Merdekakan Guru dari Keseragaman, Penyederhanaan Kurikulum Disiapkan
Kemendikbudristek menawarkan kurikulum yang jauh lebih merdeka, bisa dimengerti guru. Dengan kurikulum ini, guru lebih fleksibel, bisa beradaptasi, berkreasi, serta berinovasi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para guru Indonesia masih dijajah keseragaman dan regulasi, tetapi kesejahteraan mereka tidak dijamin dengan baik. Untuk itu, pada tahun 2022 para guru dijanjikan dengan berbagai program dan kebijakan yang akan diluncurkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang membebaskan para guru dari belenggu-belenggu yang tidak membuat mereka fleksibel menjalankan pembelajaran di sekolah.
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim di acara puncak peringatan Hari Guru Nasional 2021 yang digelar di Jakarta International Expo, Kamis (25/11/2021), mengatakan, rekrutmen guru honorer untuk menjadi guru dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) tetap menjadi prioritas. ”Bagaimana guru mau mengajar dengan baik jika tidak dapat menafkahi hidup dengan layak?” kata Nadiem.
Selain itu, akan disiapkan berbagai platform teknologi dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru, yang praktis dan relevan. ”Kami akan menawarkan kurikulum yang jauh lebih merdeka, bisa dimengerti guru, fleksibel, serta bisa beradaptasi, lalu bisa berkreasi dan berinovasi. Kurikulum yang ditawarkan memberikan kemerdekaan kembali pada guru,” kata Nadiem di hadapan perwakilan guru dan tenaga kependidikan berprestasi dan inspiratif dari 34 provinsi.
Kami akan menawarkan kurikulum yang jauh lebih merdeka, bisa dimengerti guru, fleksibel, serta bisa beradaptasi, lalu bisa berkreasi dan berinovasi. Kurikulum yang ditawarkan memberikan kemerdekaan kembali pada guru.
Nadiem menjanjikan kurikulum yang jauh lebih merdeka, tidak membelenggu karena mengikuti filsafat Ki Hadjar Dewantara, yakni Merdeka Belajar dan berpihak kepada murid.
Ria Wilastri, Kepala SMA Negeri 1 Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, mengatakan, kurikulum prototipe sudah diberlakukan di sekolah ini karena menjadi bagian dari 2.500 sekolah penggerak. ”Yang kami rasakan dengan kurikulum sekolah penggerak, apalagi di masa pandemi, pembelajaran berpihak kepada peserta didik, berkualitas, dan menyenangkan,” kata Ria.
Menurut Ria, kini para guru mata pelajaran harus siap berkolaborasi. Sekolah menjalankan pembelajaran berbasis proyek yang menuntut multidisiplin dengan tema teknologi dan lingkungan berkelanjutan.
Memberi fleksibilitas
Saat wawancara khusus dengan harian Kompas, Nadiem mengatakan, penyederhanaan dan perampingan Kurikulum 2013 memberikan fleksibilitas bagi guru dan sekolah diyakini akan mampu mengatasi dampak penurunan capaian pembelajaran atau learning loss yang terjadi di masa pandemi Covid-19. Karena itu, dalam dua tahun ke depan, kurikulum yang disederhanakan atau yang saat ini disebut kurikulum prototipe bisa menjadi pilihan sekolah untuk mencapai pemulihan pendidikan bagi peserta didik.
Menurut Nadiem, keyakinan perlunya menerapkan kurikulum yang disederhanakan berkaca dari implementasi Kurikulum Darurat yang ditawarkan Kemendikbudristek selama penutupan sekolah akibat pandemi Covid-19. Riset besar dilakukan kepada sekitar 20.000 siswa untuk membandingkan dampak learning loss bagi yang menggunakan Kurikulum Darurat dan Kurikulum 2013.
Hasilnya, capaian belajar siswa yang menggunakan Kurikulum Darurat, untuk kompetensi literasi dan numerasinya justru lebih baik daripada siswa yang menggunakan secara penuh Kurikulum 2013. Secara umum, capaian hasil belajar siswa dengan Kurikulum Darurat meningkat empat hingga lima bulan tahun pembelajaran.
”Lebih bagus lagi untuk siswa dengan kondisi sosial ekonomi rendah, penggunaan Kurikulum Darurat meningkatkan capaian hasil belajar sampai delapan bulan. Hal ini dilihat dari anak yang ibunya tidak bisa membaca atau tidak memiliki buku teks pembelajaran di rumah. Hanya dengan menyederhanakan dan merampingkan kurikulum, hampir 80 persen learning loss bisa dipulihkan,” tutur Nadiem.
