Mendaki Zig-zag bak Ular di Lereng Kilimanjaro
Dari Horombo, puncak Kilimanjaro yang bersalju tampak begitu anggun. Langit malamnya bersih berhias bintang. Udara dingin sekitar 10 derajat celsius seakan tak terasa ketika tubuh berbalut pakaian tebal nan hangat.

Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari Wanadri dalam pendakian ke Kilimanjaro, Tanzania, Juli 2010. Kilimanjaro merupakan gunung kedua yang didaki atau setelah pendakian ke Carstensz Pyramid di Papua.
Hari ini, tepat 11 tahun lalu, Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Kilimanjaro (5.895 meter), Tanzania, Minggu (1/8/2010).
Namun, sebelum saya ceritakan perjuangan menjejak puncak Kilimanjaro, saya akan lanjutkan terlebih dahulu kisah pendakian dalam tulisan sebelumnya.
Hari Rabu (28/7/2010), kami baru saja tiba di pemondokan Mandara (Mandara hut) yang menandai selesainya tahap pertama pendakian. Mandara yang berada di ketinggian 2.720 meter di atas permukaan laut dicapai setelah tiga jam mendaki dari gerbang Marangu.
Baca juga: Bermodal Nekat Mendaki Kilimanjaro
Perjalanan kami didampingi dua pemandu. Semua barang dan perlengkapan pendakian dalam tas besar dibawa portir yang lebih dulu berangkat. Anggota tim hanya membawa tas lebih kecil berisi jaket dan celana tahan angin badai, air minum, serta penganan manis dan gurih.
Setelah 1,5 jam mendaki, tim beristirahat di titik Kisambioni (2.200 meter) untuk menikmati makan siang yang sudah kami pesan sebelumnya. Menunya, sup sayuran, roti tawar, biskuit, potongan pisang, semangka, tomat, dan paprika hijau. Minumannya jus nanas, teh, dan kopi.
Akhirnya kami tiba pukul 17.00 dan menginap di Mandara sebelum keesokan harinya melanjutkan pendakian ke pemondokan Horombo yang berjarak 4,5 jam perjalanan dari Mandara.

Pemondokan Horombo
Fasilitas pemondokan Mandara yang berbentuk pondok kayu berbentuk limas segitiga amat lengkap dan tertata rapi. Tim menginap di pondok besar di lantai dua. Lantai bawah untuk bersantai para pendaki menikmati teh, susu, kopi, dan penganan serta makan malam.
Di sekitar pondok terdapat toilet yang juga berbentuk bangunan kayu yang bersih dan tidak berbau. Pemondokan dikelilingi pepohonan dan vegetasi yang dipenuhi lumut. Sekitar 15 menit berjalan dari Mandara, terdapat sumber air panas.
Menginap di Mandara membantu memulihkan rasa letih kami. Keesokan harinya, perjalanan berlanjut ke Horombo. Meski rute Mandara-Horombo terasa melelahkan, perjalanan sebenarnya cukup menyenangkan.
Baca juga: Foto Jurnalistik yang Turut Merekam Kenangan Bersama Istri Tercinta
Selama perjalanan, tim banyak belajar bahasa Swahili dari pemandu, seperti Jawadi dan Augustino. Keduanya mengajari anggota tim beberapa kata dan lagu Swahili. Pendaki senior Abah Iwan dan Kang Remi yang paling antusias mencoba menghafalkan lagu-lagu balada itu. ”Saya tahu satu lagu yang mereka ajarkan dari rekaman koleksi Bung Karno sekitar awal 1970,” kata Abah Iwan.
Abah Iwan dan Ardhesir yang paling sering mendendangkan lagu-lagu balada Swahili dalam perjalanan Mandara-Horombo. Setengah perjalanan, tim berhenti untuk makan siang.
Menu hari itu amat istimewa dan menggugah selera. Maklum, setelah dua hari nasi absen mengisi perut, akhirnya kami bertemu lagi dengan si bulir-bulir putih nan empuk. Lauknya, ayam dalam sayur, semacam lodeh berkuah merah yang ternyata lezat. ”Is it good?” tanya Mathias ”sang koki”. Tim dengan mantap mengangguk.

Suasana persiapan sebelum mendaki.
Perjalanan berlanjut dan kami tiba di Horombo pada sore hari. Ternyata, portir dan pemandu menawarkan diri untuk membuat acara penyambutan. Ide itu tentu disambut gembira.
Tidak lama kemudian, Jawadi mengumpulkan para portir dan pemandu lainnya di depan pondok kayu tempat pendaki berkumpul. Portir dan pemandu pendakian pun menyanyikan lagu-lagu balada dalam bahasa Swahili.
Tim kami saat itu terdiri dari 6 pendaki ekspedisi dari Wanadri, 3 pendaki senior Wanadri, wartawan dan juru kamera Metro TV, serta saya.
Baca juga: Dari Meja ke Meja dan Anugerah Emas
Juru kamera Metro TV, Popo, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk merekam atraksi yang tidak biasa ini. Setelah ia memberi aba-aba, portir dan pemandu pun mulai bernyanyi.
”Kilimanjaro Kilimanjaro /Kilimanjaro Kilimanjaro /mlima mrefu sana /ewe njoka ewe njoka ewe njoka/ ewe njoka mbona wanizunguka/ wanizunguka wataka....”
Lirik berbahasa Swahili itu kira-kira berarti ’Kilimanjaro adalah gunung yang amat besar. Agar bisa mencapai puncak bersalju dan amat tinggi itu, pendaki berjalanlah seperti ular yang zig-zag, dan pelan-pelan saja.’

