Tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama terus berulang. Pencegahan dan penanganan kasus-kasus itu harus menjadi prioritas
Oleh
TIM KOMPAS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Internasional 2021 justru ditandai dengan terungkapnya sejumlah kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama. Karena itu Kementerian Agama mesti merumuskan regulasi untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di sekolah berbasis agama.
Salah satu kasus kekerasan seksual dilakukan HW (36), pimpinan sekaligus guru di sebuah pesantren di Kota Bandung, Jawa Barat. Sebagaimana diberitakan, pelaku memperkosa belasan santriwati hingga hamil dan melahirkan anak pada kurun 2016-2021. Saat kejadian, para korban berusia 13-16 tahun. Terdakwa terancam hukuman penjara hingga 20 tahun.
Hingga Jumat (10/12/2021) hukuman maksimal pada pelaku disuarakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). DPR didesak segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Itu kebiadaban luar biasa. Anak yang seharusnya di tempat aman, justru pelakunya ada di situ. Kami meminta hukuman maksimal, apalagi korbannya banyak,” kata Wakil Ketua KPAI, Rita Pranawati.
Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA Nahar, bertekad mengawal proses hukum kasus kekerasan seksual di Bandung. Dari informasi yang diterima Kementerian PPPA, 13 anak jadi korban, 8 anak yang hamil melahirkan 9 anak (satu anak melahirkan 2). Diduga jumlahnya lebih dari itu.
Kementerian PPPA menilai pelaku layak dihukum seberat-beratnya atau hukuman maksimum. Pelaku dapat diancam tambahan hukuman kebiri sesuai Pasal 81 ayat 7 Perpu Nomor 1/2016 yang ditetapkan jadi UU Nomor 17/2016.
Pemberatan hukuman kepada oknum guru juga disuarakan P2G. Sebab, pelaku semestinya jadi teladan dan membangun karakter bagi muridnya.
Itu kebiadaban luar biasa. Anak yang seharusnya di tempat aman, justru pelakunya ada di situ. Kami meminta hukuman maksimal, apalagi korbannya banyak.
“Hukuman maksimal penjara seumur hidup dan kebiri kimia bagi oknum guru,” kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G.
Retno Listyarti, Komisioner KPAI mendorong pemulihan psikologi korban karena trauma kekerasan seksual bisa berlangsung amat lama.
Berbagai tempat
Kekerasan seksual di pesantren juga terjadi di Tasikmalaya. Tiga pekan lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya menerima laporan ada seorang guru di salah satu pesantren melakukan kekerasan seksual pada sembilan santriwati. Ketua KPAID Tasikmalaya, Ato Rinanto, dikutip dari Kompas.com, menyatakan para korban berusia 15-17 tahun.
Di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, MAYH (51), guru SD di Desa Rawaapu, Patimuan, ditangkap polisi karena mencabuli 15 siswi di sekolah. Guru yang juga ASN ini mengimingi korban mendapat nilai bagus. ”Itu dilakukan di kelas,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cilacap Ajun Komisaris Rifeld Constatien Baba, Jumat (10/12).
Kementerian PPPA berharap langkah pencegahan serius dari pengelola lembaga pendidikan dan orangtua. “Kami berharap orangtua mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pendidikan,” kata Nahar.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Eni Gustina mengatakan, pendidikan kesehatan reproduksi bisa jadi cara mencegah kekerasan seksual pada anak.
Adapun P2G mendesak Kementerian Agama segera membuat aturan pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama. "Regulasi menteri agama mendesak dibuat, mengingat tingginya angka kekerasan seksual di satuan pendidikan agama," kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.
Peraturan tersebut mendesak karena dari catatan P2G, kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi. Kasus terjadi di 27 kota/kabupaten antara lain Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jawa Timur).
Sejumlah kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama juga terjadi antara lain di Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); dan Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Jembrana (Bali); dan Cianjur dan Garut (Jawa Barat).
Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.
Mayoritas korban adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.
Adapun korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan. Ada juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pondok pesantren di Ogan Komering Ilir.
"Kami mendesak Kemenag, Kementerian PPPA, dan KPAI membuka hotline pengaduan masyarakat perihal tindak kekerasan di satuan pendidikan berbasis agama, sehingga lebih cepat ditindaklanjuti," pinta Satriwan. (SONYA HELLEN SINOMBOR/MEGANDIKA WICAKSONO/DEONISIA ARLINTA)