Kami tak menyangka, pengalaman bertamu ke suatu desa bisa membuat deg-degan. Alih-alih berharap menemukan keramahan warga desa, seorang jawara justru menyambut kami dengan ayunan parang.
Oleh
ANDY RIZA HIDAYAT
·5 menit baca
Kami tak menyangka, pengalaman bertamu ke suatu desa bisa membuat deg-degan. Alih-alih berharap menemukan keramahan warga desa, seorang jawara justru menyambut kami dengan ayunan parang. Ketika itu, kami sedang melacak jejak penadah sepeda motor curian. Informasi awal dari Jakarta, jaringan penadah berada di sejumlah desa di Provinsi Banten, Jawa Barat, dan Lampung.
Parang yang kami takutkan itu diayunkan S, seorang jawara desa. Dia tamu tak diundang yang tiba-tiba bergabung dalam obrolan kami dengan warga Desa Sajira di Kecamatan Sajira, Lebak, Banten, Jumat (8/9/2023). Parang yang diayunkan S dicabut dari belakang punggungnya. Dengan parang itu, ia seakan-akan ingin mengatakan jangan macam-macam padanya. Ia menanyakan mengapa ada kumpul-kumpul di depan rumah KI (66), warga setempat.
Sepertinya S penasaran sebab pembawaan kami tidak seperti warga di sana, apalagi mobil yang kami kendarai berpelat nomor B, asal Jakarta. Preman ini terus saja mengayunkan parangnya sambil ngobrol dengan kami. Untuk sementara, kengerian kami mereda ketika warga yang mengantar kami ke Sajira, F, bilang ke S kalau kami adalah mahasiswa. Dari F kami mengetahui jika S sebelumnya merupakan anggota komplotan pencuri sepeda motor.
”Dia (S) itu mantan pemain (curian motor). Jangan bahas apa-apa soal curanmor di depan dia!” ucap F memperingatkan.
S malah mengajak kami keliling Sajira dengan mobil kami. Tanpa memberi penjelasan, S memilih duduk di kursi depan. Parang yang dia mainkan tadi masih di pangkuannya. Ia mengajak kami ke Makam Keramat Prabu Dalem Wong Sagati, salah satu spot wisata religi di Sajira. Di tempat itu, kami melihat banyak motor tanpa pelat nomor berkeliaran.
Salah satunya yang dikendarai S. Ia menyebut motornya ”yatim piatu”, istilah yang merujuk pada sepeda motor yang tidak punya surat-surat kendaraan. Atas bantuan KI yang juga orang terhormat di Sajira, kami aman dari kejahilan S. Ia tidak berani melontarkan pertanyaan apa pun tentang siapa kami. Menjelang malam, kami bisa lepas dari S yang dari tadi membuntuti gerakan kami.
Malamnya, kami putuskan menginap di rumah KI. Situasi di rumahnya lebih aman ketimbang keadaan malam di Sajira yang mencekam karena minim penerangan di jalan-jalan desa. Kami baru tahu rumah KI sedang krisis air bersih beberapa bulan terakhir karena kemarau. Alhasil, selama hampir dua hari kami tidak mandi sama sekali.
Dia (S) itu mantan pemain (curian motor). Jangan bahas apa-apa soal curanmor di depan dia!
Rencana awal, kami hendak meminta bantuan L, pengojek di kawasan Kecamatan Sajira. Selain pengojek, dia juga cepu polisi setempat yang beberapa kali membocorkan informasi jejaring pencuri sepeda motor dari desa-desa di sana. Sejumlah nama dia sebut sebagai ”asbak”, sebutan lain dari penadah motor curian yang masih teman satu pergaulan dengannya di desa.
Penadah di Sajira tak pernah menyimpan motor curian di rumah sendiri, tetapi diantar ke pembeli langsung. Sebagian motor diberikan saat transaksi di kebun warga atau hutan desa dengan bantuan aparat setempat.
Sebagian penadah yang menjemput motor curian punya guru spiritual. Mereka menjalankan ritual tertentu agar bisa lolos dari kejaran polisi. ”Itu yang pakai pantangan namanya, kalau seminggu, ada satu hari yang enggak boleh kerja (mencuri). Itu pantangan kalau di istilahnya Sunda,” ujar L.
Dicurigai
Sepanjang liputan di Banten dan Karawang menelusuri motor curian, kami terus dicurigai setiap menanyakan asal muasal motor tanpa nomor polisi (nopol). Di daerah Pedes, Karawang, Wati (23) irit cerita ketika kami menanyakan asal motor Honda Beat tanpa nopol yang ia miliki.
Dia membenarkan motornya tak memiliki surat-surat dan dibeli dengan harga murah di bilangan Rengasdengklok. Namun, dia enggan bicara lebih banyak terkait motor yang dia punya selama hampir enam tahun terakhir.
Di Desa Dongkal, Pedes, kedatangan kami juga dicurigai warga setempat. Pandangan penuh kecurigaan itu hadir lantaran kami datang dengan mobil pelat nomor Jakarta. Meski tidak disambut ayunan parang seperti saat di Sajira, kecurigaan warga desa tetap membuat kami tidak bisa bertanya tentang motor curian ke sembarang orang.
Waspada
Sebagai pewarta, alarm kewaspadaan kami wajib menyala saat mendatangi tempat yang telanjur dicap sebagai ”daerah merah”. Keselamatan harus jadi diskusi utama sebelum berangkat ke sana. Contohnya, saat kami pergi ke Jabung, Lampung Timur, Provinsi Lampung, awal September 2023. Daerah ini terkenal di kalangan aparat. Gambaran mereka tentang Jabung bikin bulu kuduk merinding. Sarang rampok, kampung begal, dan sederet gelar tak elok lainnya tentang daerah ini akan mengemuka saat ngobrol dengan mereka.
Entah benar entah tidak desas-desus itu, kami tak tahu. Yang pasti, kami harus mempersiapkan segala sesuatunya biar lancar saat di lapangan. Untuk ini, kami banyak berdiskusi dengan wartawan Kompas yang bertugas di Lampung, Vina Oktavia. Lewat Vina, kami mengenal Ketua Pemuda Jabung Zainal Abidin. Bang Zainal jadi pemandu kami selama liputan di sana.
Vina juga menyarankan agar kami tidak membawa kendaraan sendiri ke Jabung. Setuju dengan sarannya, kami minta Bang Zainal untuk menjemput ke hotel tempat kami menginap di Bandar Lampung. Dia pun setuju. Bandar Lampung-Jabung kami tempuh selama kurang lebih dua jam. Selama di perjalanan, kami masih bertanya-tanya, apa benar daerah ini sengeri yang diceritakan orang.
Setelah melewati kebun karet yang memenuhi sisi kiri dan kanan jalan, Jabung mulai terlihat. Sebagian penduduknya masih mempertahankan rumah panggung. Kami diajak berkeliling sebelum akhirnya turun di rumah Zainal, tempat kami menginap selama di Jabung.
Zainal ternyata tahu betul cara menjamu tamu. Dia menyajikan kopi hangat dengan tambahan buah durian. Buahnya bisa dimakan langsung atau dicampur ke dalam kopi. Cerita tentang Jabung yang seram pun menguap oleh lezatnya kopi durian.