Suasana penyambutan Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri oleh para portir dan pemandu di pemondokan Horombo di kaki Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Kamis (29/7/2010) sore. Horombo dicapai hampir tujuh jam perjalanan dari pemondokan Mandara, penginapan pertama tim di jalur pendakian Marangu.
Jawadi pun amat bersemangat memandu rekan-rekannya bernyanyi dan menari. Pendaki senior, seperti Abah Iwan, Remi Thajari, dan Hendricus Mutter, ikut bergoyang. Lima anggota tim lainnya, yaitu Gina Afriani, Fajri Al Luthfi, Nurhuda, Ardhesir Yaftebbi, dan Martin Rimbawan, juga larut dalam kegembiraan sambil sesekali menjepretkan kamera serta mengaktifkan handycam merekam aktivitas mereka.
Keriuhan itu kontan menarik perhatian ratusan pendaki, portir, dan pemandu lainnya di Horombo. Mereka tersenyum melihat ulah gembira kedua belas warga Indonesia ini. Penyambutan ini pun terasa spesial dan seakan menghilangkan keletihan setelah pendakian selama dua hari.
Dari Horombo, puncak Kilimanjaro yang bersalju tampak begitu anggun. Langit malamnya bersih berhias bintang-bintang. Udara dingin sekitar 10 derajat celsius seakan tak terasa ketika tubuh berbalut pakaian hangat nan tebal meringkuk dan bermimpi dalam kantong tidur.
Menuju Puncak Uhuru
Tim baru meninggalkan Horombo menuju pemondokan Kibo (4.714 meter), Sabtu (31/7/2010). Kibo adalah pemondokan (hut) terakhir tempat menginap para pendaki Kilimanjaro dari jalur Desa Marangu. Dari dataran tinggi berbatu dan berpasir itulah tim akan mencoba menggapai Uhuru atau puncak Kilimanjaro.
Pendakian menuju puncak tertinggi di Afrika itu dimulai Sabtu tengah malam dan diperkirakan menghabiskan waktu 7-8 jam dari Kibo. Jika tidak ada aral melintang, puncak akan digapai pada Minggu pagi.
Kibo berjarak hampir 10 kilometer dari Horombo. Perjalanan dari Horombo menuju Kibo diperkirakan butuh waktu 6-7 jam. ”Apabila tanpa berhenti lama untuk makan siang, Kibo bisa dicapai lima jam,” kata Jawadi.

Groundsels, tanaman sejenis kaktus dengan latar belakang Gunung Kilimanjaro. Gunung Kilimanjaro dengan puncaknya, Uhuru, yang berselimut salju dipotret dari lembah pada Juli 2010.
Tim tiba di Horombo hari Kamis. Pada Jumat, tim bisa saja melanjutkan perjalanan langsung menuju Kibo, tetapi lebih memilih untuk aklimatisasi atau penyesuaian dengan tempat berketinggian di atas 4.000 meter yang beroksigen tipis.
Sebagai gantinya, setelah sarapan pada Jumat pagi, tim menuju Batu Zebra (4.048 meter) demi beraklimatisasi. Bukit berbatu yang di depannya adalah hamparan padang helychrysum atau tumbuhan abadi, seperti edelweiss, ditempuh 1,5 jam dari Horombo.
Dari Batu Zebra terlihat Gunung Mawenzi (5.149 meter) yang puncaknya bersalju dan hanya bisa dicapai dengan teknik pemanjatan pada tebing batu dan tebing es.
Jalur menuju Kibo berupa jalan setapak yang di kiri dan kanannya berupa hamparan padang edelweiss dan tumbuhan jenis lobelia.
Setelah aklimatisasi, tim kembali menuju Horombo melalui jalur lain, yakni jalur perjalanan Horombo-Kibo. Kepulangan melalui jalur itu sekaligus memberikan pengalaman kepada tim tentang kondisi jalur menuju Kibo yang akan dilalui pada Sabtu pagi.
Jalur menuju Kibo berupa jalan setapak yang di kiri dan kanannya berupa hamparan padang edelweiss dan tumbuhan jenis lobelia, seperti nanas, senecio, dan grounsels yang mirip kaktus, tetapi berukuran raksasa.
Dari jalur ini pula, Kilimanjaro yang puncaknya bersalju tampak begitu jelas dan megah. Suhu udara selama perjalanan menuju Kibo berkisar 10-15 derajat celsius sehingga anggota tim tetap akan memakai pakaian hangat yang berbalut jaket anti-angin. (Bersambung)