Bermodal Nekat, Mendaki Kilimanjaro
Wartawan "Kompas" tiba-tiba ditugasi meliput pendakian Kilimanjaro, gunung tertinggi di Afrika. Bukan sekadar menanti kabar tim telah berhasil mencapai puncak, akan tetapi ikut langsung dalam proses pendakian.
Mendaki puncak-puncak tertinggi di Nusantara saja belum, apalagi di dunia. Begitulah, tidak pernah tebersit di pikiran saya bisa mendaki Kilimanjaro, satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia.
Kalau diingat-ingat lagi, agak gila sebenarnya. Suatu hari pada tahun 2010, Wakil Pemimpin Redaksi harian Kompas kala itu, Trias Kuncahyono, menelepon. Dia menawari saya ikut sebuah ekspedisi yang tidak memungkinkan adanya persiapan karena waktu berangkat segera tiba.
Karena saya anggap itu tugas, ya, saya terima saja. Rupanya, saya adalah orang keempat yang ditawari dan menerima alias tiga orang sebelumnya menolak. ”Gendeng”, ”Nekat kamu” adalah komentar yang ditujukan teman-teman kepadaku. ”Lah, aku kira nemenin doang,” pikirku naif saat itu.
Sayangnya, keberangkatan saya diiringi kabar duka.
Akhirnya tiba juga hari H. Bersama Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri, kami bertolak dari Jakarta ke Tanzania tanggal 26 Juli 2010.
Sayangnya, keberangkatan saya diiringi kabar duka. Saat itu, saya masih bertugas di Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah terbang dari Samarinda dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, saya mendengar kabar, Kepala Kantor Redaksi Kompas Biro Kalimantan Muhammad Syaifullah berpulang karena sakit. Bagi saya, Bang FUL, panggilan akrabnya,adalah atasan sekaligus sahabat.
Syaifullah adalah wartawan berenergi tinggi, rajin, dan inovatif. Ia selalu punya solusi ketika kami, para wartawan Kompas Biro Kalimantan, kehabisan akal untuk liputan. Ia bukan sekadar atasan, melainkan juga mentor jurnalistik yang sabar bahkan pemaaf.
Baca juga: Dicegat Preman Ghetto di ”Kampung” Zinedine Zidane
Kebesaran jiwanya terlihat dari karya jurnalistiknya yang kritis, dalam, santun, dan komprehensif. Kami banyak meneladaninya soal liputan lingkungan di Kalimantan. Bang FUL sangat paham masalah Kalimantan. Pria kelahiran Kandangan, Kalimantan Selatan, ini selalu gelisah melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di Borneo.
Meski begitu, karyanya tidak pernah meledak-ledak. Tulisannya yang kritis tidak pernah sampai menyakiti siapa pun. Itulah mengapa Bang FUL banyak teman dan dicintai wartawan yang mengenalnya.
Air mata mengalir tak terbendung meski telah saya tahan sebisa mungkin. Ada penyesalan mendalam karena tidak bisa melihat langsung pemakamannya.
Baca juga: Kukejar Gerhana Matahari hingga ke Palu
Teman-teman wartawan di Samarinda dan Balikpapan berusaha menenangkan saya. Mereka berharap pendakian yang akan saya tempuh berhasil, sekaligus sebagai bentuk dedikasi kepada Syaifullah.
”Jangan kecewakan bosmu,” kata seorang teman. ”Kamu harus fokus dan konsentrasi pendakian. Semuanya akan diurus,” katanya lagi.
Setelah kabar itu, telepon seluler butut saya tidak berhenti berdering menerima panggilan dan kebanjiran pesan singkat (SMS). Maklumlah, saya bertugas di Samarinda yang jaraknya paling dekat dengan rumah dinas almarhum.
Alhasil, sebelum berangkat menuju Bangkok (Thailand), ponsel saya ngedrop kehabisan energi untuk melayani semua kebingungan teman-teman yang seperti tidak percaya telah kehilangan Bang FUL.
