Pemulihan Pendidikan Jadi Prioritas Utama untuk Kejar Ketertinggalan
Pandemi Covid-19 berdampak pada penurunan capaian hasil belajar, tekanan psikososial, kasus kekerasan pada anak, hingga putus sekolah. Upaya pemulihan mendesak dilakukan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Pemulihan pendidikan menjadi fokus pemerintah, pemerintah daerah, dan sekolah di tahun 2022. Dengan pembukaan sekolah secara terbatas tahun ini, terungkap bahwa penurunan hasil belajar atau learning loss pada peserta didik nyata terjadi.
Fakta tersebut terpantau salah satunya di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dengan adanya siswa yang tidak membaca, terutama di level SD. Tak hanya di kelas rendah, di kelas atas pun ada siswa yang tak lancar membaca, apalagi memahami bacaan.
Jumriani, guru kelas 3 SDN 008 Desa Binai, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan mengatakan, tidak satupun dari 26 siswanya yang sampai pada level membaca dengan memahami, dan satu siswa masih berada di level mengenal huruf. Para siswa yang tinggal di kamp sawit dengan keterbatasan listrik dan internet itu tak menjalani pembelajaran optimal selama penutupan sekolah.
Para mahasiswa program Kampus Mengajar juga menemukan kasus yang sama. Nicodemus Lolonlun (21) yang menjadi relawan di SD YPK Efata Soop di Tanjung Lampu, Kabupaten Sorong, Papua Barat, mendapati siswa kelas 3 SD yang tidak bisa memahami instruksi membuka buku halaman tiga. Setelah dicermati, siswa itu ternyata belum bisa membaca.
Akibatnya, level pembelajaran pun terpaksa diturunkan untuk memastikan 11 siswa bisa mengenal semua huruf dengan benar dan tahu cara menulisnya. Selama penutupan sekolah sejak Maret 2020, pembelajaran siswa tak terpantau.
Selama pandemi, tak hanya kemampuan kognitif mendasar seperti literasi dan numerasi terdampak. Kondisi emosi siswa rupanya turut terpengaruh.
Dari survei kondisi sosial emosional siswa jenjang SD, SMP, dan SMA yang dilakukan Gerakan Sekolah Menyenangkan, pembelajaran jarak jauh (PJJ) menimbulkan emosi negatif. Emosi negatif ini utamanya dipicu masalah kesulitan belajar akibat guru tetap menjalankan pembelajaran konvensional, memberi banyak tugas, dan minim memberikan sentuhan emosional PJJ.
Berbagai dampak akibat pandemi Covid-19 tentunya sudah disadari pemerintah dan semua pemangku kepentingan pendidikan. Ada dampak penurunan capaian hasil belajar, dampak psikososial, peningkatan kasus kekerasan pada anak, hingga putus sekolah.
Berbagai dampak akibat pandemi Covid-19 tentunya sudah disadari pemerintah dan semua pemangku kepentingan pendidikan. Ada dampak penurunan capaian hasil belajar, dampak psikososial, peningkatan kasus kekerasan pada anak, hingga putus sekolah.
Bank Dunia memperkirakan penurunan hasil belajar siswa Indonesia akibat pandemi berkisar 0,9 – 1,2 tahun pembelajaran. Padahal, sebelum pandemi saja, lama bersekolah siswa yang rata-rata 12,4 tahun hanya setara dengan 7,8 tahun pembelajaran.
Sementara dari hasil penelitian Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dengan membandingkan capaian belajar siswa yang menggunakan kurikulum darurat (kurikulum yang disederhanakan untuk mengatasi pembelajaran di masa pandemi) dan kurikulum 2013 secara penuh, penurunan hasil belajar berkisar 4-5 bulan.
Namun, penggunaan kurikulum darurat ternyata efektif mencegah ketertinggalan yang lebih jauh. Bahkan, ini semakin berdampak baik untuk siswa yang terbatas kondisi belajarnya, termasuk siswa dari keluarga tidak mampu.
