Stereotip soal Pakaian Masih Saja Dilekatkan pada Perempuan Korban
Kelanjutan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual bergantung pada komitmen para wakil rakyat di Senayan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak hingga kini menghadapi sejumlah tantangan. Selain relasi kuasa dan konstruksi jender yang diskriminatif yang menjadi akar masalah, persepsi stereotip terhadap perempuan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual hingga kini masih lekat dan memengaruhi cara pandang masyarakat.
Bahkan, di tengah perjuangan menyuarakan stop kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, juga mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas dan disahkan menjadi undang-undang, masih banyak yang menyalahkan korban kekerasan seksual.
Hasil temuan Studi Kualitatif & Kuantitatif Persepsi: Dukungan dan Respons Masyarakat terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) pada Mei-Juli 2020 menemukan sejumlah persepsi publik yang masih menyalahkan korban kekerasan seksual atas apa yang menimpanya.
Perilaku menyalahkan perempuan korban masih sering terjadi di masyarakat sehingga penting sekali adanya pengaturan untuk melindungi korban dari persepsi dan asumsi negatif yang menyalahkan korban.
”Perilaku menyalahkan perempuan korban masih sering terjadi di masyarakat sehingga penting sekali adanya pengaturan untuk melindungi korban dari persepsi dan asumsi negatif yang menyalahkan korban,” ujar Direktur Eksekutif IJRS Dio Ashar saat memaparkan hasil studi tersebut pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR. Rapat untuk mendengarkan masukan dari INFID dan The Bodyshop terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu berlangsung pada Selasa (2/2/2021).
Dalam studi yang melibatkan 2.210 responden di 34 provinsi, muncul anggapan bahwa perempuan dengan pakaian terbuka bukan perempuan baik-baik (45,7 persen). Studi tersebut juga menemukan, masih banyak yang menganggap perempuan diperkosa/dilecehkan adalah karena pakaiannya mengundang (69,7 persen). Bahkan, mayoritas responden memandang bahwa perempuan itu lemah secara fisik sehingga kerap jadi korban kekerasan (80,3 persen) dan menganggap kekerasan seksual wajar dialami perempuan daripada laki-laki (62,8 persen).
Meski publik mengakui bahwa tidak adanya keamanan membuat kekerasan seksual rentan terjadi, dari studi tersebut terlihat betapa masih kuatnya pandangan negatif masyarakat yang memandang perempuan sebagai penyebab kekerasan seksual. Selain menggunakan pakaian terbuka, genit/centil/suka menggoda, perempuan juga dianggap tidak bisa menjaga dirinya dan suka foto dengan pakaian seksi sehingga kekerasan seksual terjadi.
Studi di atas berlawanan dengan penelitian yang dilakukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Universitas Indonesia atas putusan pengadilan terhadap kasus kekerasan seksual. Di sana ditemukan bahwa orang yang menjadi korban justru kebanyakan dalam kondisi pakaian tidak terbuka alias tertutup.
”Bahkan, dalam putusan hakim, kami pernah menemukan ada hakim yang meringankan hukuman pelaku karena diasumsikan korban sering berpakaian terbuka. Jadi, mereka yang salah. Padahal, itu tidak ada korelasi dengan pertimbangan hakim. Maka, Mahkamah Agung meresponsnya dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum,” ujar Dio Ashar.
Selain perspektif aparat penegak hukum yang masih bias jender, kekosongan hukum, ketiadaan upaya konkret negara dalam mengatasi akar masalah, serta kurangnya pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi menyebabkan kekerasan seksual hingga kini tetap lestari.
Yang menarik, studi INFID dan IJRS menemukan alasan kenapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi sangat penting, yakni korban seksual tidak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Sebanyak 66,7 persen kekerasan seksual dialami perempuan dan 33,3 persen dialami oleh laki-laki.
”Laki-laki kenapa tidak pernah ada kasusnya (kekerasan seksual)? Sebab, mereka lebih takut untuk melaporkan kasusnya karena ada sterotip bahwa laki-laki itu sangat kuat dan malu ketika mereka melaporkan. Jadi, penghapusan kekerasan seksual ini penting karena tidak hanya melindungi perempuan, tapi juga korban laki-laki,” tutur Dio.
Karena itu, studi tersebut merekomendasikan, antara lain, pemerintah wajib melakukan sosialisasi dan edukasi kepada semua elemen masyarakat terkait pentingnya tujuan dan manfaat jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan. Langkah ini harus dilakukan agar tidak terjadi misinformasi dan ketidakpahaman masyarakat tentang adanya jaminan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual.
Kajian dari INFID dan IJRS semakin melengkapi berbagai survei dan kasus yang ditemukan di lapangan oleh Forum Pengada Layanan (FPL) untuk perempuan korban kekerasan. Bahkan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati awal Januari 2021 mengungkapkan, dari data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sampai 25 Desember 2020 terdapat 17.802 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dan anak yang dilaporkan. Di dalamnya terdapat berbagai kekerasan seksual.
Terkait persepsi publik yang kurang pas mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, sejumlah anggota Baleg DPR mengatakan, perlu ada sosialisasi untuk meluruskan persepsi tersebut. Namun, di sisi lain, meskipun draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah di tangan DPR dan disetujui sebagai RUU usul inisiatif Baleg, hingga kini masih ada sejumlah anggota DPR yang mengajukan pertanyaan terkait dengan sembilan jenis kekerasan seksual yang akan diatur dalam RUU tersebut.
Diah Pitaloka, anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menegaskan, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat penting karena ada persoalan mendasar yang menjadi kegelisahan publik, yakni meningkatnya kekerasan seksual. ”Bagaimana cara kita melihat relasi kekerasan seksual, melihat kembali hukum kita, dan berbagai nilai budaya dan agama yang mengetengahkan saling menghargai martabat kemanusiaan, ini akan menjadi perdebatan yang substantif dalam perbicangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Diah.
Adapun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sendiri hingga kini proses legislasinya baru sampai pada tingkat persetujuan dalam rapat kerja antara Baleg, pemerintah, dan DPD pada tanggal 14 Januari 2021 lalu. Masih ada satu langkah lagi, yakni pengesahan sebagai Prolegnas Prioritas 2021 dalam Rapat Paripurna DPR.
Karena itulah, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfa Ansor, berharap DPR segera mewujudkan pembahasan RUU tersebut supaya akhirnya bisa disahkan sebagai UU. Itu berarti, kini kelanjutan proses RUU tersebut bergantung pada komitmen para wakil rakyat di Senayan.