Petualangan dimulai
Pesawat kami akhirnya berangkat pukul 13.04 WIB dan mendarat tiga jam kemudian di Bangkok. Penerbangan lanjutan baru keesokan harinya dengan rute Bangkok-Nairobi (Kenya). Pesawat berangkat pukul 02.53 WIB dan mendarat sembilan jam kemudian. Butuh waktu 29 jam lewat rute udara dan darat, untuk menuju Marangu yang menjadi gerbang utama Kilimanjaro.
Baca juga: Terjebak Gelombang Kepanikan di Paris Saat Piala Eropa
Di antara penerbangan pertama dan kedua, ada waktu tunggu sebelas jam di Bandar Udara Suvarnabhumi, Bangkok. Untuk melepaskan kejenuhan, kami kerap berpindah tempat duduk atau sekadar berkeliling menikmati Suvarnabhumi yang modern, apik, bersih, tertib, dan penuh gerai, untuk memuaskan keinginan belanja dan makan.
Setelah mendarat di Nairobi, sebelas anggota tim dibagi menjadi dua rombongan keberangkatan menuju Bandara Internasional Kilimanjaro. Rombongan pertama yang berisi enam orang berangkat pukul 12.29 WIB dengan maskapai Precision Air. Rombongan kedua berangkat dua jam kemudian.
Rombongan pertama mendarat setengah jam kemudian. Mereka tidak bergegas menuju Marangu melainkan menunggu rombongan kedua tiba. Selama menunggu dua jam itu, rombongan bersantai di sebuah kedai bandara yang dinaungi pohon rindang. Belasan burung biru yang hinggap di dahan-dahannya berkicau dengan nyaring.
Kedai itu menyajikan kue khas Tanzania dari tepung jagung. Kue isi daging atau telur itu ada yang manis, gurih, dan pedas. Kedai juga menjual minuman bersoda, kopi, teh, dan air putih dalam kemasan botol plastik.
Biaya untuk penerbangan Jakarta-Kilimanjaro saat itu senilai 2.790 dollar AS atau sekitar Rp 25 juta. Itu belum termasuk biaya pendakian beserta perlengkapan, peralatan, dan logistik pendukung yang nilainya bisa lebih dari separuh biaya penerbangan Jakarta-Kilimanjaro.
Setelah rombongan kedua mendarat, perjalanan dilanjutkan menuju Marangu memakai bus perusahaan jasa wisata Taman Nasional (TN) Kilimanjaro. Tim berangkat pukul 16.06 WIB dan tiba dalam dua jam.
Perjalanan menuju Marangu yang melewati dataran Tanzania, dipenuhi ladang jagung, savana, dan padang penggembalaan. Jalan rayanya beraspal mulus dan lebar. Rumah-rumah penduduk di tepi jalan terlihat berdinding tembok.
Baca juga: Perang Batin Saat Meliput di Kampung Sendiri
Kami juga menyaksikan orang-orang Masai, suku yang tersohor sebagai pejuang (warrior). Mereka berpakaian khas dan unik, yaitu sarung warna-warni dan bermotif.
Sesampai di Marangu, rombongan menjajal sapi dan ayam bakar dengan kentang goreng. Minumnya bisa kopi, teh, air putih, bahkan bir bermerek beken Kilimanjaro.
Selepas kenyang, tim menginap di pemondokan Babylon yang belum lama selesai direnovasi. Air hangat untuk mandi dan kasur empuk dengan selimut tebal terasa begitu nyaman dan spesial untuk memulihkan kondisi tubuh yang letih akibat perjalanan panjang.
Pendakian panjang
Gunung Kilimanjaro (5.895 meter) adalah gunung tertinggi di Afrika. Kata kilimanjaro berasal dari bahasa Swahili, yaitu kilima (gunung) dan njaro yang berarti putih bercahaya. Orang Maasai, suku pejuang di Afrika, menyebutnya oldoinyo oibor atau gunung putih.
