NTB Berjibaku Mencegah Perkawinan Anak
Pencegahan perkawinan anak tidak bisa diserahkan kepada satu pihak saja. Semua harus bergerak bersama. Itu juga yang terus dilakukan di Nusa Tenggara Barat yang menjadi salah satu kantong perkawinan anak di Indonesia.
MATARAM, KOMPAS — Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu daerah di Indonesia dengan kasus perkawinan anak yang masih tinggi. Belakangan, jumlah kasus meningkat dan diperburuk olehadanya pandemi Covid-19. Karena itu, pemerintah daerah setempat beserta lembaga swadaya masyarakat berjibaku agar persoalan itu bisa dicegah.
Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Nusa Tenggara Barat (NTB), dispensasi nikah Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB tahun 2019 sebanyak 332 orang.
Pada tahun 2020 atau sejak pandemi berlangsung, jumlahnya meningkat. Berdasarkan sumber data yang sama, jumlah perkawinan anak dengan dispensasi nikah dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB sebanyak 805 orang. Kasus-kasus itu tersebar di seluruh NTB, baik di Pulau Lombok maupun di Sumbawa.
Kasus perkawinan anak juga telah lama menjadi perhatian. Sejalan dengan itu, berbagai kebijakan juga dikeluarkan. Pada tahun 2014, misalnya, Gubernur NTB saat itu, Muhammad Zainul Majdi, mengeluarkan Surat Edaran Nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan. Surat edaran tersebut merekomendasikan usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.
Baca juga : Ada Tren Peningkatan Dispensasi Kawin di Bawah Umur
Namun, surat edaran itu dinilai tidak memiliki kekuatan signifikan untuk mencegah perkawinan anak. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTB berinisiatif membuat peraturan daerah (perda). Menjelang akhir Januari 2021, Rancangan Perda tentang Pencegahan dan Perkawinan Anak disahkan menjadi Perda.
Kepala DP3AP2KB Husnanidiaty Nurdin mengatakan, dengan adanya Perda tersebut, kegiatan pencegahan perkawinan anak harus menjadi gerakan bersama.
Meski baru disahkan, kata Husnanidiaty, tetapi Perda itu telah mulai memperlihatkan dampak. ”Misalnya pada sosialisasi di beberapa tempat terkait ada sanksi, membuat kepala dusun sebagai pemegang kunci tidak berani menikahkan. Justru membantu belas atau memisahkan mereka,” kata Husnanidiaty saat ditemui dalam peresmian Radio Sekolah Perempuan Darurat Siaga Covid-19 ”Nina Bayan”, di Desa Sukadana, Lombok Utara, Kamis (15/4/2021).
Baca juga: Kasus Perkawinan Anak di Kalsel Meningkat Selama Pandemi
Menurut dia, sosialisasi Perda terus dilakukan dengan melibatkan kabupaten kota. Pendekatan juga dilakukan pada tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang semakin mengetahui kerugian perkawinan anak.
Di tingkat kabupaten, daerah yang menjadi kantong pernikahan usia anak, seperti Lombok Timur, juga telah memiliki Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak.
Dalam Perda itu dijelaskan, pencegahan perkawinan anak bertujuan, antara lain, untuk mewujudkan perlindungan anak dan menjamin pemenuhan hak-hak mereka. Upaya itu juga mencegah tindakan kekerasan, termasuk perdagangan anak, kekerasan dalam rumah tangga, putus sekolah, serta menurunkan angka kemiskinan dan kematian ibu dan bayi.
Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur Muhammad Juani Taufik dalam dialog dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati di Mataram, Sabtu (17/4/2021), mengatakan, mereka berkomitmen membuat regulasi yang berpihak pada perempuan dan anak.
Baca juga: Kasus Perkawinan Anak di Kalsel Meningkat Selama Pandemi
Selain itu, Pemerintah Lombok Timur juga berkolaborasi dengan pemangku kepentingan terkait dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuat.
”Kami telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Unit ini tidak hanya mampu memberikan pendampingan terhadap kasus, tetapi juga dapat mengedukasi masyarakat bahwa ternyata kasus kekerasan, terutama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap anak, relatif tinggi,” kata Juaini.
Selain itu, dalam merespons Peraturan Daerah tentang Pencegahan Perkawinan Anak, sebanyak 257 desa dari 499 desa di Lombok Timur memiliki Peraturan Desa tentang Penundaan Perkawinan Usia Anak.
”Kami juga mempunyai program konversi posyandu konvensional menjadi posyandu keluarga. Menurut rencana, pada Mei 2021 sebanyak 1.938 posyandu konvensional di Lombok Timur 100 persen bertransformasi menjadi posyandu keluarga,” kata Juaini.
Baca juga: Pandemi Perburuk Situasi Perkawinan Anak
Selain Lombok Timur, daerah lain, seperti Lombok Barat, juga sudah memiliki Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pendewasaan Usia Pernikahan. Sementara di Lombok Utara, saat ini draf Perda Pencegahan Perkawinan Anak masih dalam pembahasan DPRD setempat.
