Wisata dan Kehidupan di Sekitar Borobudur Tahun 1895
Padahal, Elizabeth R Scidmore menilai, berbeda dengan sejarah agama di Timur Tengah, keberadaan budaya Jawa membuat masyarakat bisa menerima ajaran baru dan meninggalkan kepercayaan lama dengan cara damai.
Sejak penemuan Candi Borobudur oleh Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814, orang Eropa pun berduyun-duyun datang mengunjungi Borobudur yang disebut sebagai salah satu mahakarya peradaban manusia. Pada tahun 1895, perempuan-wartawan pertama National Geographic, Eliza Ruhamah Scidmore, bersama teman-temannya datang mengunjungi Candi Borobudur dan membuat catatan menarik tentang Borobudur yang dituliskan dalam buku Java The Garden of The East.
”Kami menginap di pesanggrahan milik Pemerintah Hindia Belanda. Dari teras besar di penginapan terlihat dua sisi Candi Borobudur samar-samar di kejauhan berdiri menjulang,” Eliza R Scidmore mengawali catatan perjalanannya di Borobudur.
Bangunan pesanggrahan milik pemerintah adalah warisan dari sistem Jalan Raya Pos, pada setiap beberapa pal jalan terdapat pos untuk mengganti kuda serta adanya rumah penginapan yang disiapkan semula untuk pegawai pemerintah kolonial yang bepergian di Jalan Raya Pos dan wilayah pedalaman, yakni kerajaan di Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta.
Baca juga : Ketika Pakualam V Menerima Perempuan Wartawan dari Amerika
Terlihat teras dasar Candi Borobudur berukuran 500 kaki persegi, lalu teras lantai satu berukuran 300 kaki persegi, dan kubah puncak candi menjulang setinggi 100 kaki—sekitar 30 meter—dari permukaan candi.
Jika dijajarkan memanjang, seluruh relief indah di Candi Borobudur panjangnya mencapai 3 mil—atau hampir 5 kilometer!
Aneka sisa belukar dan lumut menutupi sebagian relief Candi Borobudur yang berusia 12 abad. Jalur setapak untuk prosesi keagamaan—pradaksina atau berkeliling searah jarum jam—terlihat di sekeliling candi. Adapun cerita dalam relief ukir di dinding batu Candi Borobudur masih dapat dilihat di berbagai sisi dan lantai candi. Jika dijajarkan memanjang, seluruh relief indah di Candi Borobudur panjangnya mencapai 3 mil—atau hampir lima kilometer!
Baca juga : Matikan Lumut, Candi Borobudur Disemprot Minyak Asiri
Teras candi menampung 436 patung Buddha di atas takhta teratai. Tangga batu terdapat di empat sisi candi untuk mendaki ke puncak. Menurut Scidmore, diperkirakan terdapat pintu kayu di masa lalu dan gerbang untuk memasuki tangga batu mendaki ke teras dan puncak Candi Borobudur.
Di atas teras persegi candi terdapat tiga teras bundar tempat 72 stupa berada—disebut Scidmore sebagai Dagoba—di dalamnya terdapat patung Buddha. Para arkeolog masih belum bisa memastikan fungsi dari stupa utama di puncak Borobudur tersebut yang berukuran diameter 50 kaki atau 15 meter. Diperkirakan ada relik Buddha atau sumur tempat menempatkan abu jenazah para pendeta ataupun bangsawan ataupun bekas bangunan kuil kuno sebelum pembangunan Candi Borobudur semasa kepercayaan penyembahan alam berlangsung.
Para peneliti Inggris zaman Raffles di stupa utama puncak Borobudur menemukan patung Buddha yang belum selesai di dalam lubang sumur. Bagian kepala Buddha—tertutup debu dan reruntuhan—menampilkan pahatan wajah yang sedang tersenyum.
Diyakini ada beberapa kamar dan beberapa tingkat dari lubang di puncak ke arah dasar candi.
