Pengalaman di Rusia (2): Antara Hidup dan Mati di Elbrus
Saat tim berjuang ke puncak, saya berjuang turun menuju Barrels Hut. Tiga kali saya terjatuh dan muntah. Saya hampir kehilangan kesadaran. Jika saja tidak ditemukan dan ditolong pendaki lain, mungkin nasib berkata lain.
Badai salju menggagalkan upaya Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri untuk mengibarkan Merah Putih di puncak Gunung Elbrus, Rusia, bertepatan dengan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2010.
Baru dua hari kemudian, tepatnya pada pukul 11.30 waktu Elbrus di Negara Bagian Kabardino-Balkaria, dalam terpaan angin kencang, mereka sukses menjejak Oskhamako, puncak tertinggi Eropa.
Saya yang menyertai pendakian itu sudah lebih dulu gagal karena terserang penyakit gunung. Kegagalan 12 tahun lalu itu masih menghantui. Dalam perjuangan antara hidup dan mati menuruni lereng Elbrus, saya sempat berjanji untuk kembali menggapai puncak barat (Oskhamako), entah kapan. Hingga saat ini, janji itu belum bisa ditepati sehingga saya mulai menerimanya sebagai bagian dari pengalaman hidup.
Untuk pendakian ini, tidak kurang persiapan fisik dan mental saya lakukan bersama tim. Memang dalam ekspedisi ini, peran saya lebih pada menulis perjalanan tim Wanadri. Seperti setengah bulan sebelumnya, saat saya menyertai mereka dalam pendakian menggapai puncak Kilimanjaro (5.895 meter), 1 Agustus 2010. Mungkin saat itu saya sedang mujur karena tantangannya tidak segarang Elbrus (5.642 meter).
Seperti saya kisahkan dalam tulisan Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa, pendakian ke Elbrus merupakan kelanjutan dari pendakian ke Kilimanjaro dalam rangkaian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri. Setelah menjejak Uhuru, puncak Kilimanjaro yang masuk wilayah Tanzania, Afrika, tim langsung bertolak ke Rusia.
Kami sempat berada di Moskwa pada 6-9 Agustus 2010 untuk persiapan. Salah satunya, membeli perlengkapan dan peralatan khusus mendaki gunung es.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Persiapan
Dari Moskwa, tim terbang ke Mineralnye Vody dan disambung perjalanan darat ke Terskol. Setelah beristirahat di Ozon, hotel cantik di Terskol, pada 10 Agustus 2010 kami memulai aklimatisasi atau pendakian penyesuaian ke Cheget (3.500 meter) didampingi perusahaan jasa pemanduan Alpindustria.
Dari hotel, kami berangkat naik bus menuju stasiun kursi gantung di lembah Cheget (1.800 meter). Hanya butuh 15 menit, kami sudah tiba di stasiun akhir di berketinggian 2.500 meter. Tanpa kursi gantung, untuk mencapai elevasi 700 meter itu bisa menghabiskan sedikitnya 3 jam. Ini belum termasuk pendakian ke salah satu puncak Cheget yang menghabiskan 2 jam.
Kami kemudian disuguhi pemandangan aduhai, yakni puncak kembar Elbrus dan pegunungan Kaukasus yang membatasi Rusia dengan Georgia. Elbrus kerap diibaratkan payudara sehingga disebut juga gunung kebahagiaan.
Baca juga : Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Aklimatisasi berjalan lancar tanpa masalah. Nurhuda dan Hendricus Mutter, anggota tim Wanadri, mendaki dengan sepatu bot khusus es yang dibeli di Moskwa. Sepatu ini berat, apalagi saat digunakan untuk melangkah. Belum lagi bikin gerah kaki. Saya memilih memakai boot tracking yang lebih ringan.
Keesokannya, barulah siksaan mulai terasa. Hari itu kami harus melakukan pendakian aklimatisasi sekaligus berlatih menggunakan peralatan dan perlengkapan untuk memanjat tebing es di Kashkatash, 10 kilometer dari penginapan.
Lokasi ini dicapai setelah dua jam perjalanan dari pemondokan kami yang berupa tangki-tangki (barel) di ketinggian 2.200 meter. Tempat latihannya sendiri di ketinggian 2.600 meter.
Rute pendakian menuju Kashkatash berupa jalan setapak yang terjal, curam, berbatu, dengan kiri dan kanan berupa jurang dalam. Pendakian ini amat meletihkan dan menguras energi karena pemakaian sepatu bot es yang berbobot 2 kilogram.
Kami masih harus memanggul tas berisi kelengkapan, bekal, peralatan, selain juga harus menenteng tongkat ski. Dalam perjalanan, saya hampir terjatuh dan menabrak batu besar. Beruntung nyawa masih terselamatkan dengan gerak cepat dan keberadaan tongkat meski kemudian patah dan harus dibuang.
