Pusaran Kekerasan yang Tak Berjeda
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Negara tidak bisa lagi mengabaikan jeritan korban. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan wujud kehadiran negara.
Kekerasan tak berjeda dalam berbagai bentuk yang dialami perempuan dan anak-anak di Tanah Air menjadi bayangan suram bagi bangsa Indonesia sepanjang masa pandemi Covid-19. Memasuki tahun kedua pandemi, kondisi perempuan dan anak makin terpuruk. Terjebak dalam lingkaran kekerasan berlapis, mulai kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi.
Bahkan, hingga pengujung tahun 2021, kekerasan seksual hampir tak berjeda. Darurat kekerasan seksual, karena kejahatan itu tak lagi kenal tempat, di pelosok desa maupun di kota besar, di rumah maupun publik, keluarga dekat ataupun orang. Kini kekerasan seksual menjadi ancaman terbesar pada perempuan dan anak-anak, bahkan nyawa sejumlah korban pun melayang.
Di kala asa terhadap negara hampir hilang, harapan pada wakil rakyat di Senayan berada di titik terendah, akhirnya jeritan para korban kekerasan seksual sampai juga ke telinga istana.
Suara Presiden Joko Widodo akhirnya keluar. Perintah Presiden kepada dua menteri, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bagai oase di padang pasir di awal tahun 2022.
Setidaknya perintah Presiden membangkitkan (kembali) harapan bagi korban kekerasan seksual yang nyaris terkikis habis, hampir lelah melihat tingkah pimpinan DPR tak juga melangkah ke sidang paripurna untuk menetapkan RUU TPKS sebagai Usul Inisiatif DPR. Suara lantang dan berbagai tindak kekerasan seksual seakan tak mampu menyentuh nurani wakil rakyat.
Sementara di lapangan, kekerasan seksual terus berkembang seiring kemajuan teknologi informasi. Dalam lima tahun terakhir, kekerasan berbasis jender daring (online), mulai dari eksploitasi seksual, pemerkosaan, perbudakan seksual, perkawinan anak, hingga perdagangan orang, semakin masif. Korban terus berjatuhan.
Bahkan, beberapa hari sebelum Desember 2021 berakhir, publik dikejutkan dengan kasus kekerasan berbasis jender secara daring, yang menimpa seorang anak perempuan berusia 14 tahun. Korban diculik, diperkosa, lalu dijual melalui aplikasi online Mi-Chat oleh pelaku menjadi pekerja seks komersial. Selama sepekan, korban dieksploitasi seksual sehingga mengalami trauma.
”Tindakan ini tidak hanya membahayakan fisik dan psikis anak, tetapi juga merusak masa depan, harkat dan martabat korban sebagai manusia,” tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Kamis (30/12/2021).
Pada hari yang sama, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani juga menyatakan keprihatian atas kasus di Bandung. ”Perbuatan mereka sangat tidak berperikemanusiaan dan harus dihukum seberat-beratnya,” tegas Puan dalam keterangan persnya.
Tindakan ini tidak hanya membahayakan fisik dan psikis anak, tetapi juga merusak masa depan, harkat dan martabat korban sebagai manusia.
Kasus di Bandung, hanyalah salah satu kasus kekerasan seksual yang juga termasuk kekerasan berbasis jender secara daring atau kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang menimpa perempuan dan anak di Tanah Air.
Baca juga : Kekerasan Seksual adalah Kejahatan Kemanusiaan
KBGO menjadi fenomena kekerasan seksual yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir, bahkan kasusnya terus meningkat di masa pandemi. Sepanjang tahun 2021, KBGO menjadi laporan tertinggi yang diterima Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta.
Catatan Tahunan (Catahu) LBH APIK Jakarta 2021 menampilkan dari total 1.321 aduan yang masuk ke LBH APIK Jakarta pada tahun 2021, sebanyak 489 kasus merupakan kasus KBGO, disusul kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 374 kasus, tindak pidana umum 81 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 73 kasus, dan kekerasan seksual dewasa 66 kasus.
”Selama lima tahun terakhir, LBH APIK Jakarta melakukan pendampingan, KDRT termasuk kasus tertinggi diadukan. Namun pada 2021, kasus KBGO menempati posisi tertinggi menggeser KDRT,” kata Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum, pada diskusi publik secara daring tentang Potret Situasi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Berbasis Jender dan Seksual Tahun 2021: Sebuah Catatan Akhir Tahun 2021 LBH APIK Jakarta, Jumat (10/12/2021).