Ada keterangan lain soal penelitian puncak candi, Scidmore menulis, dalam catatan M Freidrich ”L’extreme Orient” tahun 1878, disebutkan puncak candi baru digali pada zaman Residen Kedu, Hartman tahun 1835 yang berhasil menemukan perhiasan emas. Diyakini ada beberapa kamar dan beberapa tingkat dari lubang di puncak ke arah dasar candi.
Lain lagi pendapat M Desiree Charnay yang menghabiskan petang hingga malam hari di Candi Borobudur tahun 1878, yang membuat kajian perbandingan Borobudur dengan candi di Amerika Tengah. Menurut dia, lubang sumur di puncak stupa merupakan tempat persembunyian bagi seorang pandita yang akan membacakan ramalan kepada peziarah.
Scidmore mengutip Marianne North, seorang perempuan Eropa yang pernah mengunjungi Candi Borobudur, tentang tangga batu dari empat sisi yang mengarah ke puncak candi. Dari atas candi terlihat kebun dan kerimbunan pohon kelapa dan lembah dekat Borobudur. Pemandangan yang sangat indah....
Baca juga : Konservasi Candi Borobudur Kini Memanfaatkan Teknologi Digital
Saat Scidmore berkunjung, tiga perempat stupa dan puncak candi dalam keadaan hancur. Ratusan patung dalam keadaan terpenggal tanpa kepala, kehilangan lengan, terjungkir, ataupun hilang dari dalam cungkup stupa. Tembok sisi candi di berbagai tingkat terlihat miring atau runtuh di beberapa bagian.
Kompleks Candi Borobudur dibangun dengan teknik tinggi tanpa menggunakan bahan perekat atau semen sedikit pun. Salah satu keunikan lain dari peradaban era Hindu-Buddha menurut Scidmore ialah tidak adanya penggunaan pilar, lengkung, dan kolom pada struktur bangunan.
Baca juga : Pembersihan Candi Borobudur dari Abu Vulkanik Gunung Merapi
Tumbuhan liar dan belukar di masa silam menimbulkan kerusakan hingga Candi Borobudur ditemukan. Namun, kini penyebab utama kerusakan adalah gempa bumi dan hujan deras yang menggerus bangunan megah tersebut. Jika tidak diperbaiki dan diperkuat dinding penyangga sekeliling candi, Scidmore memperkirakan tidak banyak yang tersisa untuk dikunjungi dan dilihat bagi pengunjung pada tahun 1990-an.
Seluruh struktur Borobudur ditulisnya megah bak raksasa saat dibangun, tetapi indah bagai permata ketika sudah selesai. Seluruh dinding candi dipenuhi relief kehidupan Sang Buddha, para murid, dan kehidupan mereka. Seluruh ajaran Buddha Dharma dipahatkan pada dinding candi.
Kelahiran, kehidupan Pangeran Sidharta Gautama, pendidikannya, ketika meninggalkan istana, meditasi di bawah pohon bodhi, memberi pelajaran di taman rusa, Buddha memimpin sidang, menimbang burung, hingga Sang Buddha memasuki nirwana dipahatkan dengan indah.
Kehidupan masyarakat di Pulau Jawa pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi juga dipahat pada relief sekeliling Candi Borobudur. Aneka kuil, takhta, istana raja, makam, beragam kapal, dan jenis rumah serta pelbagai konstruksi sipil di Jawa masa itu digambarkan secara terperinci.
Peri-kehidupan di istana, sawah, desa, bangsawan, abdi dalem melayani dan membakarkan dupa, para kesatria, bersimpuh di dekat raja, dan penari istana, semua digambarkan dalam deretan relief batu tersebut.
Petani membajak sawah dengan kerbau, berkasi padi dipanen dengan pikulan kayu. Semua relief tersebut menggambarkan kehidupan petani di dunia Timur yang masih berlangsung hingga tahun 1890-an.
Kaum perempuan mengisi kendi dengan air. Mereka menyunggi kendi air di atas kepala persis seperti dilakukan perempuan India semasa Scidmore berkunjung. Demikian pula berbagai pahatan di dinding candi menggambarkan aktivitas sehari-hari manusia yang masih dilakukan di Asia sampai tahun 1890-an.
