Ketika Wakil Rakyat (Kembali) Membahas Isu Kekerasan Seksual
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, kembali dimulai DPR. Kali ini, pembahasan dilakukan di Badan Legislasi, yang juga merupakan pengusul dari RUU tersebut.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya dimulai. Setelah tertunda-tunda, Selasa (23/3/2021), akhirnya Rapat Paripurna DPR mengesahkan 33 rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, termasuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ketua DPR Puan Maharani saat memimpin rapat paripurna tersebut menegaskan terkait rancangan undang-undang (RUU) apa saja yang masuk dalam dalam Program Legislasi Nasional 2021 (Prolegnas) Prioritas 2021, DPR mendengar semua masukan masyarakat. “Semua aspirasi yang masuk kita pertimbangkan dalam menyusun Prolegnas Prioritas 2021,” ujar Puan pekan lalu.
Dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk sebagai RUU inisiatif atau usulan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR, dan naskah akademik (NA) dan naskah RUU disiapkan oleh Baleg.
Pasca-rapat paripurna, awal pekan ini, Senin (29/3/2021), Baleg DPR langsung menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendapat kesempatan pertama memberikan pandangan, sekaligus menyampaikan usulan penyempurnaan atas NA dan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil.
Dalam RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Willy Aditya, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi memaparkan sejumlah penyempurnaan atas NA dan naskah RUU tersebut yang disusun tahun 2020, termasuk menyandingkan dengan Daftar Isian Masalah (DIM) yang disusun Pemerintah tahun 2019.
Salah satu perubahan dan penyempurnaan, adalah soal definisi kekerasan seksual. Penyempurnan definisi ini menjadi penting. Sebab, definisi dalam draf/naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun 2017 menjadi perbincangan yang sangat krusial, di kalangan anggota DPR. Bahkan, saat RDPU maupun saat pembahasan RUU di akhir tahun 2019, (ketika itu di Komisi VIII DPR), perdebatan soal definisi kekerasan seksual seakan tidak ada titik temu.
Pada naskah RUU tahun 2017, kekerasan seksual didefinisikan sebagai :“Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
Namun, oleh sejumlah anggota DPR ketika itu (periode lalu, namun sebagian masih terpilih kembali periode 2019-2024), beberapa kata dalam definisi tersebut dijabarkan terlalu melebar, memasuki wilayah pribadi termasuk hubungan suami istri. Misalnya, kata "hasrat seksual" yang paling sering diangkat dalam ruang-ruang rapat di DPR.
Maka, setelah pada akhir 2019, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berhenti dan gagal dilanjutkan pembahasannya, Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil pun memberikan usulan penyempurnaan atas definisi kekerasan seksual.
Beberapa kalimat pun dihapus yakni kalimat “dan/atau perbuatan lainnya”, “hasrat seksual”, dan “secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”. Namun, ada kalimat baru yang diusulkan yakni“keinginan seksual”, dan “jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya”.
Maka, dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun 2020, definisi di kekerasan seksual diusulkan sebagai berikut “Setiap perbuatan yang merendahkan dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Untuk memperkuat definisi tersebut, Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil pun mengusulkan agar di dalam ketentuan umum juga ditambahkan, kalimat bahwa tindak pidana kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam undang- undang ini.
Ini untuk menjawab, hanya kekerasan seksual yang memenuhi unsur dalam UU ini (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) yang bisa dipidana. Sedangkan yang lainnya otomatis tidak.(Siti Aminah Tardi)
“Ini untuk menjawab, hanya kekerasan seksual yang memenuhi unsur dalam UU ini (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) yang bisa dipidana. Sedangkan yang lainnya otomatis tidak,” papar Siti Aminah yang hadir di DPR bersama dua Komisioner Komnas Perempuan lain, Mariana Amiruddin dan Maria Ulfa Ansor.
Tak hanya perbaiki definisi, urutan sembilan jenis kekerasan seksual pun diusulkan supaya disusun berdasarkan gradasi ringan ke berat, yakni dimulai dari pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Terkait dengan jenis kekerasan seksual, pada naskah RUU 2020, Komnas Perempuan mengusulkan agar kekerasan berbasis jender siber (KBGS)– dalam hal menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik-masuk dalam tindak pidana kekerasan seksual. Sebelumnya KBGS tidak masuk dalam naskah 2017. KBGS diusulkan masuk dalam naskah penyempurnaan karena setahun terakhir kasus KBGS naik signifikan.
Bagaimana tanggapan DPR atas usulan penyempurnaan tersebut ? Dari pengamatan selama RDPU berlangsung, ada hal yang agak berbeda dengan situasi ketika RUU tersebut dibicarakan di Komisi VIII DPR pada periode lalu. Kali ini, mayoritas anggota DPR yang duduk di Baleg, memberikan dukungan atas RUU tersebut termasuk mengapresiasi usulan penyempurnaan NA dan naskah RUU yang disampaikan Komnas Perempuan.
Para anggota Baleg mengakui urgensi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mencegah, menghentikan praktik kekerasan seksual, serta melindungi para korban. Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang mengungkapkan laporan kekerasan seksual yang terus meningkat, namun tidak payung hukum untuk menghentikan praktik kekerasan seksual.
Christina Aryani, anggota Fraksi Partai Golkar mencontohkan, pemaksaan perkawinan, terutama terkait perkawinan anak yang terjadi tapi tidak ada ancaman hukum bagi orang tua yang membiarkan anaknya menikah di usia anak. “Soal KBGS, masyarakat masih belum peduli terhadap masalah ini,” ujar Christina mendukung pembahasan RUU tersebut dimulai.
Putra Nababan, dari Fraksi PDI-Perjuangan bahkan menegaskan, paparan Komnas Perempuan menunjukkan betapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat dibutuhkan. “Setiap hari, semakin lama kita menunda RUU ini, semakin tinggi juga pelaporan dan tindak kekerasan seksual,” tegas Putra.
Dalam RDPU tersebut, suara-suara penolakan keras atas RUU tersebut, nyaris tidak terdengar (lagi). Namun sejumlah anggota Baleg meminta kajian atas RUU tersebut harus dilakukan komprehensif. Muzzamil Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta agar Baleg memberikan kesempatan kepada lembaga/kelompok kajian lain untuk memberikan masukan seperti Komnas Perempuan.
Diah Pitaloka dari Fraksi PDI-Perjuangan mengakui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memang tidak akan menyelesaikan semua persoalan, namun secara substansi dari RUU tersebut sangat jelas, yakni masyarakat saat ini berhadapan dengan tindak kekerasan seksual dan negara harus berperan melindungi warga negaranya.
Meski baru pertemuan pertama, setidaknya perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah mendapat titik terang. Proses legislasi memang baru dimulai lagi. Karena itu, dukungan publik untuk mengawal proses RUU ini menjadi sangat penting.