Hervina, Potret Guru Honorer yang Terus Terpinggirkan
Kasus pemberhentian Hervina, guru honorer di Kabupaten Bone, menunjukkan bahwa pemerintah belum berpihak kepada guru honorer yang selama ini menjadi tumpuan untuk mengatasi kekurangan guru.
Oleh
Yovita Arika/Reny Sri Ayu
·5 menit baca
Beberapa hari terakhir marak pemberitaan tentang pemberhentian Hervina (34), guru honorer di SD 169 Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, melalui pesan Whatsapp, tak lama setelah guru tersebut mengunggah sebuah catatan di akun Facebook-nya.
Dalam unggahan tersebut, Hervina menulis catatan tangan di selembar kertas. Di kertas tersebut tertulis, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) selama empat bulan Rp 700.000. Dia juga merinci, pembayaran utang Rp 500.000, untuk Mammi (ibunya) Rp 100.000, dan untuk kedua anaknya, Aqwan Rp 50.000 lalu Alyia Rp 50.000. Di bagian bawah catatan dia menuliskan, ”Untuk saya mana?”.
Unggahan ini kemudian ramai dan keesokan harinya dia mendapat pesan WhatsApp dari Jumarang, suami kepala sekolah tempat Hervina mengajar. Jumarang adalah kepala sekolah sebelum Hamsina, istrinya menjabat. Jumarang pula dulu yang memanggil Hervina mengajar saat dia masih kuliah.
Dalam pesan tersebut Jumarang mengatakan, ”Kamu berhenti saja mengajar. Cari saja sekolah lain yang bisa membayar dengan gaji lebih tinggi”.
Saat dihubungi, Selasa (16/2/2021) di Bone, Hervina mengatakan, tak ada maksud menyindir pihak sekolah dengan unggahan itu. Ia mengunggah karena lega akhirnya honor dana BOS bisa cair.
Selama 16 tahun mengajar, Hervina mengaku mendapat gaji dari APBD kabupaten sebesar Rp 6 juta dipotong pajak yang dibayarkan sekali dalam setahun. Jika dibagi 12 bulan, jumlahnya sekitar Rp 500.000 per bulan. Selain itu dia mendapat gaji dari dana BOS sebesar Rp 700.000 tiap empat bulan.
Apa pun alasannya, pemecatan guru honorer yang telah belasan tahun mengajar tersebut menunjukkan lemahnya posisi guru honorer dan belum adanya keberpihakan kepada mereka. Mereka menjadi tumpuan untuk mengatasi kekurangan guru, tetapi bisa sewaktu-waktu diberhentikan.
Menurut Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri, pemberhentian Hervina menyalahi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Guru. Permendikbud ini menyebutkan bahwa setiap guru berhak mendapatkan perlindungan hukum ataupun profesi.
Pasal 2 Ayat (3) Permendikbud Nomor 10/2017 menyebutkan, guru harus dilindungi dari ancaman, perlakukan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Kemudian Ayat (4) menyebutkan, perlindungan profesi guru terhadap imbalan yang tidak wajar dan pembatasan dalam penyampaian pendapat.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Ayat 1 Permendikbud itu, menjadi kewajiban pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan atau sekolah untuk melindungi guru. Artinya, sekolah dan pemerintah juga wajib menyediakan gaji yang layak untuk guru.
Pemberhentian Hervina juga tidak memiliki kekuatan hukum. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung, pemberhentian tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 30 Ayat (1) UU Guru dan Dosen menyebutkan, alasan pemberhentian guru dengan hormat yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah guru mengundurkan diri dan putus kontrak. Tidak ada alasan guru diberhentikan karena ada guru pegawai negeri sipil yang masuk atau karena guru mengunggah besaran gaji di media sosial. Informasi yang berkembang, pemberhentian itu karena ada guru PNS baru.
Menjadi pertanyaan apakah penempatan guru PNS harus ”menggusur” guru honorer kalau jumlah guru honorer yang ada saja belum bisa menutup kekurangan guru ASN di sekolah negeri? Menurut Heru Purnomo, Sekretaris Jenderal FSGI, ini merupakan bentuk ketidakcermatan pemerintah dalam memetakan kebutuhan guru.
Puncak gunung es
Apa yang dilakukan Hervina, menurut Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital (JSD) Indonesia M Ramli Rahim, sesungguhnya merupakan puncak keluh kesah guru yang diabaikan dalam dunia pendidikan. Ini merupakan fenomena puncak gunung es masalah guru honorer. Karena itu, hendaknya ini menjadi momen untuk menyadarkan semua pihak, terutama pemerintah, harus berpihak pada pendidikan.
Dengan kejadian, kalangan guru meminta pemerintah memberikan perlindungan kepada guru honorer. Menurut P2G, perlu ada surat keputusan bersama tiga menteri, yaitu menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri agama, serta menteri dalam negeri, sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada guru non-ASN.
Surat keputusan bersama tiga menteri tersebut untuk memberikan perlindungan dan kepastian kesejahteraan guru honorer dan guru sekolah swasta. Praktik diskriminatif tidak hanya sering terjadi pada guru honorer, tetapi juga menimpa guru tetap sekolah swasta. Pemberhentian sebagai guru tetap secara sepihak jamak dilakukan sekolah/yayasan/madrasah swasta.
Selain itu, di tengah proses perekrutan satu juga guru PPPK, pemerintah harus tetap menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru honorer. Semua persoalan ini diakibatkan tidak adanya kepastian nasib guru honorer oleh pemda yang sering abai.
Sekretaris Ditjen Guru dan Tenaga kependudukan Kemendikbud Nunuk Suryani mengatakan, Kemendikbud bersama Dinas Pendidikan Kabupaten Bone telah melakukan pembicaraan secara intensif dan mencari jalan tengah terbaik yang menguntungkan kedua belah pihak dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat. Kemendikbud juga mendukung upaya penyelesaian masalah terbaik bagi guru Hervina.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone tengah mengupayakan penyelesaian kasus ini (kompas.com, 15/2). Kemendikbud memberikan alteratif solusi kepada Hervina dengan mengikuti seleksi guru PPPK. ”Dengan menjadi ASN melalui jalur PPPK, guru akan mendapatkan jaminan kepastian hukum dan juga kesejahteraannya,” kata Nunuk kepada Kompas, Selasa (16/2/2021).
Baik JSD maupun FSGI berharap hendaknya kasus ini menjadi momen untuk menyadarkan semua pihak, terutama pemerintah bahwa harus berpihak pada pendidikan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bersinergi membangun tata kelola guru yang baik. Pemetaan, penempatan dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pun harus sesuai kebutuhan dan peraturan perundangan.
Kasus Hervina hendaknya menjadi kasus terakhir. Keberpihakan kepada guru honorer juga merupakan bentuk keberpihakan pada pendidikan.