Rasa humor pun dimiliki oleh para seniman pembuat relief Candi Borobudur.
Seluruh gambaran kehidupan manusia di deretan dinding sejauh 5 kilometer itu tidak dicatat seluruh narasi yang ada oleh Scidmore. Dia menyatakan, tiap relief demi relief dibuat dengan indah dan semakin menimbulkan kekaguman akan peradaban Jawa masa silam.
Rasa humor pun dimiliki oleh para seniman pembuat relief Candi Borobudur. Scidmore melihat adanya relief menggambarkan gajah yang menari dengan mengangkat kaki dengan pose jenaka meniru gaya menari seorang gadis pada relief di sebelahnya. Relief tentang gajah lainnya menggambarkan gajah membawa payung kebesaran dan kipas kerajaan dengan belalainya.
Pada relief lain digambarkan aneka hewan laut berkeriapan di air di dekat kapal yang mengangkut para peziarah Buddhis. Hewan laut tersebut memiliki sosok mirip manusia.
Baca juga : Pembersih Alami Diuji Coba di Borobudur
Adapun dinding terakhir dari deretan relief menggambarkan perkembangan agama dengan tokoh-tokoh dari Jainisme, atau wujud perkembangan dari Brahmanisme. Turut ditampilkan pula sosok Buddha sebagai avatar kesembilan atau inkarnasi Dewa Wisnu duduk di atas takhta bunga teratai—padmasana—dengan empat lengan.
Berbagai patung Buddha di seputar candi terlihat menggunakan tali brahma di badan di atas bahu kiri. Patung para brahmana memiliki pose satu kaki ditekuk seperti bersila dan sebelah kaki ditekuk berdiri dan pahatan memperlihatkan sosok yang mengenakan kain seperti sarung sebagai penutup tubuh bagian bawah.
Tidak ada sosok ganjil menakutkan ataupun sosok telanjang pada seluruh relief dan aneka busana yang ditampilkan dalam relief menjadi obyek penelitian lanjut yang menarik.
Aneka tanaman yang tumbuh di sekitar Candi Borobudur juga diamati saksama oleh Eliza R Scidmore. Pohon kelapa, aneka rumpun bambu, pohon kemboja, pohon manggis, pohon sukun, pohon srikaya, rumpun pisang, hingga pohon bodhi tumbuh subur di sekitar Candi Borobudur.
Wajah patung dan relief di seluruh Candi Borobudur tidak menampilkan sosok wajah orang Jawa. Semua wajah yang ditampilkan adalah wajah Hindu-India ataupun wajah Hindu-Kaukasian ataupun gaya Yunani murni. Tidak satu pun wajah dari patung yang ada menampilkan sosok manusia tak berperadaban tinggi. Kemegahan Borobudur membuat pengunjung membayangkan kebesaran peradaban manusia dan masyarakat yang membangun kompleks wihara agung tersebut.
Selain lebih dari 500 patung Buddha di dalam ratusan stupa, ada satu patung misterius yang berada di stupa puncak candi yang berada di atas takhta bunga teratai.
Seluruh gaya seni dan budaya Hindu atau pengaruh India dalam standar tertinggi pada abad ke-10 Masehi sebagai puncak kejayaan Buddha Dharma di Jawa ditampilkan dalam beragam pahatan di Borobudur sebagai penanda masa keemasan. Pahatan di Borobudur adalah bukti kesempurnaan seni Gerika-Buddhis pada zamannya yang berbeda dengan peradaban Buddha era Amravati dan Gandhara di daratan India.
Baca juga : Melestarikan dan Menjaga Borobudur
Tampilan pahatan wajah dengan pengaruh Yunani membuktikan pengaruh budaya Baktria lembah Sungai Indus sebagai tempat asal leluhur para pembangun Candi Borobudur.
