Konservasi Candi Borobudur Kini Memanfaatkan Teknologi Digital
Pemanfaatan teknologi digital dalam pengelolaan warisan budaya Candi Borobudur dapat meningkatkan pelestarian salah satu candi warisan dunia tersebut.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekaman digital dan visualisasi tiga dimensi pada Candi Borobudur melengkapi penggalian aspek arkeologis dan sejarah. Pemanfaatan teknologi digital bisa diharapkan menambah interpretasi kajian dan pengelolaan warisan budaya Candi Borobudur.
Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Art Research Center Universitas Ritsumeikan Kyoto dan Balai Konservasi Borobudur mengembangkan kajian humaniora digital. Kerja sama itu dituangkan melalui nota kesepahaman pada 2017.
Kajian humaniora digital yang dimaksud menggabungkan aspek teknis komputasi dengan interpretasi ke dalam satu kerangka analisis, argumen tidak lagi sekadar teks, tetapi multimedia. Untuk proyek Candi Borobudur, peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Fadjar Ibnu Thufai, Kamis (22/4/2021), di Jakarta, menyebutkan kajian humaniora digital dimulai dari perekaman analog ke digital. Tahap berikutnya adalah analisis atau pengembangan visualisasi tiga dimensi dan algoritma kecerdasan buatan.
Kemudian, tahap kurasi mencakup pemilihan topik khusus sebagai kerangka interpretasi. Sementara tahap terakhir adalah pemanfaatan hasil perekaman dan kurasi untuk kepentingan publik.
Proses kerja ketiga lembaga berlangsung secara kolaboratif. Misalnya, perekaman data fotogrametri dan pemindaian dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur dan Art Research Center Universitas Ritsumeikan Kyoto. Visualisasi gambar beresolusi rendah oleh Balai Konservasi Borobudur, sedangkan pengambilan gambar beresolusi tinggi memakai teknologi digital oleh Art Research Center Universitas Ritsumeikan Kyoto. Adapun, LIPI berperan dalam kurasi dan pemanfaatan data.
Cakupan target digitalisasi Candi Borobudur luas. Maka, pemindaian dilakukan melalui beberapa tahap. Sampai akhir 2020, pemindaian telah dilakukan dengan menerapkan teknik fotogrametri jarak-dekat atau close-range photogrammetry dan telah berhasil mencakup 75 persen dari selasar tingkat pertama candi. Pemotretan fotogrametri akan terus dilakukan sampai mencakup seluruh tingkat bangunan candi.
Salah satu capaian penting saat ini adalah keberhasilan konversi foto cetak relief Karmawibhangga menjadi model tiga dimensi digital. Pada saat dilakukan rekonstruksi candi oleh Belanda pada awal abad ke-20, seluruh panel relief ini telah difoto oleh fotografer Kasijan Chepas. Tim ahli dari Universitas Ritsumeikan Jepang berhasil menciptakan algoritma dengan menggunakan teknologi mesin pembelajaran untuk mengonversi foto dua dimensi relief Karmawibhangga menjadi model digital tiga dimensi.
Profesor dari College of Information Science and Engineering, Ritsumeikan University Kyoto, Satoshi Tanaka, menjelaskan, dengan teknologi kecerdasan buatan, pihaknya melakukan rekonstruksi tiga dimensi dari bagian relief Karmawibhangga yang tersembunyi menjadi point clouds berdasarkan foto. Lalu, dengan teknologi deep learning, dia dan tim dapat memvisualkan tampilan asli relief dengan akurasi 95 persen point clouds.
”Kami berhasil membuat arsip digital lengkap dari warisan budaya yang tidak lengkap atau rusak sebagian, seperti relief Karmawibhangga. Tepatnya, kami berhasil mengungkap salah satu kekuatan pengarsipan digital dengan mengintegrasikan humaniora,” ujarnya.
Kami berhasil membuat arsip digital lengkap dari warisan budaya yang tidak lengkap atau rusak sebagian, seperti relief Karmawibhangga. Tepatnya, kami berhasil mengungkap salah satu kekuatan pengarsipan digital dengan mengintegrasikan humaniora.
Sudut pandang
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, dengan memanfaatkan teknologi digital, pekerjaan konservasi Candi Borobudur menjadi terbantu dan identifikasi kerusakan semakin dimudahkan. Selain itu, dengan citra tiga dimensi, kita bisa menghasilkan nilai Candi Borobudur yang luar biasa secara lebih maksimal.
Dia menyampaikan pula bahwa, perekaman digital dan visualisasi tiga dimensi menawarkan sudut pandang berbeda terhadap Candi Borobudur. Sebagai contoh, Matematika dalam pembangunan Candi Borobudur.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Prof Harry Widianto, mengatakan, perekaman digital dan visualisasi tiga dimensi cocok untuk pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Dalam fase pelindungan, misalnya, dia sependapat dengan Hilmar. Arsip digital yang dihasilkan dapat dipakai sebagai referensi tindakan penyelamatan.
”Dalam fase pemanfaatan, hasil dari perekaman digital dan visualisasi tiga dimensi dapat digunakan untuk berbagai hal, seperti gim, miniatur replika, dan simulasi demi mempermudah akses publik,” kata Harry.