Ketika Pakualam V Menerima Perempuan Wartawan dari Amerika
Dengan etiket Eropa sebagai seorang gentleman, Pakualam V memberikan lengan kepada Eliza Scidmore yang menautkan tangan berjalan ke dalam pringitan.
Para sesepuh bangsa Indonesia meski pada era kolonial Belanda, tetap mampu menjaga identitas budaya yang pada gilirannya menjadi modal membangun semangat kebangsaan Indonesia. Pada akhir tahun 1894, wartawan pertama National Geographic Society, Eliza Ruhamah Scidmore.
Perempuan wartawan asal Amerika Serikat yang tengah melakukan ekspedisi di Jawa itu mendapat kesempatan audiensi menghadap KGPAA Pakualam V. Ia menyimpan kesan mendalam terhadap pangeran yang memimpin Pura Pakualam dengan wilayah kekuasaan di dalam Kota Jogja dan Kulon Progo di barat Jogjakarta.
Eliza Ruhamah Scidmore dalam buku Java The Garden of The East membuka catatannya tentang Jogjakarta yang diambil dari nama Ayogja atau Ayodhya, yakni ibu kota yang dibangun Sri Rama dalam Epos India, Ramayana yang juga berkembang di Pulau Jawa dan Asia Tenggara.
Scidmore menyebut Sri Pakualam sebagai ”Nail of Universe” atau Paku Alam Semesta yang, menurut dia, berpendidikan sangat baik. Pakualam disebutnya memiliki pendidikan Eropa, mempunyai beberapa bisnis dan perkebunan yang membuat dirinya dan warga wilayah kekuasaanya sejahtera.
Sebelum audiensi tersebut, Scidmore bersama dua teman perempuan Amerika Serikat telah menghadiri pertunjukan Wayang Orang asuhan Pura Pakualam yang digelar di Gedung Societeit di Jogjakarta. Wayang Orang tersebut melakonkan cerita Panji dalam empat babak yang juga diboyong dari Jawa ke Kerajaan Siam (kini Thailand) pada tahun 1800-an dan berkembang hingga kini dengan sebutan pertunjukan Inao.
Pertunjukan Wayang Orang tersebut dihadiri 200-an orang warga elite Kota Jogjakarta yakni warga Eropa, Bangsawan Jawa, dan Tionghoa Peranakan yang hadir dengan busana terbaik mereka untuk menyaksikan pertunjukan tersebut yang disebut Scidmore mirip dengan pagelaran tari No di Jepang. Setiap jeda pertunjukan, mereka mengudap manisan dan minuman kopi, air soda hingga limun.
Pertunjukan tersebut juga dikaitkan dengan perayaan atas kemenangan serdadu Hindia Belanda yang melakukan intervensi di Lombok atas Kerajaan Hindu setempat yang menghadapi perlawanan masyarakat Sasak. Perang yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1894 itu baru berakhir di bulan November 1894 dengan kemenangan pihak Belanda.
Diundang Pakualam V
Eliza Ruhamah Scidmore, perempuan Amerika yang merintis penanaman pohon Sakura–Cherry Blossom di Kota Washington DC itu diajak menonton pertunjukan wayang orang oleh Asisten Residen Belanda di Jogjakarta, yang semula bersikap kaku dan bermusuhan sebelum mengetahui Eliza R. Scidmore adalah wartawan National Geographic Society.
Ternyata Asisten Residen Belanda tersebut seorang penggemar publikasi National Geographic. Hubungan Scidmore dan rombongan pun menjadi akrab dengan Asisten Residen Belanda di Jogjakarta yang kemudian banyak membantu mereka selama berada di Jogjakarta dan sekitarnya. Setelah menonton pertunjukan Wayang Orang di Societeit, mereka mendapat undangan kehormatan untuk mengunjungi Pakualam V di Pura Pakualam.
Rombongan Asisten Residen dan perempuan Amerika tersebut diterima di Pringitan—ruang sebelum ruang utama–Dalem Agung—di Pura Pakualam berukuran 80 kaki atau 25 meter persegi di Pura Pakualam yang kini menjadi wilayah Pakualaman di Kota Jogjakarta.
Dengan etiket Eropa sebagai seorang gentleman, Pakualam V memberikan lengan kepada Eliza Scidmore yang menautkan tangan berjalan ke dalam pringitan. Demikian pula dua orang teman Scidmore didampingi putra-putra Pakualam V.
Mereka bertemu istri, putri, dan cucu perempuan Pakualam V yang disebut fasih berbahasa Belanda, Jawa, dan Melayu. Susunan kursi dibuat setengah lingkaran di dalam pringitan yang teduh.
