Kepopuleran Produk Indonesia di Puncak Afrika
Sebelum dikenal di banyak benua, lebih dari 10 tahun lalu, mi instan dan rokok produksi Indonesia telah digemari penduduk lokal Gunung Kilimanjaro, Afrika, satu dari tujuh puncak dunia.

Makan siang yang dinikmati oleh Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri dalam perjalanan menuju Horombo Hut untuk pendakian di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, 29 Juli 2010. Ketinggian dapat menurunkan nafsu makan dan berbahaya bagi pendaki jika tubuh tidak diberi asupan bergizi untuk sumber energi dan modal beraktivitas.
Di Kompas.id telah terbit tiga laporan untuk rubrik "Di Balik Berita" tentang pengalaman penulis meliput Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri ke Gunung Kilimanjaro di Afrika pada kurun 27 Juli- 6 Agustus 2010.
Selain soal pengalaman jatuh bangun menggapai puncak gunung tersebut, ada satu lagi pengalaman menarik di sana yang ternyata cukup memengaruhi proses mendaki salah satu puncak tertinggi dunia itu.
Pengalaman itu terkait dengan sejumlah produk Indonesia yang ternyata digandrungi di puncak gunung berjuluk “Mahkota Afrika” itu.

Para portir mempersiapkan bahan makanan untuk mendukung pendakian Gunung Kilimanjaro oleh Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri pada 28 Juli 2010.
Namun tak mudah bagi saya untuk menuliskan pengalaman tersebut. Saya perlu membaca-baca lagi berita dan feature yang pernah saya susun selama mengikuti ekspedisi itu demi membangkitkan kembali ingatan dan kenangan akan pengalaman dari masa 13 tahun lalu itu. Selain itu, saya juga perlu membongkar arsip-arsip foto. Semuanya dilihat sebagai bahan penulisan.
Sayangnya, buku catatan liputannya sudah tidak ada, barangkali terbuang. Jadilah saya hanya bisa mengandalkan dokumen berita, feature, dan foto sebagai pintu masuk ke masa lalu untuk ditulis kembali di masa kini.
Pendakian menuju puncak Kilimanjaro yang disebut Uhuru, dimulai pada 28 Juli 2010, dengan menempuh jalur tenggara atau dari Marangu, Tanzania. Tim ekspedisi beranggotakan pendaki Ardeshir Yaftebbi, Iwan Irawan, Martin Rimbawan, Fajri Al Luthfi, Nurhuda, dan Gina Afriani.
Mereka didampingi pendaki senior Iwan Abdurrahman atau Abah Iwan, Remi Tjahari atau Kang Remi, dan Henricus Mutter dari Wanadri. Dari media massa ada Manajer Tim Bambang Hamid dan juru kamera Popo Nurakhman dari MetroTV serta saya dari harian Kompas.
Baca juga : Bermodal Nekat, Mendaki Kilimanjaro

Wartawan Kompas Ambrosius Harto (depan kiri) saat bersama Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri menikmati makan malam di Mandara Hut saat pendakian Gunung Kilimanjaro melalui jalur Marangu, Tanzania, 28 Juli 2010. Untuk membantu perjalanan, pendaki dapat menggunakan jasa perusahaan wisata yang menyediakan portir, juru masak, dan pemandu.
Untuk kesuksesan pendakian, tim memakai jasa portir, pemandu, dan juru masak dari penduduk lokal yang mayoritas berasal dari suku Chagga. Tim menyewa jasa perusahaan Kigusa yang dipimpin oleh Gasper Meela yang ketika itu adalah Kepala Desa Marangu. Kigusa mengerahkan 30 portir, satu juru masak, dan lima pemandu pendakian.
Portir yang disewa cukup banyak karena mereka harus membawa semua kebutuhan tim, seperti bahan makanan, perlengkapan, peralatan, dan generator set. Kami sendiri sekadar memanggul beban enteng berupa tas berisi kudapan, minuman, sarung tangan, penutup kepala, jaket, dan kamera.
Para pemandu yang menyertai selama pendakian, masing-masing memanggul tas besar berisi perlengkapan pribadi. Dengan sigap, mereka akan membawakan tas kami yang mulai terlihat gontai atau kelelahan.
Selama pendakian, pemandu kerap menjelaskan beragam informasi, terutama tentang tumbuhan dan tempat-tempat yang dilalui. Selain itu, mereka siap siaga mengobati dan mengurut saat ada pendaki yang sakit.
Mereka juga amat senang jika diminta mengajari kata-kata dan lagu dalam bahasa Swahili dan antusias mempelajari beberapa kata dan kalimat bahasa Indonesia.
Baca juga: Merah Putih di Puncak Kilimanjaro

Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri menikmati makan siang dalam perjalanan menuju Horombo Hut saat pendakian Gunung Kilimanjaro, Tanzania, 29 Juli 2010. Ketinggian dapat menurunkan nafsu makan dan berbahaya bagi pendaki jika tubuh tidak diberi asupan bergizi sebagai sumber energi untuk beraktivitas.
Kondang
Untuk pendakian, kami juga membawa bahan pangan dari dalam negeri meski tidak terlalu banyak. Lumayan, bisa jadi obat kangen masakan Nusantara selama di negeri orang. Kebanyakan membawa mi instan merek Indomie, abon, sambal, saus cabai, ikan asin, dan rokok. Waktu itu, saya masih mencandu rokok dan senang dengan rokok kretek.
Di sinilah keheranan saya bermula. Saat saya menawari rokok kretek kepada pemandu Jawadi Mullah, ia terlihat amat senang sampai-sampai seperti hendak menari. Ia bahkan memeluk saya sebagai ungkapkan terima kasih. Saat itu saya membawa beberapa bungkus Dji Sam Soe dan Djarum 76.
Saat saya menawari rokok kretek kepada pemandu Jawadi Mullah, ia terlihat amat senang sampai-sampai seperti hendak menari.
Jawadi bilang, rokok dari Indonesia terkenal paling nikmat. Di Tanzania, lebih banyak beredar rokok filter. “Rokok filter di sini pahit tetapi yang dari negerimu nikmat sekali, ada manis dan gurih. Rokok kretek lebih nikmat lagi, ada rempahnya,” katanya.
Baca juga : Mendaki Zig-zag bak Ular di Lereng Kilimanjaro

Makan siang yang dinikmati oleh Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri dalam perjalanan menuju Horombo Hut untuk pendakian di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, 29 Juli 2010.
Saya kemudian bertanya rokok apa yang paling ia sukai. Sang pemandu menjawab rokok kretek dan ternyata paham bahwa harga eceran Dji Sam Soe lebih mahal daripada Djarum 76.
Jawadi juga mengaku menyukai produk Gudang Garam, baik yang kretek maupun yang filter. “Saya bisa tahu dan merasakannya karena pernah diberi oleh pendaki dari Indonesia,” ujar Jawadi.
Melihat Jawadi begitu gembira, saya beri dia dua bungkus rokok kretek. Saya ingatkan agar ia membagikannya secara adil kepada keempat rekannya. Pemandu lain, yakni Agustino dan Samuel Minja atau Morgan, menyempatkan diri mengucapkan terima kasih kepada saya dan tim pendaki, setelah diberi tahu oleh Jawadi.
Seleraku
Dalam pendakian, saya juga bertanya kepada pemandu adakah produk Indonesia lain selain rokok yang juga terkenal di Afrika? Jawadi, Agustino, dan Morgan, memberi jawaban yang sama, yakni Indomie. “Kapan negerimu mau membangun pabrik Indomie di Afrika?" tanya Morgan.
Baca juga: Rumitnya Membongkar Skandal Joki di Kalangan Akademisi