Selain lebih dari 500 patung Buddha di dalam ratusan stupa, ada satu patung misterius yang berada di stupa puncak candi yang berada di atas takhta bunga teratai. Deretan patung Buddha di teras candi mengarah ke muka candi ke empat arah penjuru mata angin. Sementara patung-patung Buddha di tiga teras melingkar, menghadap ke dalam candi mengarah ke patung di stupa puncak candi.
Posisi tangan dari patung Buddha—atau sikap mudra—dalam empat pose mewakili ajaran Buddha. Ada telapak tangan diletakkan pada salah satu lutut, Buddha sedang belajar dalam sikap tangan ditangkupkan, Buddha meditasi dalam posisi kedua telapak tangan terbuka diletakkan di atas kedua paha yang bersila, Buddha yang mengajarkan Dharma dengan tangan terangkat, Buddha menjelaskan dan menampilkan kebenaran dengan posisi telunjuk dan jempol bertemu.
Deretan patung di dalam stupa pada teras bundar menampilkan sikap telapak tangan kanan menangkup jemari di tangan kiri—pertanda Buddha mencapai pencerahan tertinggi dan mencapai nirwana.
Paling misterius adalah patung di stupa di puncak candi yang belum diketahui maknanya. Scidmore mengutip pendapat para pakar arkeologi yang memperkirakan, patung di stupa puncak Borobudur memang sengaja tidak diselesaikan pembangunannya sebagai mahakarya karena para pembangun candi merasa tidak layak untuk membangun kesempurnaan dari tempat sakral tersebut.
Eliza Scidmore menambahkan dalam catatanya, arkeolog Humboldt menjadi orang pertama yang mencatat adanya lima posisi duduk patung Buddha di Candi Borobudur yang mirip dengan sikap duduk bersila dan mudra—sikap tangan—mirip Dhyani Buddha di Nepal.
Dhyani Buddha adalah lima Buddha kebijaksanaan atau Lima Buddha Agung dalam aliran Vajrayana. Mereka adalah Aksobhya atau Avalokitesvara di arah timur, Amitabha di arah barat, Amoghasiddhi di arah utara, Ratnasambhava di arah selatan, dan di pusat adalah Vairocana.
Temuan prasasti di Sumatera mencatat tentang pendirian wihara tujuh lantai yang dipersembahkan bagi Dhyani Buddha membuktikan ajaran awal Buddha dari Sungai Oxus dan lembah Sungai Indus yang masuk ke Jawa telah mengalami penyesuaian mengikuti para rohaniwan Buddha dari Malaya dan Tibet yang menyebarkan ajaran mereka ke Jawa.
Tampilan fisik patung Buddha di Borobudur mirip dengan di Asia Selatan dengan rambut ikal dan singgasana bunga teratai—padmasana—kecuali daun telinga tidak panjang seperti patung Buddha versi Nepal.
Ragam Dhyani Buddha di Borobudur disebutkan Scidmore sebagai berikut, Dhyani Buddha ke arah timur ialah Aksobhya atau Avalokitesvara dengan mudra Bhumisparsa, yakni tangan kanan memegang lutut kanan yang bersila dan tangan kiri telapak menghadap ke atas berada di atas kaki yang bersila. Makna Buddha Aksobhya adalah menjaga dan menghancurkan kemarahan dan kebencian.
Buddha Amitabha memiliki arti mengalahkan nafsu atau keinginan diri sendiri.
Dhyani Buddha ke arah selatan ialah Buddha Ratnasambhava dengan mudra Wara, yakni telapak tangan kanan terbuka ke atas dan berada di atas lutut kanan yang bersila. Mudra Buddha Ratnasambhava berarti menguatkan spiritualitas demi melenyapkan kesombongan dan keserakahan.
Dhyani Buddha ke arah barat ialah Buddha Amitabha dengan mudra Dhyana, yakni tangan kanan tengadah ke atas ditadahi telapak tangan kiri yang berada di atas lutut yang bersila. Buddha Amitabha memiliki arti mengalahkan nafsu atau keinginan diri sendiri.