Catatan Akhir Tahun LBH APIK Jakarta diperkuat Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 yang diluncurkan Kementerian PPPA, tanggal 27 Desember 2021. Survei Kementerian PPPA bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), prevalensi KGBO yang dialami perempuan berusia 15-19 tahun, baik selama hidup maupun setahun terakhir, tertinggi di Indonesia.
Kejahatan virtual meningkat, menyusul meningkatnya aktivitas masyarakat di dunia maya pada masa pandemi Covid-19. Pembatasan sosial berskala besar, yang berdampak pada terbatasnya aktivitas, memaksa aktivitas sebagian besar masyarakat, terutama anak-anak, beralih pada komunikasi virtual. Bahkan, media sosial menjadi ruang-ruang bertemu tanpa batas.
Keterbatasan orangtua dalam mengawasi anak-anak saat berselancar di media sosial secara daring menjadi celah bagi pelaku untuk beraksi. Apalagi sejumlah aplikasi tidak dilengkapi keamanan digital.
Kondisi itu menyebabkan pelaku bisa membujuk korban dengan berbagai modus, mulai dari menjadi pacar atau dinikahi lalu korban diminta mengirim video atau foto pribadinya. Pelaku tidak hanya mengeksploitasi secara seksual, tapi korban diminta menyerahkan uang dengan ancaman akan menyebarkan foto pribadi korban.
Modus KBGO paling menonjol adalah ancaman penyebaran foto pribadi (malicious distribution). Pelaku biasanya adalah orang dikenal oleh korban, seperti pacar, mantan pacar, suami, mantan suami, teman, dan orang yang baru dikenal korban di media sosial, bahkan ada juga yang tidak diketahui pelakunya (anonymous).
Di Jakarta dan kota-kota besar, sejumlah anak bahkan jadi korban eksploitasi seksual komersial. Pelaku memanfaatkan media sosial untuk ”menjual” korban, dan menempatkan korban di apartemen atau tempat penginapan.
Tak ada ruang aman
Tak ada ruang aman bagi perempuan dan anak. Kekerasan seksual terjadi di mana saja, di wilayah privat maupun publik. Rumah dan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan ruang berlindung bagi perempuan dan anak justru menjadi tempat yang paling tidak aman.
Di wilayah publik, kejahatan kemanusiaan dalam bentuk kekerasan seksual dilakukan secara terbuka dan vulgar. Bahkan, kantor kepolisian yang seharusnya menjadi tempat berlindung rakyat Indonesia pun menjadi lokus kejahatan kemanusiaan. Di Maluku Utara, oknum anggota kepolisian yang seharusnya menjadi pengayom malah menjadi pelaku kekerasan pada perempuan dan anak.
Baca juga : Perkosa 12 Siswa, Guru Pesantren di Bandung Terancam 20 Tahun Penjara
Satuan pendidikan agama berbasis asrama pun tak steril dari kejahatan seksual. Terungkapnya puluhan santriwati berusia 14-17 tahun yang menjadi korban pemerkosaan selama 2016-2021 oleh Herry Wiryawan pimpinan sebuah pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, benar-benar menggores nurani kemanusiaan.
Tempat belajar yang harusnya mewariskan nilai-nilai penghormatan hak asasi manusia justru menghancurkan masa depan anak-anak tersebut. Maka, biadab, itulah kata yang ditujukan publik kepada Herry yang karena perbuatannya delapan santriwati hamil dan melahirkan anak.
Nyonya Iriana Joko Widodo ketika mengunjungi para santriwati di Bandung yang menjadi korban pemerkosaan mengatakan, ”Saya sebagai perempuan sangat sakit sekali, sakit sekali,” ujar Iriana yang berharap semoga tidak ada korban yang lain seperti anak-anak tersebut.
Tak hanya mengalami mimpi buruk, kekerasan berlapis yang dialami para perempuan dan anak-anak mendorong sejumlah korban ”memilih” jalan terakhir dengan ”mengakhiri” hidupnya, seperti yang dialami NW, mahasiswa yang bunuh diri di makam ayahnya di sebuah desa di Mojokerto, Jawa Timur.