Pendakian menuju Uhuru, puncak Kilimanjaro, dimulai Rabu (28/7/201) siang melalui jalur Desa Marangu. Targetnya, tim telah menjejakkan kaki di Uhuru pada 1 Agustus.
Pendakian panjang meliputi sepertiga kawasan gunung berapi strato yang sudah tidak aktif ini. Ketinggiannya lebih dari 4.000 mdpl sehingga berkadar oksigen tipis, melewati antara lain jalur pemondokan Horombo (3.720 mdpl) dan Kibo (4.730 mdpl).
Tipisnya oksigen menuntut pendaki menyesuaikan diri atau beraklimatisasi. Caranya, mendaki untuk mencapai lokasi yang berada 500-1.000 meter lebih tinggi dari tempat berangkat lalu berkemah.
Hari pertama, perjalanan dari gerbang TN Kilimanjaro di Marangu (1.550 mdpl) ke pemondokan Mandara (2.700 mdpl) dan menginap. Hari kedua kami menuju Horombo dan menginap lagi. Hari ketiga kami tidak ke Kibo tetapi mendaki hingga Zebra Rocks (4.048 mdpl) lalu kembali. Jalan pulang yang melewati jalur Horombo-Kibo memberikan pengalaman tentang medan pendakian berikutnya.
Hari keempat barulah kami menuju Kibo dan malamnya, pendakian berlanjut menuju puncak. Uhuru dijejak pada hari kelima dalam suhu minus 7 derajat Celcius.
Jalur Marangu adalah yang terpopuler di antara jalur lainnya. Mungkin karena sejarahnya yang sering dilewati pendaki perintis sejak 1860. Medannya pun rata-rata landai dan berpemondokan. Sementara jalur Machame, Umbwe dan Mweka di Selatan, Shira di Barat, dan Rongai di Utara, hanya ada lokasi berkemah.
Pemondokan tempat kami menginap berbentuk limas segitiga, berdinding dan berperabotan dari kayu, serta berlistrik dari panel surya. Ada pondok untuk tidur, makan, dapur, mandi, dan buang hajat yang bersih dan nyaris tak berbau.
Pendaki Norman Edwin (almarhum) dalam Catatan Sahabat Sang Alam mengatakan, pemondokan Mandara awalnya berdinding batu dan dibangun sebelum era Perang Dunia I (1914-1918). Namun, sisa-sisa bangunan lama tidak dipakai lagi dan tergantikan pemondokan kayu yang dibangun pengelola TN Kilimanjaro.
Keistimewaan lainnya dibandingkan jalur-jalur lainnya, di jalur ini pendaki bisa menyewa jasa porter, juru masak, dan pemandu jalan yang disediakan perusahaan pariwisata. Portir mengangkut hampir semua perlengkapan pendaki, termasuk miliknya dengan toleransi beban 25-30 kilogram. Pendaki cuma membawa yang diperlukan.
Pendaki tidak perlu khawatir tersesat sebab selama pendakian ditemani pemandu yang fasih berbahasa Inggris, berpengalaman, dan ramah, bahkan tidak keberatan jika diminta mengajari bahasa Swahili.
Akhirnya muncul penilaian, pendakian melalui Marangu dinilai tidak ada masalah. Hakuna matata dalam bahasa Swahili. Namun, setiap tahun, jalur enak itu selalu meminta minimal satu nyawa manusia yang terkena penyakit ketinggian atau kebekuan akibat gagal beraklimatisasi. Tidak sedikit pula pendaki yang sakit dan harus puas pulang karena gagal mencapai puncak.
Cahaya Afrika
Kilimanjaro ialah gunung tertinggi di dunia yang berdiri bebas atau tidak dalam gugusan pegunungan. Uhuru yang tertinggi di Afrika ialah satu dari tujuh puncak dunia.
