Kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual terus dinantikan publik, terutama korban kekerasan seksual. Apalagi, masa pandemi tidak menyurutkan terjadinya kekerasan seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
KOMPAS/YOLA SASTRA
Aktivis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Peduli Perempuan menggelar aksi diam dalam peringatan Hari Perempuan Internasional di jalan depan Kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, Senin (8/3/2021). Melalu tulisan di kertas karton mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena angka kekerasan seksual masih relatif tinggi, termasuk di Sumbar.
JAKARTA, KOMPAS — Pengaruh budaya patriarki yang kuat yang hidup di tengah masyarakat hingga kini melanggengkan berbagai praktik kekerasan seksual terhadap perempuan. Kekerasan seksual bukan hanya bentuk penistaan yang merendahkan harga diri, melainkan juga bentuk kejahatan kemanusiaan.
Bahkan, dalam konteks kehidupan beragama, kekerasan seksual sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran kepada Tuhan. Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak dilakukan untuk melindungi perempuan, termasuk anak-anak korban kekerasan.
”Manusia sebagai makhluk yang diciptakan segambar Allah, sebagaimana konsep imago dei sebagai dasar penghormatan akan harkat dan martabat manusia. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah pengkhianatan atas karya cipta Allah sendiri. Dan, pada gilirannya adalah pengingkaran pada Allah sendiri,” ujar Pendeta Krise Gosal, Wakil Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja (PGI), pada webinar ”Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” yang digelar PGI, Senin (7/6/2021).
Selain Krise, hadir sebagai pembicara Willy Aditya (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dan Ketua Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) dan Nur Rofiah, dosen Program Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.
Krise menegaskan, kekerasan seksual kian memprihatinkan karena perbuatan yang merendahkan harga diri dan martabat manusia tersebut terjadi mulai dari ranah publik sampai ruang yang seharusnya menjadi tempat pesemaian bibit-bibit budi pekerti, perdamaian, dan hak asasi, yakni di keluarga, lingkungan pendidikan, dan bahkan lingkungan agama.
”Kami mendukung kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual karena itu akan menjawab kebutuhan perlindungan terhadap korban-korban kekerasan seksual serta menjadi payung hukum untuk mencegah semakin bertambahnya korban kekerasan seksual di Indonesia,” ujar Krise.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Peserta aksi yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (Gemas) untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menggelar aksi, Selasa (17/9/2019), di gerbang DPR, Senayan, Jakarta. Mereka meminta DPR segera mengesahkan RUU PKS.
Memanusiakan manusia
Nur Rofiah pada webinar tersebut membagikan pengalaman Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dalam mengadvokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan berbagai cara, terutama membangun kesadaran bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan ajaran agama Islam. Meskipun ada pula masyarakat yang berpandangan sebaliknya bahwa RUU tersebut bertentangan dengan Islam.
Ia menegaskan, spirit agama Islam adalah memanusiakan manusia. Oleh karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diteruskan karena merupakan bagian dari proses pemanusiaan manusia, terutama perempuan.
”Kita tahu kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan, tetapi juga laki-laki, tapi kekerasan seksual itu menistakan kemanusiaan kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban. Karena itu, melindungi siapa pun, dari menjadi pelaku ataupun menjadi korban kekerasan seksual itu adalah bagian dari mandat beragama, bagian pemanusiaan manusia,” kata Rofiah.
Bahkan, pandangan agama terhadap manusia tidak hanya melihat manusia sebagai makhluk fisik. Sementara kekerasan seksual terjadi karena ada cara pandang terhadap manusia hanya sebatas makhluk fisik, apalagi sebagai makhluk seksual.
”Selama melihat perempuan lebih rendah daripada laki-laki, maka kerentanan perempuan mengalami ketidakadilan, termasuk bentuk kekerasan seksual makin tinggi. Maka, cara menghapus hal tersebut harus dimulai dari bagaimana membangun kesadaran dan cara pandang kemanusiaan, tidak hanya sebatas makhluk fisik, apalagi obyek seksual,” ujar Rofiah.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Baleg DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendapat kesempatan pertama memberikan pandangan, sekaligus menyampaikan usulan penyempurnaan atas NA dan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil. RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Willy Aditya
Adapun Willy mengungkapkan, saat ini Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual DPR sudah dua kali menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid). Panja juga mendengarkan hasil riset Infid soal kekerasan seksual.
”Jadi, kami akan menggelar RDPU seluas-luasnya untuk selanjutnya melanjutkan masa sidang, melakukan pembahasan secara mendalam, dan mungkin dua masa sidang kita butuhkan kemudian itu bisa disahkan sebagai hak inisiatif DPR,” ujar Willy yang berharap prosesnya berlangsung cepat, setidaknya tiga kali masa sidang DPR.