Dhyani Buddha ke arah utara adalah Buddha Amoghasiddhi dengan mudra Abhaya, yakni tangan kanan terangkat dengan telapak terbuka ke depan seolah mendorong sesuatu dan telapak kiri terbuka ke atas di atas lutut bersila. Mudra Buddha Amogasiddhi berarti menenangkan diri dan melenyapkan iri dengki.
Adapun Dhyani Buddha terakhir yang berada di tengah adalah Buddha Vairocana dengan mudra Dharmachakra, yakni tangan kanan berada di atas tangan kiri dengan jari tangan kanan menyentuh jari tangan kiri yang menangkup. Mudra Buddha Vairocana adalah memutar Dharma untuk melenyapkan kebodohan batin.
Relief pada dinding Candi Borobudur menyesuaikan dengan makna dan ajaran dari lima Dhyani Buddha yang berada di stupa di atas dinding tersebut sesuai arah mata angin timur, selatan, barat, dan utara.
Raja Ashoka, Sri Lanka, Borobudur
Eliza Ruhamah Scidmore menerangkan dalam Java The Garden of The East, tidak ada batu prasasti yang dengan tegas menjelaskan tarikh pembangunan Candi Borobudur. Namun, bisa dipastikan, periode kebesaran Buddha ketiga pada zaman Raja Ashoka sekitar 264 tahun sebelum Masehi, ajaran Buddha menyebar dari India dengan mula-mula menjangkau Sri Lanka. Raja Ashoka membangun tujuh dari delapan stupa raksasa di India tempat menyimpan relik atau benda suci dari tubuh Buddha.
Relik tersebut dibagi dalam 84.000 jambangan yang disebar ke seluruh penjuru dunia tempat ajaran Buddha disebarkan. Berbagai stupa dibangun untuk menaungi relik tersebut. Demikian pula pusat dan puncak Candi Borobudur diyakini menjadi tempat penyimpanan relik Sang Buddha. Lalu sekeliling stupa utama tersebut dikelilingi teras batu yang pada dindingnya dipahatkan relief berisi berbagai ajaran Dharma.
Fa Hian, musafir dari Tiongkok yang mengunjungi Pulau Jawa pada tahun 414 Masehi, mencatat adanya ajaran yang menyimpang dan Brahmanisme serta ajaran Buddha Dharma tidak terlalu banyak dikenal di Jawa.
Adapun catatan di Jawa menuliskan, tahun 603 Masehi datang seorang pangeran Gujarat dengan 5.000 pengikut yang menumpang 106 perahu dari India. Mereka kemudian bermukim di Kerajaan Mataram di Jawa. Lalu datang pengikut lainnya dari Gujarat sebanyak 2.000 pria membangun kerajaan Buddhis yang lebih besar dari peradaban Brahmanisme yang sudah ada sebelumnya.
Catatan lainnya ada di Sumatera pada tahun 656 Masehi tentang Maharaja Adiraja Adityadharma, Raja Prathama (Jawa Raya) yang menyembah Lima Dhyani Buddha telah membangun wihara tujuh tingkat—diduga itu adalah Candi Borobudur—untuk menghormati Sang Buddha.
Ketika para insinyur Inggris mendatangi Candi Borobudur tahun 1814, warga sekitar sudah tidak mengetahui keberadaan candi dan ritual yang dilakukan di masa silam.
Masa keemasan peradaban Buddha di Jawa berlangsung dari abad ke-7, ke-8, dan ke-9 Masehi. Seni budaya dan ajaran Buddha mulai menurun di abad ke-10 Masehi. Semasa itu, Pangeran Dewa Kosoumi mengirim putri dan empat putra ke India untuk belajar agama dan seni budaya. Para pangeran tersebut kembali ke Jawa dengan membawa para seniman, prajurit, dan berbagai perkakas serta penghargaan dari India. Tetapi, kondisi tersebut tidak mampu membendung kemunduran peradaban Buddha di Jawa. Masyarakat kembali menjalankan kepercayaan Brahmanisme.