Nama Kilimanjaro diduga hasil perpaduan kata kilima (bahasa Swahili) berarti gunung dan kata njaro (bahasa penduduk lokal Chagga) berarti putih bercahaya. Orang Maasai, suku pejuang di Afrika, menyebutnya oldoinyo oibor atau gunung putih.
Puncaknya berlapis salju dan dari kejauhan seperti bercahaya karena memendarkan sinar matahari. Inilah pesona mahkota Afrika yang keberadaannya telah terekam sejak tahun 45 Masehi dalam cerita para kafilah Arab yang berdagang dengan penduduk pedalaman Benua Hitam.
Puncaknya berlapis salju dari kejauhan seperti bercahaya karena memendarkan sinar matahari.
Dalam Catatan Sahabat Sang Alam, keberadaan Kilimanjaro pertama kali dipublikasikan oleh Johann Rebmann, misionaris asal Swiss, dalam Church Intelligencer Missionary pada April 1849. Ini diperkuat oleh kesaksian misionaris Johann Ludwig Krapf pada 1849. Namun, kesaksian mereka gagal meyakinkan para ilmuwan di Inggris.
Singkat cerita, Royal Geographical Society di London akhirnya memutuskan mendanai ekspedisi guna membuktikan kesaksian itu. Ekspedisi pada 1856 itu dipimpin oleh Richard Burton, perwira militer Inggris. Ekspedisi itu gagal sebab Burton terkena demam berat di Pegunungan Usambara yang pernah dikunjungi Krapf.
Selanjutnya, Jerman tertarik. Kekaisaran Bavaria itu mengutus Albrecht Roschner pada 1858. Ekspedisi gagal akibat Roschner terbunuh oleh pribumi di kawasan Danau Nyasa. Kemudian, pada 1860, Baron Karl Klaus von der Decken melanjutkan misi Roschner dengan bergabung bersama Richard Thornton, petualang asal Inggris. Decken dan Thornton inilah yang kemudian pada 1861 melihat Kilimanjaro dan membenarkan kesaksian dua misionaris itu.
Sejak saat itu, pelbagai ekspedisi yang didanai Inggris dan Jerman berlomba menjadi yang pertama mencapai Uhuru. Namun, Jerman unggul. Pada 1889 atau 40 tahun setelah publikasi, Hans Meyer dan Herr von Eberstein sukses mencapai puncak. Mereka menamai puncak itu Kaiser Wilhelm Spitze, puncak Afrika dan kekaisaran Jerman. Berpuluh-puluh tahun kemudian, nama puncak itu diganti dengan Uhuru.
Prasasti di gerbang Marangu menyatakan, peran besar penduduk lokal pendukung ekspedisi Meyer dan Eberstein. Mereka yang juga mencapai puncak ialah Yohana Lauwo (pemandu), Jonathan Mtut (asisten pemandu), dan empat porter, yaitu Elia Minja, Tema Mosha, Makelic Lyima, dan Mamba Kowera.
Pendakian gunung bukan perjalanan yang tergesa-gesa, apalagi sekadar menunjukkan kejemawaan fisik untuk cepet-cepetan menggapai puncak. Sikap jemawa kerap mengakibatkan pendaki gagal mencapai puncak sebab lebih dulu terserang penyakit gunung atau mountain sickness.
Portir dan pemandu wisata Gunung Kilimanjaro, amat paham dengan itu semua. Pesan mereka cuma satu kepada semua pendaki, ”Berjalanlah pelan-pelan”. Dalam bahasa Swahili, pole-pole.
”Pole-pole mpaka Mandara,” kata Morgan, pemandu pendakian, kepada Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia dari perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung Wanadri di jalur menuju puncak Kilimanjaro. Artinya, mendakilah pelan-pelan sampai pemondokan Mandara.
Mandara terletak di ketinggian 2.720 meter—hampir setinggi puncak Merapi di Yogyakarta. Mandara merupakan penginapan pertama dari jalur Desa Marangu, gerbang TN Kilimanjaro. Mandara, yang berupa pondok-pondok kayu berbentuk limas segitiga, dapat digapai setelah pendakian minimal tiga jam dari Marangu.
