Foto Jurnalistik yang Turut Merekam Kenangan Bersama Istri Tercinta
Foto saya diumumkan mendapat penghargaan perunggu. Foto itu kini menjadi kenangan berharga dalam perjalanan hidup bersama istri tercinta, sekaligus menjadi monumen pelajaran penting dalam perjalanan jurnalistik saya.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Seorang perawat beristirahat sejenak ketika melaksanakan screening (penapisan) Covid-19 terhadap pasien di sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, Rabu (23/9/2020). Foto ini mendapat penghargaan Asian Media Awards 2021 WAN-IFRA.
Terkejut sekaligus terharu saat mendapat kabar bahwa foto karya saya mendapat anugerah perunggu dalam Asian Media Awards 2021 WAN-IFRA. Foto tentang tenaga kesehatan yang kelelahan itu membawa ingatan saya kembali ke beberapa waktu lalu. Saya memotret peristiwa tersebut secara spontan di sela-sela mendampingi almarhumah istri menjalani penapisan Covid-19 sebelum dirawat akibat sakit kanker.
Rabu, 23 September 2020, tiba-tiba saya terbangun pukul 04.30. Tidak biasanya saya bangun sepagi itu. Saya melihat istri sedang mengalami kejang dan perdarahan di mulut. Sambil panik, saya berteriak membangunkan ibu dan adik saya. Anak saya yang saat itu baru berumur 2,5 tahun ikut terbangun.
Pagi itu, saya berpikir semuanya telah berakhir. Istri saya, Lihouna Aquari Girsang, sudah setengah tahun berjuang menjalani pengobatan dan terapi sejak divonis terkena kanker paru pada Maret 2020.
Saya memotret peristiwa itu secara spontan di sela-sela kesibukan mendampingi almarhumah istri ketika menjalani penapisan Covid-19 sebelum dirawat karena sakit kanker.
Kami segera melarikannya ke Rumah Sakit Murni Teguh Memorial, Medan. Istri saya berhasil sadar setelah mendapat tindakan di instalasi gawat darurat (IGD). Dokter menyebut sel kanker sudah menyebar ke otaknya yang menyebabkan kejang. Jika saja tidak segera mendapat obat antikejang, kondisi itu bisa mengancam jiwa, demikian kata dokter.
”Kita di mana? Kenapa kita di rumah sakit?” tanya Lihouna setelah sadar.
Saya pun menjelaskan keadaannya yang kejang dan mengalami perdarahan. Saya ungkapkan betapa bersyukurnya dia masih di sisi saya pagi itu. Istri pun tersenyum mendengarnya.
Foto karya wartawan Kompas, Nikson Sinaga, yang mendapat penghargaan perunggu untuk kategori Foto Terkait Covid-19 dalam Asian Media Awards 2021.
Setelah mendapatkan pertolongan kedaruratan, ia harus menjalani penapisan Covid-19. Situasi di IGD sangat sibuk saat itu. Suasana pandemi terasa sangat kuat. Berbanding terbalik dengan di luar sana. Kafe dan kedai kopi di Medan masih ramai, seolah tak terjadi pandemi.
Meski masih sangat pagi, tenaga kesehatan dengan alat pelindung diri lengkap sibuk hilir mudik. Pasien dengan gejala sesak napas berat silih berganti masuk instalasi gawat darurat (IGD).
Di ruang administrasi, tidak sedikit keluarga pasien berdebat dengan suara keras ketika diminta menandatangani surat persetujuan penanganan terkait Covid-19. Padahal, surat itu sebenarnya sangat standar, seperti bersedia dirawat di ruang isolasi jika positif Covid-19 dan bersedia dimakamkan dengan protokol Covid-19 jika pasien meninggal ternyata positif atau dalam pengawasan Covid-19.
Sama seperti yang lain, sebelum mendapat tindakan lebih lanjut, istri saya juga harus menjalani penapisan Covid-19. Petugas laboratorium mengambil sampel darahnya untuk tes cepat. Selain itu, dia juga harus menjalani CT scan untuk melihat apakah ada gejala Covid-19 yang terungkap lewat citra parunya.
TANGKAPAN LAYAR
Koran Kompas edisi 2 September 2020, edisi khusus enam bulan pandemi Covid-19 di Indonesia. Desain halaman depan ini memenangi anugerah emas kategori Desain Halaman Muka Surat Kabar dalam Asian Median Awards 2021.
Momen foto
Istri saya kemudian dibawa masuk ke ruangan CT scan. Saya pun berdiri menunggu di depan ruangan. Di sela waktu menunggu, terlihat seorang tenaga kesehatan dalam pakaian hazmat putih muncul dari ujung lorong. Ia mendorong seorang pasien yang terbaring di atas brankar. Semakin dekat, terlihat gerak tubuhnya yang sepertinya sangat kelelahan.
Dia lalu berhenti dan menepikan brankar pasien ke dekat dinding, lalu berdiri di dekatnya. Sampai di situ, saya belum terpikir sama sekali untuk memotretnya. Tenaga kesehatan itu lalu berjongkok dan meletakkan kedua tangannya di atas lutut.
Naluri jurnalistik saya tiba-tiba muncul. Saya menyadari momen visual itu punya makna kemanusiaan yang sangat kuat. Betapa para perawat yang merupakan tenaga kesehatan di garis terdepan ini begitu pontang-panting menghadapi pandemi Covid-19.
Naluri jurnalistik saya tiba-tiba muncul. Saya menyadari momen visual itu punya makna kemanusiaan yang sangat kuat.
Saya kemudian merogoh ponsel dari saku celana. Dengan sangat hati-hati saya berusaha mengabadikan momen itu. Saya tidak ingin merusak suasana karena ingin mempertahankan visual yang tercipta tetap alami.