Baca juga : Ekspedisi tujuh puncak dunia: Merayap pada Dinding Kashkatash
Di Kashkatash, kami berlatih berjalan menggunakan krampon atau alas sepatu bot berupa cakar dari baja. Kami juga belajar berjalan dengan bantuan kapak es yang satu sisinya tajam dan bergerigi serta sisi lainnya berupa sekop untuk membuat pijakan kaki saat krampon bermasalah. Dalam perjalanan kembali, saya sempat berkali-kali terjatuh karena letih meski tak sampai cedera atau terluka.
Siksaan di Kashkatash berlanjut hingga keesokan harinya saat kami harus berlatih memanjat tebing es. Untuk melewati cerukan dinding es, masing-masing kami memasang harness atau sabuk pengaman tubuh dan krampon dengan tali terpasang pada cincin kait (carabiner). Dalam latihan ini, saya ingat ditegur berkali-kali oleh pemandu dan anggota lainnya karena selalu ingin memegang tali. Saya khawatir jatuh.
Kekhawatiran itu ternyata jadi kenyataan. Ketika pindah ke dinding es lainnya, saya jatuh akibat krampon kanan tersangkut tali krampon kiri yang kendur. Ternyata, saya terbalik memasang krampon. Tim kemudian mengingatkan, kekeliruan kecil seperti itu bisa berdampak besar bahkan fatal. Akibat kesalahan itu, saya merasa tertekan.
Baca juga: Selembar Surat di Tengah Hutan
Latihan berikutnya adalah memanjat tebing es. Itulah saat saya merasa hampir kehabisan energi. Kedinginan, mual, dan sakit kepala membuat saya gagal memanjat dinding 20 meter yang nyaris tegak lurus.
Dalam pemanjatan dinding es, kekuatan harus bertumpu pada tangan dan kaki. Tangan bertugas membuat tumpuan dengan bantuan kapak es. Sementara kaki menendang-nendang dinding es agar krampon bisa tertancap dengan baik sebagai tumpuan tubuh.
Ketiadaan pengalaman memanjat dinding es ditambah sudah lima tahun lebih saya tidak pernah memanjat tebing membuat saya kesulitan. Belum lagi dinginnya dinding tangan. Meski sudah berbalut sarung tangan, tangan tetap terasa kaku.
Baca juga : Ekspedisi Elbrus: Puncak Barat Tetap Akan Didaki Lagi
Perjalanan turun seusai latihan terasa tambah menyiksa karena hujan turun. Belum lagi kepala pusing dan mata yang agak berkunang-kunang.
Saya semakin khawatir apakah saya bisa turun dengan selamat. Kaki saya lecet dan terluka. Untunglah di belakang saya, pemandu dan anggota tim lainnya selalu memanggil agar saya tetap terjaga (sadar) dan tiba dengan selamat di lembah.
Kaki saya lecet dan terluka karena sepatu yang tertukar dengan milik Ardhesir Yaftebbi, ketua tim ekspedisi. Hari ketiga yang beragendakan latihan kembali di Kashkatash, terpaksa tidak bisa saya ikuti. Begitu juga Manajer Tim Bambang Hamid alias Abeng dari MetroTV yang absen.
Baca juga: Remasan Sagu dan Mama-mama yang Menghilang
Hari keempat atau Sabtu 14 Agustus 2010, kami bergabung kembali dengan latihan pendakian aklimatisasi, yakni dari Barrels Hut ke Diesel Hut (4.070 meter). Hari berikutnya, pendakian aklimatisasi dilakukan dari Barrels Hut ke Pastukhov Rocks (4.600 meter) yang melewati Diesel Hut.
Latihan itu demi mencegah pendaki terkena penyakit gunung dengan gejala mual, pusing, menggigil, muntah, kehilangan nafsu makan, hingga kehilangan kesadaran diri.
Persiapan pendakian di lereng Elbrus selama dua hari itu semakin menggempur dan mengikis kekuatan fisik dan mental saya. Dalam pendakian yang masih persiapan itu, saya selalu berjalan tertatih-tatih dan agak nyeri akibat kaki lecet.
Pendaki (alm) Norman Edwin dalam bukunya, Catatan Sahabat Sang Alam, menuliskan, pendaki yang terserang penyakit gunung harus secepatnya dibawa ke tempat yang rendah, dihangatkan, dan diberi makanan.
Gejala penyakit gunung, seperti perut mual dan pusing, sempat menyerang saya saat berlatih pemanjatan tebing es di Kashkatash. Abeng juga sempat merasakannya seusai latihan aklimatisasi dari Pastukhov Rocks.