Sebenarnya anggota tim ekspedisi juga paham prinsip mendaki pelan-pelan. ”Biar tubuh tidak kaget dengan perubahan suhu yang semakin dingin akibat bertambahnya ketinggian,” kata Ardhesir Yaftebbi, ketua tim pendaki, sebelum memulai pendakian.
Remi Tjahari dan Iwan Abdurrahman, pendaki senior Wanadri, mengutarakan hal senada. ”Kalau nanti saat mendaki berasa pusing dan mengantuk, sebaiknya berhenti dulu beristirahat daripada malah sakit,” kata Kang Remi, diamini Abah Iwan.
Martin Rimbawan, anggota tim ekspedisi, menambahkan, berjalan pelan-pelan mengurangi risiko kram dan sakit yang menyerang kaki, lutut, dan tumit. Pemuda ini dikenal jago kebut gunung. Dia mampu mendaki Gunung Gede, Jawa Barat, kurang dari satu jam tanpa membawa beban. Pendaki biasa rata-rata butuh enam sampai tujuh jam.
Tim ekspedisi dibagi menjadi dua regu. Regu pertama beranggotakan lima pendaki ekspedisi ditambah Abah Iwan, Kang Remi, dan saya. Selain Ardhesir dan Martin, pendaki ekspedisi lainnya adalah Gina Afriani dan Fajri Al Luthfi. Regu kedua beranggotakan pendaki ekspedisi Iwan Irawan (Kwecheng), wartawan MetroTV Bambang Hamid, juru kamera Popo, dan pendaki senior Wanadri, Henricus Mutter.
Regu pertama berangkat pukul 12.05 waktu setempat. Abah Iwan (63) dan lima pendaki ekspedisi berjalan lebih cepat. Saya mengiringi Kang Remi (65) dan Morgan si pemandu yang lebih suka pole-pole.
”Rugi kalau cepat-cepat karena bisa cepat lelah dan kehilangan kenikmatan melihat pemandangan,” kata Kang Remi yang senang bercanda.
Benar juga. Dengan pole-pole, napas tetap teratur dan tubuh tak cepat lelah meski detak jantung lebih cepat.
Karena pole-pole juga, Morgan bisa dikorek informasinya. Dia adalah bapak dari empat anak. Sudah 20 tahun dia bekerja sebagai porter dan pemandu (guide). Sudah 80 kali dia menggapai puncak ”gunung yang bercahaya”.
Dengan pole-pole, portir mampu mendaki dengan beban 25 kilogram. Kebanyakan barang ditaruh di kepala. Sekitar 1,5 jam pendakian, hingga titik peristirahatan Kisambioni (2.200 meter), jalur yang dilalui teduh dinaungi pohon-pohon besar.
Saat makan siang di Kisambioni, kami dikejutkan satu gagak hitam besar. ”Manuk tapi gedena siga hayam (burung tapi besarnya seperti ayam jantan),” kata Abah Iwan.
Sekitar satu jam dari Kisambioni, jenis pohon-pohon tidak terlalu rindang, tetapi dipenuhi lumut. Sebagian pendaki beruntung sebab melihat monyet berbulu biru memakan pucuk pakis di tepi jalur pendakian. "That\'s blue monkey," kata Morgan.
Kehadiran binatang itu memaksa Kang Remi menjeprat-jepret dengan kamera sakunya. Kram kaki yang dideritanya agak menghilang setelah melihat polah monyet biru itu.
Sekitar pukul 21.00 WIB (pukul 17.00 waktu setempat), semua anggota tim tiba di Mandara. Kami beristirahat. Pendakian dilanjutkan Kamis ke pemondokan Horombo, sekitar lima jam pendakian dari Mandara. Pole-pole lagi, deh. (Bersambung)