Mulai Difokuskan
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim memahami dampak learning loss yang harus diatasi. Mulai tahun 2022, fokus untuk pemulihan pendidikan sudah mulai bisa diakselerasi.
Hal ini dilakukan, salah satunya dengan kurikulum yang disederhanakan yang ternyata dapat membantu pemulihan, terutama untuk memperkuat kemampuan literasi dan numerasi dasar di jenjang SD. Di masa pandemi, secara sukarela sekitar 37 persen sekolah telah menggunakan kurikulum darurat dan terbanyak di jenjang SD.
Hasil Asesmen Nasional (AN) yang pertama kali digelar tahun 2021 juga diyakini sebagai masukan penting untuk mengambil langkah tepat pemulihan pendidikan. Sebab, data AN mampu memberikan potret yang detail tentang kemampuan literasi, numerasi, karakter, dan lingkungan belajar tiap sekolah dan tiap daerah.
Adapula dukungan bagi guru dan kepala sekolah untuk terus meningkatkan kemampuan menghadirkan proses pembelajaran yang aktif. Sementara itu, siswa juga didukung untuk dapat membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi, kreativitas, dan karakter, serta menghadirkan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman.
Namun, tantangan untuk pemulihan pendidikan ini juga tak lepas dari komitmen dan dukungan pemerintah daerah dalam mengawal pembukaan sekolah dan memastikan pemulihan pendidikan menjadi prioritas. Sayangnya, belum semua daerah satu frekuensi dalam hal ini.
Dari data Kemendikbudristek hingga Minggu (19/12/2021), baru sebanyak 59,97 persen dari total 538.443 satuan pendidikan yang merespons. Yang melaporkan menggelar PTM sebanyak 140.681 satuan pendidikan (48,61 persen), sedangkan yang masih PJJ 148.755 satuan pendidikan (51,39 persen).
Diagnostik
Kesiapan daerah untuk fokus memulihkan pendidikan dengan dukungan kepala daerah, anggaran, hingga penyiapan guru, kepala sekolah, dan pengawas salah satunya ditunjukkan Kabupaten Bulungan. Penguatan guru dan tenaga kependidikan dilakukan sejak 2017 dengan dukungan program INOVASI.
Pemetaan awal dengan tes diagnostik kognitif yang menjadi bekal bagi guru untuk mengintervensi siswa. Lalu, guru membuat materi ajar sesuai hasil asesmen.
Ada pula pendampingan belajar kepada siswa yang paling tertinggal. Siswa belajar dengan berbagai media sederhana, menyenangkan, dan buku-buku sesuai level kemampuan mereka. Sementara itu, orangtua berpartisipasi dengan mendampingi anak mengerjakan lembar aktivitas siswa serta membacakan buku cerita kepada anaknya
“Pendidikan itu proses memanusiakan manusia. Di masa pemulihan ini kami minta supaya pemetaan kemampuan siswa benar-benar dilakukan. Pembelajaran bukan mengejar target kurikulum tuntas tapi membuat siswa siap dan senang belajar,”kata Bupati Bulungan Syarwani.
Hingga tahun depan, pandemi nampaknya masih membayangi kehidupan umat manusia. Meski demikian, denyut pendidikan tak bisa berhenti agar siswa tak semakin tertinggal. Apalagi perkembangan dunia semakin cepat dengan kemajuan teknologi digital.
Oleh karena itulah, pembelajaran yang terjadi harus dimulai dengan memastikan seberapa jauh ketertinggalan anak agar bisa diberikan intervensi yang tepat. Proses belajar yang benar harus mampu dilalui siswa dengan guru yang juga menguasai proses pengajaran yang berkualitas dengan mengoptimalkan teknologi digital.
Ke depan, pendidikan jangan lagi sekedar berorientasi pada tuntasnya buku teks atau kurikulum tanpa memastikan anak-anak menguasai kompetensi dasar mereka. Dengan demikian, anak-anak siap untuk belajar sesuai dengan kemampuan mereka.