Scidmore melanjutkan catatannya, pada masa awal penguasaan Islam tahun 1475-1479, masyarakat Jawa pun meninggalkan pemujaan terhadap Siwa, Durga, dan Ganesha serta meninggalkan candi di Prambanan seperti halnya masyarakat meninggalkan Borobudur dan Candi Sewu.
Ketika para insinyur Inggris mendatangi Candi Borobudur tahun 1814, warga sekitar sudah tidak mengetahui keberadaan candi dan ritual yang dilakukan di masa silam. Masyarakat mengaku, para leluhur mereka menghuni kawasan tersebut setelah berpindah dari wilayah lain dan sudah mendapati adanya bukit yang ditumbuhi pepohonan di tengah hutan.
Thomas Stamford Raffles mengerahkan 200 kuli bekerja selama 45 hari untuk membersihkan pohon, tanaman, dan timbunan tanah di teras-teras bukit yang merupakan Candi Borobudur. Pengukuran struktur bangunan dan pembuatan gambar sketsa dilakukan dengan saksama menyusul penemuan Candi Borobudur. Sebanyak 12 sketsa Borobudur diboyong kembali oleh Raffles ke Inggris.
Ketika Belanda kembali berkuasa di Jawa tahun 1816, para arkeolog dan seniman Belanda segera melakukan kajian mendalam atas Candi Borobudur sebagai warisan mahakarya arkeolog dan seni budaya umat manusia.
Lebih dari enam abad, candi yang menjulang megah itu hilang dari penglihatan dan ingatan warga serta ditumbuhi pohon dan semak.
Ekskavasi lebih lanjut menemukan adanya teras besar yang dibangun di sekeliling candi dengan kedalaman mencapai 9 kaki atau 2,7 meter. Struktur tersebut dipercaya sebagai penguat bangunan candi dan terdapat banyak data yang tersimpan dalam dinding struktur tersebut. Para ilmuwan Belanda menghabiskan daya upaya untuk mempelajari reruntuhan Borobudur. Diawali oleh Brumund dan dilanjutkan Doktor Leeman dari Universitas Leiden di Belanda yang menghasilkan 400 halaman sketsa yang mengacu pada karya Wilsen yang diterbitkan di Belanda tahun 1874.
Setelah penemuan kembali Borobudur tahun 1814, reruntuhan candi berhasil dijaga dari tumbuhnya tanaman. Namun belum dilakukan upaya lain, seperti rekonstruksi Candi Borobudur. Meski demikian, penemuan candi tersebut membangkitkan semangat masyarakat setempat.
Baca juga : Sejarah Panjang Candi Borobudur yang Tersakiti
Lebih dari enam abad, candi yang menjulang megah itu hilang dari penglihatan dan ingatan warga serta ditumbuhi pohon dan semak. Penemuan kembali Borobudur dengan keberadaan begitu banyak patung dan pahatan indah membangkitkan kembali rasa spiritualitas masyarakat Jawa yang bermukim di sekitar candi. Candi Borobudur membangkitkan kembali rasa kebanggaan terhadap identitas budaya dan peninggalan leluhur Jawa.
Ketika Wilsen membuat sketsa Candi Borobudur dan tinggal cukup lama di sana, masyarakat setiap hari datang untuk mempersembahkan bunga-bunga. Stupa dan patung-patung pada teras bulat pertama di sebelah barat tangga candi sisi timur beserta patung di puncak candi selalu dipenuhi taburan bunga yang diletakkan dalam wadah daun pisang seperti canang di Bali.
Dupa dibakar di hadapan arca dan warga membubuhkan bubuk kuning seperti para bangsawan di masa silam. Para mempelai juga menggunakan serbuk kuning sebagai riasan mirip dengan ritual Buddhis di Burma. Tradisi lain mirip dengan Buddhis Singhala di Sri Lanka, yakni bunga persembahan seperti roncean bunga melati, mawar, kemboja, dan bunga kemangi suci, diberikan di altar.
Masyarakat Jawa yang ditanya mengapa memberikan persembahan bunga menjawab bahwa nazar mereka dipenuhi ataupun sebagai pengucapan syukur atas kejadian dalam hidup, seperti ulang tahun, kelahiran, kematian, pernikahan, atau nasib baik, hingga sembuh dari penyakit.
