Edukasi Bahaya Perkawinan Anak Perlu Libatkan Puskesmas
Bahaya perkawinan anak perlu gencar disuarakan, menyusul berbagai promosi perkawinan anak yang dilakukan pihak tertentu. Bahkan, promosi tersebut menjurus pada provokasi agar anak-anak menikah mulai usia 12 tahun.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya pencegahan perkawinan anak terus dilakukan pemerintah dan berbagai lembaga dengan bermacam cara. Salah satunya dengan meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, terutama anak-anak perempuan tentang bahaya dan dampak perkawinan anak. Pusat kesehatan masyarakat atau Puskesmas yang ramah anak bisa menjadi sarana untuk menyosialisasikan bahaya perkawinan anak.
Masyarakat perlu terus diedukasi dan diberikan pemahaman, bahwa perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang memiliki banyak dampak negatif dan sangat berbahaya tidak hanya bagi anak, keluarga, tapi juga negara.
Selain menyebabkan tengkes (stunting), perkawinan anak mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Perkawinan anak juga berdampak pada tingginya angka putus sekolah dan angka pekerja anak yang dalam praktiknya rentan diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak lainnya.
Tidak ada pilihan lain, pencegahan perkawinan anak harus kita lakukan. Semua pihak harus bersinergi, karena ancamannya banyak sekali.(Lenny N Rosalin)
“Tidak ada pilihan lain, pencegahan perkawinan anak harus kita lakukan. Semua pihak harus bersinergi, karena ancamannya banyak sekali. Tingginya perkawinan anak yang dapat mempengaruhi capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, dan banyak sekali sektor yang tidak akan tercapai,” ujar Lenny N Rosalin, Deputi Menteri PPPA Bidang Pemenuhan Hak Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat (19/2/2021) pada Sosialisasi Upaya Pencegahan Perkawinan Anak untuk Mencapai Derajat Kesehatan Masyarakat yang Optimal Guna Terwujudnya Idola 2030.
Sosialisasi stop perkawinan anak harus ditampilkan dalam materi edukasi yang diolah dalam bahasa sederhana agar mudah dimengerti anak dan keluarga. Sebab, dengan mencegah terjadinya perkawinan anak, maka akan turut mendukung percepatan penurunan angka stunting, dan peningkatan derajat kesehatan anak Indonesia.
Oleh karena itulah, Puskesmas Ramah Anak (PRA) berperan penting. Sebab, Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat penting dalam mencegah perkawinan anak, mengingat 32 persen anak di Indonesia diketahui berobat ke puskesmas.
“Adapun peran dan fungsi puskesmas dalam mencegah perkawinan anak yang dapat dioptimalkan, yaitu melakukan edukasi, sosialisasi, dan konseling terkait kesehatan reproduksi, pentingnya memenuhi hak anak, serta pemahaman terkait hak anak untuk tidak dinikahkan saat usia anak. Hal ini dapat disampaikan oleh para tenaga kesehatan di puskemas untuk diteruskan kepada masyarakat luas seperti keluarga dan anak itu sendiri,” jelas Lenny.
Hal senada juga ditegaskan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati. Menurut Erna, pemberian pengetahuan terkait kesehatan reproduksi (kespro) sangat penting, tidak hanya saat anak menginjak usia remaja, tapi dimulai sejak anak masih bawah lima tahun.
Oleh karena itu, dalam sosialisasi pencegahan perkawinan anak perlu pendekatan khusus kepada anak-anak remaja, baik perempuan maupun laki-laki. “Selama ini kita hanya melakukan intervensi pada anak remaja perempuan, padahal sesungguhnya intervensi harus dilakukan pada anak remaja laki-laki. Kesehatan dan pengetahuan pada anak laki-laki itu juga berpengaruh terhadap anak perempuan,” tegas Erna.
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menegaskan pencegahan perkawinan anak sangat penting, mengingatkan dampaknya yang besar bukan hanya pada tumbuh kembang anak tapi juga pada perekonomian bangsa Indonesia.
“Ketika anak sudah masuk perkawinan pasti terputus semua haknya, pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, pasti akan berdampak pada ekonomi. Maka, perkawinan anak patut dicegah agar semakin melemahkan pengembangan sumber daya manusia,” tegas Woro.
Karena itu, sinergi tidak hanya dalam upaya mencegah perkawinan anak saja, namun dia mengingatkan program yang menyediakan dan memastikan pelayanan kesehatan bagi anak yang sudah menikah juga sangat penting untuk dilakukan. Misalnya menyediakan layanan kesehatan reproduksi untuk memantau kesiapan baik dari sisi psikologis maupun biologis anak agar bisa melahirkan anak yang sehat.
Kampanye bahaya perkawinan anak semakim gencar dilakukan KemenPPPA dan berbagai lembaga, menyusul berbagai kampanye dan promosi perkawinan anak yang dilakukan pihak tertentu. Bahkan, baru-baru ini ada promosi perkawinan anak mulai usia 12 tahun.