Di sisi lain, pandemi yang berlangsung hampir dua tahun tidak menghentikan praktik perkawinan anak. Sama seperti tahun sebelumnya, permohonan dispensasi perkawinan anak di tahun 2021 masih berada di atas 60.000, yakni 62.519 perkara (sampai 17 Desember 2021). Tahun 2020, sebanyak 64.000 perkara. Pandemi mendorong orangtua menikahkan anak-anaknya dengan berbagai alasan, antara lain ekonomi dan pergaulan bebas.
Kendati sudah ada Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mengatur batas usia perkawinan yang sebelumnya usia 16 untuk perempuan 19 untuk laki-laki, menjadi 19 tahun untuk perempuan dan laki-laki, kenyataannya perkawinan anak tetap terjadi, dengan permohonan dispensasi atau tidak.
Darurat kekerasan seksual
Menteri PPPA Bintang Darmawati berulang kali mengingatkan bahwa saat ini Indonesia berada dalam darurat kekerasan seksual. Bintang pun menyerukan kepada semua pihak jangan diam saja ketika mengetahui adanya kasus kekerasan seksual.
Kekerasan seksual menempati posisi kasus yang paling banyak terjadi di sepanjang 2021. Berbagai survei, kajian, atau catatan lembaga/organisasi perlindungan perempuan dan anak menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan paling berbahaya yang dialami perempuan dan anak.
Tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak selama setahun terakhir terlihat secara jelas dalam dua survei Kementerian PPPA, yakni Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021.
Baca juga : Darurat Kekerasan Seksual
Selama satu tahun terakhir, SPHPN tahun 2021 menemukan 1 dari 11 perempuan (usia 15-64 tahun) mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan dan nonpasangan. Sementara SNPHAR menemukan anak-anak perempuan dan laki-laki berusia 3-17 tahun juga mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, yakni 3 dari 10 anak perempuan, dan 2 dari 10 anak laki-laki mengalami satu jenis kekerasan atau lebih.
Selain lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan, korban yang mengalami kekerasan fisik/seksual mayoritas justru berpendidikan SMA ke atas dan lebih banyak dialami oleh perempuan yang bekerja.
Tingginya kekerasan terhadap perempuan juga dibuktikan dalam data kolaborasi lembaga pemerintah dan masyarakat sipil, yakni Kementerian PPPA melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Sintaspuan, dan Forum Pengada Layanan (FPL) bagi perempuan korban kekerasan melalui Titian Perempuan.
Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan, sepanjang tahun 2021 (Januari-Juni 2021) mencatat, dalam periode tersebut, terdapat 11.830 perempuan menjadi korban kekerasan dan melaporkan kasusnya, yang terdiri dari 9.057 korban (Simfoni PPA), 1.967 korban (Sintaspuan Komnas Perempuan) dan 806 korban (Titian Perempuan FPL). Kasus kekerasan seksual terbesar menyasar anak perempuan, yakni 3.484 kasus.
”Semua ini menunjukkan ada peningkatan yang cukup signifikan pada angka pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam satu tahun terakhir,” kata Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Andy Yentriyani.
”Kompilasi dari data dari ketiga institusi ini juga menunjukkan persoalan kekerasan seksual perlu mendapatkan perhatian yang serius, terutama di tengah keterbatasan kapasitas layanan untuk dapat memenuhi kebutuhan mendesak bagi korban,” ujarnya.
Atas berbagai kasus yang menimpa perempuan, tiga lembaga tersebut merekomendasikan agar Kementerian Agama menguatkan materi terkait kesetaraan jender dalam pendidikan calon pengantin/kursus calon pengantin mengingat kekerasan tertinggi pada ranah privat adalah kekerasan terhadap istri.
DPR dan pemerintah juga didesak segera membahas dan mengesahkan RUU TPKS dengan mengakomodasi secara maksimal kebutuhan korban kekerasan seksual. Draf RUU TPKS yang ada di tangan DPR sekarang perlu dikoreksi bersama dengan melibatkan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
Di tengah darurat kekerasan seksual, DPR menjadi tumpuan harapan terakhir, untuk segera mewujudkan RUU TPKS. Maka, janji Puan Maharani untuk menyelesaikan RUU TPKS secepatnya kiranya terwujud di tahun 2022. Perintah Presiden Jokowi kepada dua menteri semoga akan mendorong pemerintah bergerak cepat bersama DPR mewujudkan payung hukum yang akan melindungi para korban kekerasan seksual. Semoga!