Masih Ada Salah Kaprah Soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus dinantikan para korban. Kampanye pentingnya RUU tersebut terus disuarakan organisasi perlindungan perempuan, termasuk mendukung DPR segera wujudkan UU.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini masih menghadapi sejumlah tantangan di antaranya salah kaprah soal pemahaman terhadap rancangan undang-undang tersebut. Karena itu, kampanye untuk meluruskan salah kaprah tersebut harus gencar dilakukan agar masyarakat memahami betapa pentingnya kehadiran undang-undang penghapusan kekerasan seksual.
Salah kaprah terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang kerap dimunculkan di publik, misalnya, adanya tuduhan bahwa RUU tersebut adalah prozina karena hanya berfokus pada ”paksaan”. Ada juga yang menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditunggangi oleh kejahatan dan penyimpangan seksual lainnya.
”Ini yang sering digembor-gemborkan. Padahal, tidak ada satu pun pasal di situ yang menunjukkan persoalan tersebut,” ujar Alimatul Qibtiyah Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada acara Unjuk Bincang bertema ”Perlindungan, Penanganan dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Perspektif Islam” yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Kamis (28/1/2021), secara daring.
Karena sering melaporkan kekerasan seksual yang ada, maka itu dianggap memorakporandakan keluarga. Padahal, RUU ini justru ingin merekatkan keluarga supaya tidak ada kekerasan seksual dalam keluarga.(Alimatul Qibtiyah)
Alimatul yang juga Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebutkan salah kaprah yang lain, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai memorak-porandakan keluarga. ”Karena sering melaporkan kekerasan seksual yang ada, maka itu dianggap memorakporandakan keluarga. Padahal RUU ini justru ingin merekatkan keluarga supaya tidak ada kekerasan seksual dalam keluarga,” ujarnya.
Tidak hanya itu, salah kaprah yang lain adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai bertentangan dengan agama, tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, banyak frasa yang ambigu, tidak setuju dengan Pancasila. Padahal, menurut Alimatul, justru RUU tersebut semangatnya adalah mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang mempunyai nilai keberadaban untuk kemanusiaan yang adil dan beradab.
Karena itulah, hingga kini Komnas Perempuan terus berupaya memperkaya dan menguatkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan menguatkan substansi melalui revisi naskah akademik dan draf RUU berdasarkan masukan dari berbagai pihak, melakukan harmonisasi, dan mendukung substansi dari pengambil kebijakan. Di samping itu, melakukan lobi dan kampanye untuk meluruskan salah kaprah atas RUU tersebut.
Diskusi yang dibuka oleh Zumrotin K Susilo, penasihat ahli INFID, juga menghadirkan pembicara Hamim Ilyas (Sekretaris Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Anggia Ermarini (Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama), dan Nur Rofiah Bil Uzm (anggota Majelis Musyawarah Ulama Perempuan Indonesia/KUPI).
Hamim Ilyas dalam topik berjudul ”Landasan Teologis Dan Filosofis Perlindungan Perempuan Dari Kekerasan Seksual Dalam Islam” menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Perlindungan perempuan dari kekerasan merupakan perwujudan dari hakikat Islam rahmatan lil alamin.
Perlu dukungan
Zumrotin mengajak semua pihak untuk mengawal proses legislasi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang akan dibahas di DPR agar nantinya bisa disahkan pada tahun ini. Dukungan tersebut penting karena hingga kini perjalanan RUU tersebut masih menghadapi berbagai tantangan.
”Kendala utama adalah sekarang ini sudah mulai banyak isu yang meluas di masyarakat bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman. Jadi, tidak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam. Saya melihat mereka belum mempelajari RUU-nya, tetapi sudah memberikan pernyataan bahwa ini tidak sesuai dengan ajaran Islam,” kata Zumrotin.