Sang Tuan Rumah, KGPAA Pakualam V didampingi dua putra—putra sulung dan putra kedua yang merangkap menjadi aide de camp (ADC) atau ajudan—yang juga berpendidikan Eropa, mengenakan seragam militer Eropa berikut medali penghargaan, dengan destar atau penutup kepala Jawa. Pakualam V fasih berbahasa Belanda dan putra-putranya punya kelebihan fasih berbahasa Prancis, dan Inggris.
Pembicaraan mereka berlangsung akrab dan diterjemahkan oleh kedua putra Pakualam V yang fasih berbahasa Inggris. Scidmore mengagumi busana istri, putri, dan cucu perempuan Pakualam V yang mengenakan busana tradisional Jawa yang serasi dengan kulit mereka yang kuning terang
Keberadaan Pura Pakualam sebagai kepangeranan di wilayah Keraton Jogjakarta yang juga memiliki hubungan dengan Keraton Surakarta sebagai cikal bakal penerus Kerajaan Mataram Islam, memiliki keunikan tersendiri seperti halnya Pura Mangkunegara di Surakarta.
Scidmore menulis, hingga tahun 1892, Pura Pakualam masih memiliki pasukan tersendiri yang disebut Legiun Pakualam. Pakualam V dikenal karena mendorong modernisasi di bidang pendidikan bagi masyarakatnya.
Pakualam V dikenal sebagai bibliophile atau kolektor buku kelas dunia. Beberapa buku koleksi Pura Pakualam yang berusia beberapa abad pernah dipinjam oleh penguasa Belanda untuk dipamerkan di Eropa. Buku-buku Almanak Pakualam yang ditulis dalam aksara Jawa termasuk di antaranya buku warisan dari KGPAA Pakualam II menjadi catatan sejarah penting bagi studi tentang budaya Jawa di dunia semasa itu.
Dalam kunjungan kehormatan tersebut, terlihat deretan pelayan berseragam jaket merah—pengaruh militer Inggris yang serdadunya mengenakan jaket Merah atau Red Coat semasa menduduki Jawa tahun 1811–1816—yang memicu berdirinya Pura Pakualam, duduk berderet di salah satu sudut pringitan. Mereka membawa payung kebesaran, tombak, dan berbagai perkakas.
Para pelayan juga bersiap menyajikan berbagai suguhan bagi para tamu kehormatan dalam posisi dodhok (berjongkok). Scidmore menilai posisi tubuh dodhok tersebut tidak menghargai kesetaraan manusia. Para pelayan tersebut menyuguhkan es batu, buah-buahan, wafer, hingga aneka manisan.
Sementara di belakang KGPAA Pakualam V dan para bangsawan pria, terdapat beberapa pelayan lelaki dalam posisi dodhok yang menyorongkan asbak dan berbagai keperluan merokok.
Adapun di hadapan para tamu yang diterima Pakualam V dan keluarga, sudah disiapkan para pemain gamelan dan instrumen yang menanti aba-aba untuk mempertunjukan kebolehan di hadapan para perempuan Barat tersebut. Berbagai instrumen dan penggunaannya dijelaskan kepada para perempuan Amerika yang dengan saksama mendengarkan keterangan yang disampaikan tentang orkestra gamelan Jawa.
Pembicaraan pagi itu mengalir lancar dan akrab. Putra Pakualam V menyayangkan rombongan Scidmore membatalkan kunjngan ke Gunung Bromo yang disebut sebagai satu-satunya lautan api di dunia.
Scidmore memuji-muji keindahan Pulau Jawa. KGPAA Pakualam V pun balik bertanya tentang alam di Amerika Serikat.
Scidmore dan teman-teman bergantian memuji keindahan taman nasional Yosemite, air terjun Niagara, taman nasional Yellowstne, Gunung Rainier, dan Alasa. Mendengar penjelasan para perempuan Amerika Serikat tersebut, Pakualam V balik bertanya: ”Kalau Amerika begitu indah kenapa Anda harus mengunjungi negeri lain”.
Pakualam V juga menceritakan rencana pesta perkawinan cucu perempuannya. Dia mengundang Scidmore dan teman-teman untuk hadir. Namun, dengan hormat Scidmore terpaksa menolak undangan tersebut karena jadwal perjalanannya di Pulau Jawa hampir berakhir.
Eliza R Scidmore dan kawan-kawan yang menginap di Hotel Tugu pun bersiap kembali ke Batavia dengan menumpang kereta api di jalur selatan Pulau Jawa melalui Cilacap, dan Tasikmalaya.