Dukungan Publik terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Menguat
Publik berharap pemerintah dan legislator serius melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Publik mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Menurut hasil studi oleh organisasi nonpemerintah bidang pembangunan atau INFID, ada 70,5 persen responden menyetujui rancangan regulasi itu segera diberlakukan karena berkontribusi pada terwujudnya kesetaraan jender.
Pihak INFID melakukan studi kuantitatif dan kualitatif mengenai persepsi masyarakat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sepanjang Februari-Juli 2020. Studi kualitatif secara spesifik berlangsung Februari-Mei 2020 dengan total responden 101 orang. Adapun studi kuantitatif dilakukan Mei-Juli 2020 dengan jumlah responden 2.210 orang di 34 provinsi.
Dari dua studi itu, latar belakang responden yakni berpendidikan SMA ke atas. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari mahasiswa, ibu rumah tangga, penyintas, tokoh agama, politik, akademisi, sampai pegiat organisasi nonpemerintah.
Peneliti di Indonesia Judicial Research Society (IJRS) yang juga terlibat dalam riset tersebut, Arsa Ilmi Budiarti, mengatakan, bagi responden yang setuju RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera diberlakukan, mereka berharap agar masyarakat luas diberikan edukasi dan sosialisasi.
Adapun bagi 20,1 persen dari total responden studi kuantitatif yang tidak setuju karena belum memahami isi keseluruhan dan ada yang beralasan pemberlakuannya akan memicu kontroversi. Mereka khawatir keberadaan regulasi itu akan bertentangan dengan norma di masyarakat.
Menjadi korban
Dari sisi prevalensi kekerasan seksual, studi menemukan 71,8 persen responden mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Dilihat dari bentuk kekerasan, 65 persen responden di antaranya menyebut pelecehan seksual. Sisanya menyebut pernah dipaksa menikah, memakai alat kontrasepsi, aborsi, kegiatan seksual di luar keinginan dengan dipukul, diberi tawaran uang, dan ancaman.
Sebanyak 69,7 persen di antaranya menyebut kejadiannya di trotoar atau pinggir jalan dan 34,4 persen di rumah. Sebanyak 57,3 persen dari responden yang mengalami memilih tidak melapor.
”Persepsi mereka, lokasi publik paling rentan terjadi kasus kekerasan seksual. Sebanyak 62,4 persen responden menyebut kejadian berpotensi terjadi tempat umum. Padahal, sejatinya kami selalu menyuarakan bahwa kekerasan bisa terjadi di mana saja dan rumah yang dipersepsikan aman pun dapat jadi lokasi,” ujarnya, Rabu (25/11/2020), di Jakarta.
Dari aspek pemulihan kejadian, lebih dari 93 persen responden mempunyai persepsi bahwa korban berhak mendapatkannya, seperti konseling. Adapun dari sisi penindakan kasus kekerasan seksual, sebanyak 80,7 persen responden setuju siapa pun pelaku diberikan hukuman berat berupa pidana penjara 10-15 tahun. Sebanyak 56,8 persen responden beranggapan perlu ada hukuman tambahan bagi pelaku, seperti bayar denda.
Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) sekaligus terlibat sebagai peneliti di studi kualitatif INFID, Ratna Batara Munti, menyampaikan, temuan studi menunjukkan RUU PKS dipersepsikan bisa mengakselerasi pencapaian kesetaraan jender. Soal urgensi, responden mempersepsikan pemberlakuan RUU PKS dapat menolong dan melindungi korban.
Persepsi mereka, lokasi publik paling rentan terjadi kasus kekerasan seksual. Sebanyak 62,4 persen responden menyebut kejadian berpotensi terjadi tempat umum.
”Dampak kekerasan seksual meluas sampai pada keluarga korban. Persepsi responden menunjukkan praktik kekerasan seksual bisa lestari karena kekosongan hukum, ketiadaan upaya nyata negara mengatasi akar masalah, dan kurangnya pendidikan kesetaraan jender,” tuturnya. Akar masalah praktik kekerasan seksual berulang, yakni relasi kuasa timpang dan konstruksi jender yang diskriminatif.
Selama studi kualitatif dijalankan, ada berbagai usulan responden ketika RUU PKS diberlakukan. Misalnya, RUU PKS diharapkan bisa berkontribusi terhadap pengutamaan korban dan perluasan makna saksi.
Hendrik Lewerissa, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, menyampaikan, RUU PKS menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Hal itu menjadi fakta bahwa legislator peduli urgensi pemberlakuan RUU PKS. Hasil studi INFID dapat dipakai sebagai alat perjuangan masyarakat sipil dan organisasi nonpemerintah yang peduli terhadap kesetaraan jender agar RUU PKS kembali dibahas dan bisa cepat disahkan.
Asisten Deputi Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ali Khasan, mengatakan, kekerasan seksual merupakan kejahatan serius yang dominan menimpa perempuan dan anak. Kelompok ini tergolong rentan.
”Korban kekerasan seksual sering kali disalahkan, susah memproses kasus, dan penegakan hukum yang lemah,” katanya.
Ali menyampaikan, regulasi menyangkut perlindungan korban kekerasan seksual sebenarnya sudah ada, tetapi lingkupnya sempit. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
”Isu kekerasan seksual memerlukan dukungan lintas kementerian/lembaga. Aspirasi masyarakat juga dibutuhkan agar pembahasan RUU PKS kembali dilanjutkan dan bisa sampai disahkan,” kata Ali.