”Saya mengajar di sekolah ini dan SMK 5 Palembang dengan jam ajar yang sama, yakni 24 jam per minggu,” kata Edi.
Bedanya, untuk di SDN 13, dia digaji per bulan, sedangkan di SMK 5, Edi digaji per jam pelajaran. ”Jika ditotal, setiap bulan saya mendapatkan sekitar Rp 2,2 juta per bulan. Hanya, pembayaran dilakukan per tiga bulan sekali,” kata Edi.
Sementara itu, guru agama Kristen di SMK Pertanian Pembangunan Sembawa di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Amser Simanjuntak, berharap agar formasi guru agama ada kejelasan. Selama ini, tidak semua sekolah menyediakan guru agama Kristen karena tidak ada anggaran dan tidak ada ruangan.
Sekolah akhirnya meminta siswa mengajukan nilai agama dari gereja masing-masing. Padahal, gereja belum tentu memberikan pelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang diajarkan di sekolah.
Di Jakarta, belum semua siswa beragama Khonghucu bisa mendapat pendidikan agama sesuai keyakinan. Bahkan, peserta didik dan orangtua harus membuat surat pernyataan ingin mengikuti pelajaran agama Khonghucu.
Bahkan, dalam proses pun peserta didik dan orangtua harus membuat surat pernyataan ingin mengikuti pelajaran agama Khonghucu. Padahal, sekarang sudah 22 tahun sejak almarhum Presiden keempat Republik Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memulihkan agama Khonghucu di Indonesia.
Baca juga : Inisiatif Pendidikan Damai oleh Guru Agama
Mengusulkan
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia Mahnan Marbawi menyampaikan, di asosiasinya tergabung sekitar 235.000 guru Pendidikan Agama Islam di sekolah umum. Sekitar 70 persen di antaranya berstatus guru honorer dengan gaji di bawah upah minimum provinsi.
Menurut Mahnan, dengan adanya penanganan guru agama di sekolah umum oleh Kemenag, Kemendikbudristek, dan pemda, justru eksistensi guru agama tidak jelas. Guru agama di sekolah umum merasa terpinggirkan karena kuota sertifikasi dari Kemenag minim dan lama. Sementara untuk guru mata pelajaran lain cukup banyak karena anggaran dari Kemendikbudristek yang besar.
Kondisi dualisme pengaturan guru agama juga berimbas pada kewenangan pengangkatan ASN PPPK. Saling lempar tanggung jawab kewenangan penyediaan formasi guru agama dari Kemenag, pemda, dan Kemendikbudristek membuat banyak guru agama tidak terakomodasi dalam rekrutmen satu juta guru PPPK.
”Supaya ada kejelasan nasib guru agama, kami mendukung guru agama dikelola Kemenag dengan dukungan anggarannya supaya pemda tidak bimbang soal sumber akun gaji pegawainya,” kata Mahnan.
Mahnan mengatakan, guru agama semakin terpinggirkan karena bukan masuk mata pelajaran ujian nasional di masa lalu. Padahal, pendidikan agama penting bukan hanya untuk membentuk imam dan takwa siswa, melainkan juga membentuk warga negara yang baik dengan landasan iman dan takwa sesuai agama kepercayaan masing-masing.
”Pendidikan agama idealnya bukan sekadar ada. Banyak siswa yang diajar guru mata pelajaran lain hanya karena seiman karena tidak ada guru agama. Padahal, pendidikan agama bukan sekadar pelajaran religius, melainkan harus mampu juga memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan kepekaan spiritual, sosial, lingkungan, dan persoalan kebangsaan,” katanya.
Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam, Kantor Kementerian Agama Kota Malang, Chandra Ahmady mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang serta berkoordinasi dengan kepala sekolah untuk bisa mengangkat guru tidak tetap dari masing-masing sekolah dengan mempertimbangkan latar belakang pendidikan sang guru.
Pendidikan agama bukan sekadar pelajaran religius, melainkan harus mampu juga memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan kepekaan spiritual, sosial, lingkungan, dan persoalan kebangsaan.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Malang Suwarjana, kekurangan guru tidak hanya terjadi pada agama Islam, tetapi juga agama lain. Kekurangan itu ditutup dengan pengangkatan guru tidak tetap (GTT) dan PPPK. Untuk mengangkat GTT, menurut Suwarjana, memang tidak bisa begitu saja dilakukan karena harus melihat kemampuan keuangan sekolah karena sekolahlah yang nantinya membayar gaji.
Pembimbing Masyarakat Kristen Kantor Wilayah Kementerian Agama Sumatera Selatan Bagus Ade Dinata Panjaitan menyampaikan, pihaknya telah mengusulkan pengangkatan guru agama Kristen kepada Kementerian Agama. Hanya, usulan tersebut belum diterima.
”Usulan itu wajar karena penerimaan PNS untuk guru agama Kristen di Sumsel terakhir kali terjadi pada 12 tahun lalu,” kata Bagus.
Kewenangan pengangkatan
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbudristek, Nunuk Suryani mengatakan, jumlah usulan formasi pemda yang tidak mencapai jumlah kebutuhan sebenarnya disebabkan beberapa faktor yang kompleks, terutama kemampuan keuangan daerah. Pada tahun 2021, terdapat total 506.000 formasi yang telah diusulkan oleh pemda dan sekitar 18.000 formasi di antaranya adalah guru agama.
Nunuk menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2010, usulan guru agama merupakan kewenangan Kemenag dan atau pemda. ”Karena kebutuhan guru erat kaitannya dengan sistem pendataan di Data Pokok Pendidikan, Kemendikbudristek telah memfasilitasi perhitungan kebutuhan guru agama hingga verifikasi dan validasi usulan formasi guru agama yang dilakukan oleh pemda di sekolah negeri,” jelas Nunuk.
Saat ini masih dibutuhkan sekitar 242.000 guru agama ASN. Rinciannya sekitar 125.000 guru agama Islam, 57.000 guru agama Kristen, 36.000 guru agama Katolik, 13.000 guru agama Hindu, 8.000 guru agama Buddha, dan 1.000 guru agama Khonghucu. Meski kebutuhannya tinggi, tahun ini usulan formasi guru agama dari pemda yang diajukan hanya sekitar 39.000 guru.
Pemerintah telah mengalokasikan 27.303 formasi guru agama pada seleksi PPPK tahun 2021. Jumlah ini terdiri dari 22.927 guru agama Islam, 2.727 guru agama Kristen, 1.207 guru agama Katolik, 403 guru agama Hindu, dan 39 guru agama Buddha.
Direktur Pendidikan Agama Islam Kemenag Amrullah saat rapat koordinasi teknis pekan lalu menyatakan, tahun ini pihaknya telah memberikan tunjangan profesi guru (TPG) dan tunjangan kinerja untuk menunjang kesejahteraan guru Pendidikan Agama Islam. Namun, ia juga mengakui bahwa pembayaran TPG masih terdapat persoalan terkait kelebihan anggaran untuk PNS. Sebaliknya, anggaran TPG untuk non-PNS justru mengalami kekurangan.
Baca juga : Guru Agama Punya Andil Penting dalam Moderasi Beragama
Dalam perencanaan anggaran ke depan, Amrullah berharap penyiapan data dapat dilaksanakan dengan lebih cermat dan komplet. ”Penyiapan harus menimbang banyak faktor secara komprehensif, misalnya memprediksi mutasi dan usia pensiun sehingga akurasi dapat meningkat untuk seterusnya,” ujarnya. (ELN/MTK/SKA/DKA/RAM/WER/RTG)