Warga lainnya berziarah ke Borobudur mengelilingi teras bundar candi berusaha menyentuh patung di dalam stupa. Banyak juga peziarah yang semalaman menyalakan lilin dan bertirakat di teras bundar candi.
Patung tersebut wajahnya dimodifikasi dengan pahatan sedemikian rupa sehingga mata Buddha dibuat menyipit bergaya oriental, berubah dari sosok asli bergaya India!
Lain lagi kebiasaan warga Tionghoa Yogyakarta yang mengadakan ziarah ke Candi Borobudur sebagai puncak perayaan Tahun Baru Imlek. Peziarah Tionghoa membawa makanan, dupa, sesaji, dan perayaan luar ruang di Candi Borobudur.
Penjarahan situs
Setelah Candi Borobudur ditemukan, Elizabeth R Scidmore menuliskan, warga sekitar menjadikan situs tersebut sebagai ”tambang batu” atau quarry untuk menjarah potongan batu candi sebagai bahan umpak pintu, tiang batu, fondasi bangunan, dan pagar batu.
Baca juga : Borobudur Terancam Corat-coret hingga Permen Karet
Demikian pula para pengunjung, yakni wisatawan, peminat barang antik, dan ilmuwan, juga ikut mengambil potongan batu candi dan arca Borobudur. Para penguasa setempat semisal di kediaman Residen Kedu, seorang pengunjung Barat, Marriane North, mendapati seorang seniman Tionghoa diminta memperbaiki patung Buddha dari Borobudur. Patung tersebut wajahnya dimodifikasi dengan pahatan sedemikian rupa sehingga mata Buddha dibuat menyipit bergaya oriental, berubah dari sosok asli bergaya India!
Museum di Batavia—sekarang Museum Nasional Indonesia—memiliki banyak koleksi arca dan batu-batu fondasi Candi Borobudur. Demikian pula di jalan masuk pesanggrahan dekat Candi Borobudur dijajarkan arca, potongan patung gajah, singa, kuda, garuda, patung raksasa atau Butha, dan bebatuan candi.
Scidmore mengutip cerita seorang kapten Kavaleri KNIL kepada arkeolog Brumund bahwa ketika berkemah semasa Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), para prajurit mengisi waktu senggang dengan menombak patung atau sabetan pedang. Tampak jelas, potongan kepala arca menjadi sasaran tembak senapan dan pistol para serdadu.
Baca juga : Penutupan Pelindung Stupa di Candi Borobudur
Bocah-bocah di kampung sekitar Borobudur semasa itu menggembalakan ternak sambil bercengkerama di teras candi dan mengawasi ternak yang berkeliaran merumput. Para bocah tersebut bermain-main dengan patung yang ada, penggalan batuan candi digunakan untuk saling melempar.
Kerusakan yang diakibatkan perilaku warga sekitar justru sangat merusak dan berbeda dari adanya teori tentang konflik agama dengan Brahmanisme dan Islam yang mengakibatkan kerusakan Borobudur. Menurut Scidmore, ada versi cerita yang mengatakan para pengikut Buddha yang tersisa bertahan di Borobudur melawan pengikut ajaran agama lain dan berguguran di sana.
Padahal, Elizabeth R Scidmore menilai, berbeda dengan sejarah agama di Timur Tengah, keberadaan budaya Jawa membuat masyarakat bisa menerima ajaran baru dan meninggalkan kepercayaan lama dengan cara damai.
Keberadaan Buddha Brahamanisme berdampingan, lalu kemunculan agama Islam, semua berjalan dengan damai di Jawa. Kepercayaan lama ditinggalkan dengan damai tanpa praktik kekerasan dan pemaksaan.
Baca juga : Pengembangan Candi Borobudur Wajib Libatkan Umat Buddha
Baca juga : Tahun Ini, Pengunjung Candi Borobudur Ditargetkan Hanya 1 Juta Orang