Menikah di usia dini mengandung banyak risiko, mulai dari ancaman kesehatan fisik hingga psikis. Sayangnya, dampak negatif menikah terlampau muda tidak banyak dimengerti generasi muda dan orangtua.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Apa pun alasannya, menikah di usia dini atau usia anak-anak sangat berbahaya, terutama bagi anak perempuan. Ketika menikah saat belum cukup umur, risiko terhadap kesehatan reproduksinya sangat besar. Selain pertumbuhan tulang akan terhambat dan berpotensi lebih cepat mengalami tulang keropos pada masa tua, perempuan yang terlalu dini melakukan hubungan seksual berpotensi terkena kanker rahim.
Itu berarti perempuan yang nekat menikah di usia remaja—yang seharusnya masih melewati masa pertumbuhan secara fisik—akan menuai penderitaan saat memasuki lanjut usia. Dampak buruk dan kerugian yang dihadapi para perempuan yang menikah saat usia anak-anak hingga kini masih belum banyak dipahami masyarakat. Akibatnya, perkawinan anak terus berlangsung. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 pun diperkirakan meningkat.
Jangan hanya pre-wedding yang menghabiskan uang banyak, tetapi vitamin yang murah tidak dibeli.
Karena itulah, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, dalam setiap kesempatan, terutama saat bertemu generasi muda, selalu mengingatkan ancaman terhadap kesehatan reproduksi perempuan jika menikah di usia anak-anak. ”Generasi muda, kalau mau masuk kehidupan rumah tangga, harus disiapkan jauh-jauh hari. Jangan hanya pre-wedding yang menghabiskan uang banyak, tetapi vitamin yang murah tidak dibeli,” ujar Hasto.
Ketika seorang perempuan muda, apalagi usia anak-anak, menikah dan mengandung, risiko akan sangat besar. Sebab, persiapan pada awal kehamilan sangat menentukan. Delapan minggu pertama merupakan masa yang menentukan untuk pertumbuhan janin. Jika sang ibu tidak siap, bisa terjadi ketika lahir nanti sang bayi akan berpotensi menjadi disabilitas.
Untuk bisa melahirkan dengan lancar, perempuan yang hamil harus memiliki tulang panggul yang cukup lebar, setidaknya 10 sentimeter. Jika seandainya tulang panggul belum cukup 10 sentimeter, dia akan susah sekali melahirkan dan kepala bayi bisa terjepit karena kepala bayi biasanya berukuran 9,7 atau 9,7 sentimeter.
”Kita (sering) ngeyel umur 15 tahun sudah nikah. Sementara panggulnya saja belum cukup dilewati janin. Kalau umurnya kurang, jalan lahir bisa robek, pendarahan, sehingga angka kematian ibu saat bersalin tinggi karena menikah muda,” ujar Hasto dalam webinar ”50 Juta Penduduk Jawa Barat: Peningkatan Partisipasi Perempuan dan Remaja dalam Pencegahan Pernikahan Anak”, Sabtu (11/7/2020).
Tak hanya menghadapi risiko bersalin yang sulit, seorang perempuan yang menikah saat masih remaja juga akan mengalami kerugian besar. Sebab, saat mengalami kehamilan di usia muda, kalsiumnya akan diambil oleh janin yang dikandungnya. Akibatnya, pertumbuhan tulangnya akan terganggu. Padahal, jika tidak mengalami kehamilan, seharusnya tulangnya masih bisa bertumbuh, bertambah panjang, dan kuat.
”Kasihan lho, nanti umur 50 tahun masuk menopause langsung bungkuk karena tulangnya keropos. Banyak yang tidak mengerti kalau bungkuknya ada hubungan dengan pernikahan usia dini. Ini baru bicara tentang tulang, belum bicara soal mulut rahim,” papar Hasto.
Ketika seorang perempuan remaja berusia 15 atau 16 tahun melakukan hubungan seksual, ada bahaya mengintai di balik hal tersebut. Pada usia tersebut, mulut rahim perempuan muda sangat rentan terkena kanker di kemudian hari karena terlalu dini melakukan hubungan seksual.
Bahaya dari sisi kesehatan reproduksi tersebut hingga kini tidak banyak dimengerti oleh generasi muda, termasuk orangtua. Karena itulah, kampanye stop perkawinan anak harus gencar dilakukan.
Selain mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tulang serta berpotensi kanker mulut rahim, ketika perkawinan anak terjadi, hak-hak pendidikan terampas, anak-anak tidak mempunyai kesempatan untuk menolak ketika terjadinya kekerasan, dan akhirnya negara mengalami kerugian secara ekonomi.
Gangguan kesehatan mental
Perkawinan anak tidak hanya berisiko terhadap kesehatan reproduksi perempuan remaja, tetapi juga berbagai risiko. Bahkan, jika perkawinan anak terjadi di tengah pandemi Covid-19, dan seorang perempuan muda mengalami kehamilan, dampaknya akan jauh lebih buruk.
Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Rina Indiastuti mengingatkan bahaya lain mengintai perempuan-perempuan muda jika nekat menikah dan kemudian hamil. Selain bahaya yang terlihat kasatmata, ada bahaya lain yang tidak terlihat tetapi sangat memengaruhi pasangan suami-istri yang menikah di usia anak pada masa pandemi.
Selain menghadapi kesulitan dari sisi sosial-ekonomi, kesehatan mental dan kesehatan reproduksi juga akan terpengaruh karena pandemi menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran, terutama kepada para ibu. Dari penelitian Unpad, sebagian besar perempuan/ibu terganggu pada masa pandemi.
”Kalau seorang ibu atau remaja hamil, maka kehamilannya akan terganggu karena kecemasan. Kecemasan dan ketakutan akan berisiko bagi kelahiran bayinya kelak. Bukan hanya kesulitan melahirkan, melainkan dikhawatirkan bayi yang dikandung karena mewarisi stres (ibunya), kalau lahir akan menjadi kaum yang stres. Itu yang jadi penting kita sikapi,” paparnya.
Masih jadi tantangan
Dampak kesehatan reproduksi, kesehatan mental, hanyalah sebagian dari risiko yang dialami anak saat menikah di usia anak. Dampaknya sangat kompleks. Sebab, ketika menikah di usia anak, pendidikan akan terhenti. Ketika pendidikannya rendah, akan sulit mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga pendapatannya pasti akan rendah. Di samping itu, berpotensi meningkatkan jumlah pekerja anak sehingga menyumbang angka kemiskinan serta menciptakan kemiskinan ke generasi berikutnya. Hingga 2018, data Badan Pusat Statistik menyebutkan, 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Kepala Perwakilan United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia Anjali Sen, dalam sebuah diskusi daring, meminta semua pihak menghentikan perkawinan anak serta berhenti memperlakukan anak perempuan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan atau obyek untuk dikendalikan.
Anak perempuan harus diberikan hak dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki. Selain pelanggaran fundamental hak asasi manusia yang merampas hak pendidikan, kesehatan, dan prospek jangka panjang anak-anak perempuan, juga membawa berbagai risiko yang membahayakan anak.
Karena itu, pencegahan perkawinan anak penting dilakukan, termasuk saat pandemi Covid-19 saat ini. Sebab, justru di masa pandemi Covid-19 upaya untuk mengakhiri perkawinan anak terhenti dan berpotensi mengakibatkan 13 juta perkawinan anak secara global pada 2020-2030.