Ilustrasi. Iklan Indomie di sebuah bangunan di Ghana.
Bahkan, Jawadi mendendangkan lagu pariwara Indomie yang nadanya "… Indomie seleraku …" tetapi dengan syair dari bahasa Swahili. Aduh, sayangnya catatan saya tentang terjemahan lirik itu telah terbuang sehingga tidak bisa menuliskan ulang terjemahan yang ditulis sendiri oleh Jawadi.
Tanpa bermaksud merendahkan merek mi instan lainnya, harus diakui ketika itu Indomie sudah dikenal di dunia. Abah Iwan pun sempat berkelakar, kalau pendaki Indonesia sulit makan selama mendaki di mancanegara, obatnya bisa dengan mi instan (Indomie).
“Mau disuguhin piza di puncak gunung, kalau ada Indomie, saya sih pilih Indomie rebus, ha-ha-ha,” ujar Abah Iwan yang juga sang pencipta lagu "Melati dari Jayagiri".
Agustino mengatakan, kalau pendaki Indonesia membawa Indomie, makanlah barang sedikit untuk mendorong nafsu makan. Karena semakin tinggi mendaki, kadar oksigen di alam semakin menipis. Situasi itu dapat memengaruhi nafsu makan. Akibatnya, seenak apapun masakan yang dihidangkan tetapi kalau tiada nafsu, ya, nyaris tidak ada yang bisa ditelan dan masuk ke perut.
Baca juga : Hampir Patah Arang, Berujung Menang

Ardeshir Yaftebbi (kiri), Fajri Al Lutfhi (kanan), keduanya pendaki Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari Wanadri dan wartawan Kompas (tengah) berpose di puncak Kilimanjaro atau Uhuru (5.895 meter), Minggu (1/8/2010) siang. Uhuru merupakan puncak tertinggi di Afrika yang juga satu dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua. Foto diambil oleh Martin Rimbawan, pendaki ekspedisi dari Wanadri.
Iwan Irawan alias Kweceng menimpali, kalau pendaki dari Indonesia sudah tidak bisa makan Indomie di ketinggian, maka suramlah hidupnya. Mi instan berbumbu asin dan gurih adalah penyelamat untuk asupan darurat agar seseorang tetap kemasukan makanan.
“Saya pernah harus maksa makan biar tidak ambruk dan mati di gunung. Yang bisa saya telan ya cuma Indomie. Itu pun dengan hidung ditutup agar tidak muntah,” katanya.
Seusai pendakian di Kilimanjaro, tim melanjutkan perjalanan ke Rusia untuk mendaki Gunung Elbrus, puncak tertinggi Eropa. Untuk menuju Rusia, kami terlebih dahulu terbang dari Kilimanjaro ke Nairobi, Kenya. Tim kemudian singgah untuk memenuhi undang jamuan dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Kenya di Nairobi. Ketika itu, jabatan duta besar diemban oleh Budi Bowoleksono.
Dalam perbincangan di kedutaan, saya sempat bertanya tentang popularitas rokok dan mi instan buatan Indonesia. Budi membenarkan dan menegaskan, terutama tentang Indomie yang amat digemari.
“Saat awal saya bertugas di sini, dikirimlah satu peti kemas Indomie ke Nairobi. Dalam sepekan, Indomie ludes, dan kami diminta untuk mengirim lebih banyak lagi,” katanya.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (2): Antara Hidup dan Mati di Elbrus

Anggota Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri berada di suatu bukit berketinggian di atas 4.000 meter untuk aklimatisasi, Jumat (30/7/2010) siang. Aklimatisasi atau penyesuaian dengan kondisi tempat beroksigen tipis diperlukan untuk menunjang pendakian menuju puncak Kilimanjaro (5.895 meter) yang menurut rencana digapai pada Minggu pagi.
Budi melanjutkan, pengiriman kemudian ditambah menjadi dua peti kemas untuk dijual di toko-toko. Semuanya ludes dalam sepekan. Negara-negara Afrika lainnya yang ingin kebagian dikabarkan meminta Indonesia meningkatkan ekspor mi instan bahkan jika perlu membuka pabrik di sana untuk berproduksi.
Di masa kini, kita menyadari betapa mi instan buatan Indonesia telah mendunia. Sempat tebersit di pikiran mengapa dahulu tidak memanfaatkan peluang ekonomi ini untuk menjadi penyalur mi instan di Afrika atau mancanegara.
Namun, kelebat pikiran itu segera terhapus setelah ingat banyaknya kegembiraan yang diperoleh selama menjadi wartawan. Salah satunya, bisa turut menjadi saksi bahwa ada produk dalam negeri yang digandrungi bahkan menjadi andalan di puncak-puncak tertinggi dunia.