Peningkatan kapasitas
Meski belum memiliki perda di tingkat kabupaten, di Lombok Utara, menurut Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB Sukron, beberapa desa sudah mengesahkan peraturan desa (perdes) pencegahan perkawinan anak.
Selain itu, di Lombok Utara mulai terbangun sistem pelaporan. Menurut Sukron, jika ada indikasi perkawinan anak, desa melapor ke konselor, LPA, dan lainnya. ”Ini berbeda dengan dulu yang tidak dilaporkan. Pasti ditutupi karena desa malu. Menganggap itu sebagai aib. Sekarang dilaporkan,” kata Sukron.
Baca juga: Seandainya Waktu Bisa Diputar Ulang
Terkait hal itu, kata Sukron, LPA NTB juga melaksanakan pelatihan terkait pencegahan perkawinan anak di Lombok Utara. Mereka melatih kader, seperti kades, tokoh adat, dan tokoh perempuan, di sepuluh desa yang mewakili lima kecamatan.
”Pola yang digunakan adalah melalui penguatan kapasitas keluarga, penguatan kapasitas anak melalui kelompok anak, serta regulasi dan penganggaran desa,” kata Sukron.
Menurut Sukron, mereka melatih kader tentang pola asuh anak, pencegahan perkawinan anak, dan terkait pencegahan Covid-19. Selain itu, juga membentuk forum anak yang melaksanakan rencana aksi terkait pencegahan perkawinan anak hingga musyawarah rencana pembangunan (musrembang) anak.
”Hampir semua desa dampingan juga mulai menganggarkan untuk pencegahan perkawinan anak dari dana desa mereka,” kata Sukron.
Baca juga: Edukasi Bahaya Perkawinan Anak Perlu Libatkan Puskesmas
Kegiatan mereka berdampak signifikan. Itu terlihat dari penurunan jumlah kasus perkawinan anak dari 100 kasus pada tahun 2019 menjadi 35 kasus pada tahun 2020. Itu berarti ada penurunan angka kasus perkawinan anak hingga 65 persen.
Di Lombok Timur, sejumlah desa juga memiliki Forum Anak. Salah satu forum yang aktif adalah Forum Anak Pandawa di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Jerowaru. Selain ditujukan untuk memperjuangkan hak anak-anak pekerja migran, forum ini juga sebagai pelapor dan pelopor untuk berbagai isu, termasuk kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan pekerja anak, serta pencegahan perkawinan anak.
Ketua Forum Anak Pandawa Cindy Purnama Putri (16) mengatakan, upaya pencegahan perkawinan salah satunya melalui pembelasan atau memisahkan pasangan anak yang menikah. Sepanjang 2020, mereka sudah menangani 13 kasus.
Dalam melaksanakan pembelasan, Forum Anak Pandawa bekerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari kepala dusun, desa, tokoh masyarakat, kader FP2A, kepolisian, hingga dinas terkait.
Baca juga: Jangan ”Ngeyel” Nikah di Umur 15 Tahun
”Kami bertemu dengan anak-anak yang akan menikah, lalu kami jelaskan berbagai hal, termasuk dampaknya. Itu berhasil membuat mereka mau membatalkan rencana menikah. Sementara dari pihak orangtua, pendekatan dilakukan oleh kader dan pihak terkait,” tutur Cindy.
Tidak mudah melakukan pembelasan. Satu kasus bisa diselesaikan sekitar seminggu, bahkan ada yang satu bulan. Sebagian besar berhasil dicegah, tetapi ada juga yang akhirnya tetap menikah.
”Agar tidak trauma dan down, setelah pembelasan, kami tetap dampingi. Menghibur, ajak bermain, dan ikut kegiatan forum anak,” kata Cindy.
Pendampingan itu diperlukan. Apalagi, di Pandan Wangi, muncul stigma bagi mereka yang tidak jadi menikah. Oleh karena itu, selain ke anak yang tidak jadi menikah, mereka juga sosialisasi ke masyarakat.
Baca juga: Libatkan Ormas Keagamaan dalam Mencegah Perkawinan Anak
Pendamping Forum Anak Pandawa yang juga kader di Forum Pemerhati Perempuan dan Anak Pandan Wangi, Muhammad Fahrul Azmi (22), perkawinan anak disebabkan oleh banyak hal, mulai dari pendidikan hingga persoalan ekonomi keluarga.
”Selain banyak orangtua yang tidak melihat perkawinan anak sebagai hal tabu, banyak juga yang memaksa anak mereka untuk menikah. Tujuannya untuk melepas tanggungan karena persoalan ekonomi (kemiskinan) yang menjerat mereka,” kata Azmi.
Koordinator Divisi Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia, Organisasi, dan Jaringan LPA NTB Warniati mengatakan, jika melihat banyaknya kasus perkawinan anak terkait kemiskinan, maka tugas negara untuk memperkuat perannya dalam menyejahterakan masyarakat.
Hal itu bisa dilakukan dengan membuat data kemiskinan yang jelas. Selain itu, bantuan sosial yang tepat sasaran, misalnya bantuan itu hanya untuk warga miskin yang punya anak. Perlu juga penguatan kapasitas anak muda melalui berbagai forum, seperti posyandu remaja dan keluarga.