Posisi saya ketika itu berdiri dengan jarak hanya 1-2 meter dari si perawat. Saya berpura-pura seperti tengah membaca pesan di ponsel. Saking ingin berhati-hati, sampai-sampai saya tidak berani mengubah posisi ponsel dari vertikal ke horizontal.
Saya pun mulai memotret dengan sudut pandang (angle) sejajar dengan perawat. Saya cek hasilnya dan merasa tidak puas karena fotonya kurang menggambarkan ekspresi kelelahan sang tenaga kesehatan. Mungkin karena gambarnya hanya menangkap sisi kiri perawat dan sisi depan tempat tidur pasien.
Foto pertama dengan sudut pandang kamera sejajar dengan perawat dan tempat tidur pasien.
Saya lalu melangkah pelan bergeser hampir di hadapan perawat. Saya kembali memotret perawat itu. Kali ini, sudut pandangnya sangat kuat dengan bagian wajah perawat hampir menghadap ke kamera.
Saya pun mulai memotret lagi. Dengan posisi ponsel yang vertikal, tentu orientasi foto yang dihasilkan adalah portrait. Oleh karena itu, saya rancang bidikan kali ini untuk menghasilkan foto yang akan dipotong bagian bawahnya.
Saya buat komposisi foto lebih banyak mengisi bagian atas agar bagian bawah yang kosong nantinya bisa saya potong untuk menghasilkan foto berorientasi landscape. Dari sudut pandang itu, saya sempat menghasilkan beberapa jepretan.
Tak lama kemudian, setelah beristirahat sejenak, sang perawat kembali melanjutkan tugasnya. Saya sangat bersyukur bisa menangkap momen itu. Saya periksa beberapa foto terakhir yang menurut saya sangat kuat pesan visualnya.
Saya lalu teringat pesan purnakarya fotografer Kompas, Arbain Rambey, yang selalu mengingatkan bahwa foto jurnalistik itu harus punya momen, sudut pandang, dan rasa yang kuat. ”Kalau soal teknis foto, kamu bisa langsung atur ke mode auto. Yang penting cahaya cukup dan obyek yang difoto tidak bergerak terlalu cepat,” lebih kurang begitu pesan Arbain.
Secara teknis, foto itu sangat standar karena hanya menggunakan pengaturan otomatis dari ponsel Xiaomi Redmi 5 Pro tahun 2017. Kondisi terbantu dengan pencahayaan di lorong rumah sakit yang ketika itu cukup terang dengan banyaknya lampu di sepanjang lorong.
Foto perawat garis terdepan dengan orientasi portrait sebelum dipotong menjadi landscape.
Kamera ponsel kemudian secara otomatis mengatur bukaan lensa di F1,9 dengan panjang fokal 3,94 milimeter, ISO 640, waktu pencahayaan 1/20 detik, serta keseimbangan putih otomatis. Resolusi kamera sebelumnya selalu saya atur di 4.000 x 3.000 pixel. Seluruh momen tersebut saya rekam dalam enam bingkai foto selama kurang dari dua menit.
Saya bisa memotret peristiwa itu boleh dibilang karena ”keberuntungan” memperoleh kesempatan. Memotret aktivitas tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19 bukan perkara mudah di tengah pandemi. Kalaupun memperoleh izin dari rumah sakit, yang kemungkinan besar sulit didapat, tantangan berikutnya adalah bagaimana memotret dengan tetap aman dan tidak tertular.
Negatif Covid-19
Hasil tes istri saya menunjukkan negatif Covid-19. Dia pun bisa dirawat di ruang perawatan biasa. Setelah situasi lebih tenang, saya kembali melihat foto yang saya peroleh tadi. Sore hari, saya mengirimkannya ke desk foto Kompas. Saya tidak mengedit apa pun kecuali memotong foto agar orientasi portrait berubah menjadi landscape.
Besok harinya, foto tenaga kesehatan itu terbit di halaman 15 harian Kompas, mendampingi berita berjudul ”Penularan Terus Meluas”. Foto itu bisa dibilang foto kedua setelah foto headline halaman 1 yang ketika itu diisi foto pidato Presiden Joko Widodo secara virtual di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Foto tenaga kesehatan itu juga diterbitkan di rubrik ”Klik” Akhir Tahun 2020 harian Kompas.
Foto perawat garis terdepan terbit di harian Kompas halaman 15 rubrik umum, Kamis (24/9/2020).
Kamis, 22 Juli 2021, Sekretaris Redaksi Harian Kompas Subur Tjahjono mengirim pesan di grup Whatsapp ”Forkom Kantor”. Foto tenaga kesehatan garis terdepan yang saya ambil hampir delapan bulan sebelumnya diumumkan mendapat penghargaan perunggu kategori Foto Terkait Covid-19.
Penghargaan ini satu dari tiga penghargaan yang diperoleh Kompas dalam ajang Asian Media Awards 2021 yang diadakan Asosiasi Surat Kabar dan Penerbit Berita Dunia (WAN-IFRA). Dua penghargaan lainnya adalah anugerah emas untuk kategori ”Desain Halaman Depan Surat Kabar” dan perunggu untuk kategori ”Pemasaran Koran”.
Saya pun teringat kembali saat-saat mendampingi almarhumah istri saya. Perkembangan kondisinya membuat ia kemudian diizinkan pulang dan melanjutkan pengobatan rawat jalan. Sayang, kondisinya kembali menurun hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir pada November 2020.
Foto itu kini menjadi kenangan berharga dalam perjalanan hidup saya bersama istri tercinta, sekaligus menjadi monumen pelajaran penting dalam perjalanan jurnalistik saya.