Kasus Perkawinan Anak di Kalsel Meningkat Selama Pandemi
Faktor budaya dan ekonomi menjadi penyebab sulitnya pencegahan perkawinan anak di sejumlah daerah, salah satunya Kalimantan Selatan.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS —Perkawinan anak masih terus terjadi di Kalimantan Selatan. Bahkan, ada tren peningkatan selama pandemi Covid-19 jika dilihat dari peningkatan jumlah perkara dispensasi kawin pada 2020 di sejumlah Pengadilan Agama di Kalsel.
Jika dibandingkan dengan 2019 atau sebelum pandemi Covid-19, tren peningkatan perkara dispensasi kawin pada 2020, tercatat di Pengadilan Agama Martapura Kelas I B (Kabupaten Banjar), Pengadilan Agama Amuntai Kelas I B (Hulu Sungai Utara), Pengadilan Agama Barabai Kelas I B (Hulu Sungai Tengah, dan Pengadilan Agama Banjarmasin Kelas I A (Kota Banjarmasin).
Di Pengadilan Agama Martapura, perkara dispensasi kawin meningkat dari 98 perkara pada 2019 jadi 229 perkara pada 2020 atau naik 133,67 persen. Di PA Amuntai perkaranya meningkat dari 53 jadi 168 perkara atau naik 216,98 persen, di PA Barabai meningkat dari 25 jadi 58 perkara atau naik 132 persen, kemudian di PA Banjarmasin meningkat dari 100 jadi 168 perkara atau naik 68 persen.
Pada 2017 dan 2019, tingkat perkawinan anak di Kalsel menempati urutan pertama di Indonesia.(Husnul Hatimah)
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Kalsel Husnul Hatimah yang dihubungi dari Banjarmasin, Jumat (16/4/2021), tidak mau berkomentar terkait peningkatan kasus perkawinan anak di Kalsel selama masa pandemi. Namun, ia mengakui bahwa perkawinan anak di Kalsel masih tinggi. ”Pada 2017 dan 2019, tingkat perkawinan anak di Kalsel menempati urutan pertama di Indonesia,” ujarnya.
Prevalensi perkawinan anak di Kalsel pada 2017-2019 berada di atas rata-rata nasional. Pada 2017, angkanya mencapai 23,12 persen. Artinya, ada 23 dari 100 anak di Kalsel yang kawin di bawah usia 18 tahun. Pada 2018, angkanya turun menjadi 17,63 persen dan menempatkan Kalsel pada urutan keempat di Indonesia. Namun, pada 2019 angkanya naik lagi menjadi 21,18 persen.
Fatrawati Kumari dan Muqarramah Sulaiman Kurdi dalam artikel berjudul ”Pernikahan Anak di Kalimantan Selatan: Perspektif Nilai Banjar”, yang dimuat dalam jurnal Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies Volume 6, Nomor 1, Maret 2020 menyebutkan, pernikahan anak terselenggara karena didasari nilai harmoni, nilai ekonomi, dan nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadikan pernikahan anak berlangsung secara terus-menerus di Kalsel.
Nilai harmoni, yaitu kecenderungan untuk mengikuti arus di lingkungannya, entah itu pada level anak muda maupun level masyarakat. Bentuk nilai harmoni yang biasa dikemukakan masyarakat Kalsel atau orang Banjar yang berkaitan dengan pernikahan anak tampak dalam ungkapan lakas payu atau cepat laku.
Selanjutnya, nilai ekonomi adalah keyakinan masyarakat bahwa pernikahan akan mendatangkan kesejahteraan atau kemakmuran. Jika keadaan orangtua tergolong tidak mampu, pernikahan menjadi jalan untuk membuat hidup anaknya lebih baik. Melalui pernikahan, seorang anak akan mandiri dan berjuang untuk hidup sejahtera.
Terkait nilai religius, orangtua cenderung berkompromi menikahkan anaknya meskipun masih usia belia karena khawatir anaknya melanggar ajaran agama (Islam) yang bisa menimbulkan fitnah. ”Menikahkan anak secepatnya merupakan sikap yang akan menyelamatkan anak dari pergaulan bebas dan bahaya gemerlap dunia yang menyesatkan,” tulis Kumari dan Muqarramah.
Fakhrurazi (40), warga Desa Manarap Tengah, Kecamatan Kertak Hanyar, Kabupaten Banjar, tidak menampik tiga nilai tersebut sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat Banjar. Karena ketiga nilai atau faktor tersebutlah, ia juga tidak bisa mencegah perkawinan anak di kalangan keluarga besarnya baru-baru ini.
”Sebelum bulan puasa ini, keponakan ulun (saya) laki-laki menikah dengan perempuan yang baru lulus SMP. Mereka tidak bisa menikah di kantor urusan agama (KUA) karena yang perempuan belum cukup umur. Akhirnya mereka menikah di bawah tangan atau nikah siri,” tuturnya.
Gafur (22), keponakan Fakhrurazi, sehari-hari bekerja sebagai montir di sebuah bengkel sepeda motor. Adapun, N (15) yang kini menjadi istri Gafur waktu itu masih bersekolah sambil berjualan minuman di dekat bengkel tempat Gafur bekerja.
”Keduanya sering bertemu dan mengaku suka sama suka. Kami dari pihak keluarga juga khawatir kalau mereka berbuat hal-hal di luar batas kewajaran menurut ajaran agama. Karena itu, lebih baik dinikahkan saja,” katanya.
Setelah menikah, Gafur dan N memutuskan hidup mandiri. Keduanya menyewa sebuah rumah tak jauh dari rumah orangtua N di Manarap Tengah. ”Kalau di daerah kami, perempuan menikah muda itu biasa dan cukup banyak malahan,” ujar Fakhrurazi.