Nadiem mengatakan, dengan data dan riset yang ada tentang penyederhanaan kurikulum, perdebatan kurikulum untuk menambah hal-hal baru tidak relevan lagi dengan kebutuhan belajar siswa. Sebab, tidak ada korelasi antara banyaknya materi yang diajarkan ke siswa dan kemampuan belajar siswa.
”Hal tersebut sudah menjadi perdebatan lama dan kini selesai. Kami akan menunjukkan datanya yang powerfull bahwa perampingan dan fleksibilitas dalam kurikulum adalah hal yang kita inginkan. Kurikulum yang ditawarkan dengan menggunakan Kurikulum Darurat dan sekarang dikembangkan beberapa aspek. Kurikulum ini tengah dites di sekolah penggerak,” jelas Nadiem.
Bergantung kesiapan sekolah
Meskipun ada kurikulum baru yang sebenarnya merupakan penyederhanaan dari Kurikulum 2013, Nadiem akan menghindari kegaduhan karena tidak semua sekolah akan siap. Karena itu, pilihan untuk menggunakan kurikulum baru diserahkan kepada sekolah. Pendekatan pelaksanaan kurikulum secara sukarela ini dicontohkan dari sekolah-sekolah penggerak.
”Mengacu dari Kurikulum Darurat, pilihannya sukarela saja, tidak pernah memaksa. Sekarang sudah sekitar 36 persen menggunakan Kurikulum Darurat secara diam-diam, tidak ada masalah. Pelaksanaannya bertambah secara organik dan sukarela karena lebih ramping,” ujar Nadiem.
Berdasarkan data di laman sekolah.data.kemdikbud.go.id, ada tiga kurikulum yang berlaku, yakni sekolah yang menggunakan kurikulum mandiri, Kurikulum 2013, dan Kurikulum Darurat. Total yang menggunakan Kurikulum Darurat 37,45 persen atau 76.393 satuan pendidikan dari TK, SD, SMP, hingga SMA/SMK, serta sekolah luar biasa. Penggunaan paling banyak di tingkat SD mencapai 39,45 persen.
Dalam dua tahun ke depan sekolah akan diberi pilihan maksimum untuk menggunakan kurikulum. Sekolah yang siap berubah bisa memakai kurikulum penyederhanaan/kurikulum prototipe. Sementara sekolah yang belum merasa nyaman dan belum siap tetap bisa menjalankan kurikulum yang ada.
”Selama dua tahun ini masa pemulihan learning loss akan terus berjalan dan terus dievaluasi. Tidak ada ganti menteri ganti kurikulum, karena tidak ada paksaan. Menggunakan, tanpa ribet, dan tanpa merasa tertekan. Inilah kekuatan kemerdekaan, tidak perlu memaksakan kehendak, tinggal menunjukkan produk baik. Kalau benar, ya akan ambil. Kami hanya menunjukkan,” papar Nadiem.
Dalam peringatan Hari Guru Nasional 2021, Tanoto Foundation meluncurkan Buku Pembelajaran Aktif di Masa Pandemi. Buku yang ditulis 44 guru dan kepala sekolah tersebut memuat pengalaman dalam menyelenggarakan pembelajaran yang berpihak kepada siswa di tengah tantangan dan keterbatasan karena dampak pandemi.
Data Kemendikbudristek mencatat, 51 juta siswa dan hampir tiga juta guru terkena dampak langsung pandemi yang telah berlangsung hampir dua tahun ini. Selain itu, sebanyak 53,55 persen guru kesulitan mengelola kelas selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan 49,24 persen guru terhambat melaksanakan asesmen PJJ. Guru juga sulit menggunakan teknologi selama PJJ dengan jumlah mencapai 48,45 persen.
”Kami mempersembahkan buku ini untuk memperkaya para guru dan kepala sekolah dalam mengembangkan pembelajaran kreatif dan menyenangkan di masa pandemi demi berkembangnya potensi terbaik anak-anak Indonesia,” kata M Ari Widowati, Direktur Pendidikan Dasar Tanoto Foundation.
Buku ini, menurut Ari, memuat berbagai pengalaman belajar dan mengajar di jenjang SD/MI dan SMP/MTs, praktik-praktik baik dukungan dari kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah, serta pendampingan belajar orangtua kepada anak. Termasuk di dalamnya, pengalaman menyelenggarakan PJJ dengan menggunakan teknologi (daring), tanpa teknologi (luring), pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang dilakukan di sekolah, serta pembelajaran campuran atau blended antara PJJ dan PTM.