Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Gerakan masyarakat publik untuk mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas dan disahkan menjadi undang-undang terus menguat. DPR diharapkan segera mewujudkan harapan masyarakat tersebut secepatnya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Dewan Perwakilan Rakyat diminta segera mempercepat proses pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Proses tersebut perlu melibatkan partisipasi publik sesuai dengan dukungan masyarakat terhadap pengaturan kekerasan seksual.
Selain kepastian adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang komprehensif, diperlukan pula upaya pemulihan bagi korban, terutama pemulihan fisik, psikis, dan sosial di dalam pengaturan penanganan kekerasan seksual ke depan.
Demikian rekomendasi yang disampaikan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mendengarkan pandangan/masukan dari Infid dan The Bodyshop terkait RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, Selasa (2/2/2021), yang berlangsung semidaring di DPR.
Pada RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya dan diikuti 29 anggota baleg dari perwakilan sembilan fraksi tersebut, Program Officer Infid Megawati menyatakan, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus dilakukan secara komprehensif dan holistik.
”Perbaikan layanan pemulihan korban yang terintegrasi dan terpadu dalam satu atap (one stop crisis centre). Mengedepankan upaya pencegahan dan pendekatan restorative justice dalam penanganan pelecehan seksual nonfisik dengan memperhatikan hak korban,” ujar Megawati yang membacakan rekomendasi Infid.
Pada pertemuan tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar memaparkan Hasil Temuan Studi Kualitatif & Kuantitatif Persepsi, Dukungan dan Respons Masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh Peneliti Kualitatif dan IJRS.
Dalam studi itu tergambar bagaimana publik mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera diberlakukan. Namun, masih banyak yang belum memahami isi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu sendiri.
Adapun prevalensi dalam kasus-kasus kekerasan seksual, yaitu 5 dari 7 orang pernah mengalami kekerasan seksual semasa hidupnya. Dari jumlah tersebut, mayoritas enggan melapor serta tidak mendapatkan penyelesaian atas perkaranya.
Selain itu, masih ada persepsi dan stereotip terhadap perempuan yang menganggap perempuan lebih memiliki peran di ranah domestik. Muncul pula stereotip negatif kepada perempuan.
Perempuan masih disalahkan
Bahkan, sebanyak 45,7 persen responden menganggap perempuan dengan pakaian terbuka itu bukan perempuan baik-baik dan 69,7 persen responden menganggap perempuan diperkosa/dilecehkan adalah karena pakaiannya mengundang. Tak hanya itu, 80,3 persen responden menganggap perempuan itu lemah secara fisik sehingga kerap menjadi korban kekerasan, dan sebanyak 62,8 persen lainnya menganggap kekerasan seksual wajar dialami perempuan daripada laki-laki.
Sementara hal-hal yang terkait dengan penyebab terjadi kekerasan seksual, dari studi tersebut masih ditemukan ada anggapan yang menyalahkan korban kekerasan seksual atas apa yang terjadi. Anggapan yang muncul adalah kekerasan itu terjadi karena tidak ada keamanan di tempat tersebut, perempuan genit/centil/suka menggoda, menggunakan pakaian terbuka, serta suka foto dengan pakaian seksi.
Selain itu, perempuan dianggap tidak bisa menjaga dirinya sendiri, sering keluar malam, dan lemah/tidak bisa melawan/minta tolong, Ada pula anggapan lain tentang kurangnya informasi aturan pemerintah dan karena perempuan tidak menggunakan kerudung.
Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop® Indonesia, menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah mendesak disahkan menjadi undang-undang karena akan memberikan jaminan dan kepastian hukum agar tidak terjadi lagi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan.
Willy pada saat membuka RDPU menginformasikan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan RUU inisiatif Baleg yang masuk Prolegnas Prioritas 2021 dan telah disetujui rapat kerja antara Baleg Pemerintah dan DPD pada 14 Januari 2021.
”Saat ini kita masih menunggu pengesahan RUU Prolegnas 2021 dan RUU Perubahan 2020-2024 dalam Rapat Paripurna DPR. Kita berharap prolegnas segera ditetapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujar Willy.