Elemen Kunci Penghapusan Kekerasan Seksual Belum Terinformasi ke Publik
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kini mulai berjalan di Badan Legislasi DPR. Proses ini dilakukan setelah DPR menetapkan RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertundanya pembahasan dan pengesahan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual pada 2019 menjadi pembelajaran penting bagi publik untuk mengetahui lebih jauh apa itu kekerasan seksual. Sebab, hingga kini pemahaman publik terkait kekerasan seksual dan bagaimana memberikan bantuan kepada korban masih berbeda-beda.
Bahkan, enam elemen yang menjadi kunci dari penghapusan kekerasan seksual belum terinformasi dengan baik di kalangan publik sehingga menimbulkan cara membaca yang berbeda. Padahal, enam elemen kunci, yaitu pencegahan, sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual, sanksi pidana, hukum acara pidana, hak korban, dan pemantauan, merupakan materi muatan inti untuk merumuskan payung hukum komprehensif RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Enam elemen ini kami harapkan bisa membantu dan harus ada di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena jika satu elemen hilang, cara kita membaca atau menangani korban itu tidak lagi utuh atau komprehensif. (Siti Aminah Tardi)
”Enam elemen ini kami harapkan bisa membantu dan harus ada di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Karena jika satu elemen hilang, cara kita membaca atau menangani korban itu tidak lagi utuh atau komprehensif,” ujar Siti Aminah Tardi, komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), saat menyampaikan Pandangan Komnas Perempuan pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (29/3/2021).
Dari pembelajaran publik tersebut, maka Komnas Perempuan bersama Jaringan Masyarakat Sipil mengusulkan penyempurnaan naskah akademik (NA) dan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan tahun 2016, kemudian menyandingkan dengan daftar isian masalah (DIM) pemerintah tahun 2019. Harapannya, informasi terkait pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terinformasikan dengan baik.
Dalam RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Willy Aditya, Siti Aminah menjelaskan, sejumlah perubahan dilakukan termasuk terkait definisi mengalami perubahan dari yang diajukan dalam naskah 2017 dan naskah 2020.
Pada tahun 2017, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi jender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Namun, dalam naskah 2020, definisi di kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Perubahannya adalah dalam naskah 2017 beberapa kata dihilangkan, yakni ”dan/atau perbuatan lainnya”, ”hasrat seksual”, ”secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi jender”. Namun, ada kata baru, yakni ”keinginan seksual”, dan ”jenis kelamin, yang dapat disertai dengan status sosial lainnya”.
Di dalam ketentuan umum juga ditambahkan, kalimat bahwa tindak pidana kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam undang-undang ini. ”Ini untuk menjawab, hanya kekerasan seksual yang memenuhi unsur dalam UU ini (RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) yang bisa dipidana. Sementara yang lainnya otomatis tidak,” kata Siti Aminah yang didampingi dua komisioner Komnas Perempuan lain, Mariana Amiruddin dan Maria Ulfa Ansor.
Perubahan lain adalah soal urutan sembilan jenis kekerasan seksual yang disusun berdasarkan gradasi ringan ke berat, yakni pelecehan seksual; pemaksaan perkawinan; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; pemerkosaan; eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; penyiksaan seksual.
Usulan penyempurnaan yang disampaikan Komnas Perempuan mendapat apresiasi dari para anggota Baleg DPR. Sebagian besar menyampaikan terima kasih dengan masukan dari Komnas Perempuan.
Bahkan, Putra Nababan anggota Fraksi PDI Perjuangan menyatakan setuju dengan usulan Komnas Perempuan, termasuk diaturnya kekerasan seksual berbasis siber yang di masa pandemi Covid-19 semakin marak terjadi. ”Saya tidak khawatir dengan masukan masyarakat. Saya justru harapkan kalau ada masukan, seperti Komnas Perempuan, minimal sama atau lebih masukannya, jangan kurang,” ujar Putra.
Namun, beberapa anggota Baleg mengingatkan untuk tetap berhati-hati dalam membahas RUU tersebut dan mempertanyakan kenapa agama tidak masuk dalam dasar dalam RUU tersebut. Muzzamil Yusuf dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera meminta Baleg merumuskan RUU tersebut secara komprehensif dengan mengundang pihak lain.