Upaya
Setelah sehari beristirahat di Barrels Hut, pada Selasa 17 Agustus 2010 dini hari, tim memulai pendakian dengan harapan berhasil mencapai puncak Elbrus guna peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Tim memulai perjalanan dengan menyewa truk salju dari penginapan (Barrels Hut) menuju Pastukhov Rocks. Perjalanan hanya butuh 30 menit atau jauh menghemat waktu jika mendaki karena butuh 3 jam dari pemondokan.
Dalam perjalanan menuju puncak, badai salju terus turun hingga tim mencapai lokasi sadel (5.400 meter), yakni pertemuan dua jalur menuju puncak barat dan puncak timur Elbrus. Badai salju membuat jalur terjal menuju puncak barat yang sebenarnya hanya 200 meter itu kian berbahaya sehingga tim memutuskan mundur.
Perjalanan dari Pastukhov Rocks ke sadel menghabiskan waktu 7 jam. Padahal, normalnya hanya 4 jam. Badai salju memang sangat menghambat. Suhu di jalur pendakian minus 10 derajat celsius.
Jarak pandang maksimal hanya 20 meter. Kecepatan angin mencapai 15 kilometer/jam. Tapak-tapak kaki di atas lapisan salju dalam hitungan detik hilang tersapu badai salju.
Panduan perjalanan turun hanya mengandalkan kepiawaian empat pemandu kami dan jejeran tongkat merah sebagai penanda jalur pendakian yang telah terpasang sebelumnya. Tim baru terhindar dari badai salju saat mencapai Pastukhov Rocks.
Baca juga : Ekspedisi Elbrus: Merayakan Kemerdekaan di Mahkota Benua Eropa
Anggota tim, Nurhuda, mengatakan, dalam suatu ekspedisi keputusan menyakitkan terkadang harus diambil demi mengutamakan keselamatan. ”Harus berjiwa besar,” katanya menanggapi pertanyaan saya saat tim memutuskan turun dari sadel dan kembali ke penginapan Barrels Hut.
Dua hari kemudian, usaha mencapai puncak kembali dilakukan. Namun, dalam upaya kedua ini, saya gagal. Abeng juga hanya berhasil sampai sadel dan menunggu anggota lainnya, seperti Ardhesir, Iwan Irawan, Gina Afriani, Fajri Al Lutfi, Martin Rimbawan, Hendricus, dan juru kamera MetroTV Popo Nurakhman.
Dalam pendakian kedua, tim dibagi dua. Saya, Abeng, dan dua orang pemandu, yakni Daniil Timofeev dan Alex Avtomonov, berjalan di belakang yang lain karena kecepatan kami tidak sehebat yang anggota lainnya, terutama saya.
Belum lagi mencapai sadel, saya terserang sakit kepala, sesak napas, perut mual, dan pandangan kabur. Hari itu, fisik saya ”tamat”. Beberapa kali saya terhuyung-huyung dan jatuh sehingga membuat cemas Abeng dan pemandu.
Napas begitu berat dan pandangan mengabur, seperti berada di antara kesadaran dan halusinasi. Sebelum semua terlambat, saya menjatuhkan diri dan menyatakan menyerah. Bodohnya, saya nekat minta turun sendiri ke Barrels Hut sebab tidak ingin membebani usaha tim menuju puncak. Keputusan gila itu ibarat bunuh diri.
Saat tim berjuang ke puncak, saya berjuang turun menuju Barrels Hut. Tiga kali saya terjatuh dan memuntahkan cairan. Saya hampir kehilangan kesadaran. Saya sempat menangis karena takut mati. Langkah kaki pun ngawur seperti tak tahu tujuan.
Bca juga: Trauma di Pulau Babi, Tersesat di Laut Flores
Pandangan saya masih kabur meski cuaca mendekati Pastukhov Rocks mulai cerah. Jika saja saya tidak ditemukan dan ditolong oleh sejumlah pendaki, mungkin nasib berkata lain. ”Malaikat” saya hari itu adalah para pendaki Eropa yang menolong serta doa dari tim agar saya selamat sampai pemondokan. Wajah keluarga dan sahabat juga menjadi penyemangat agar saya jangan dulu takluk oleh kematian.
Ketika tim tiba kembali di pemondokan tempat saya menunggu sambil termenung, tidak ada yang lebih menghibur selain sentuhan penguat dari seluruh anggota tim.
Di Elbrus saya hanya sampai di sadel, percabangan puncak barat dan timur. Di Elbrus pula yang disebut gunung kebahagiaan (Koushha Makhue) dan keabadian (Mingi Taw), saya berada di batas antara hidup dan mati.
Ketika itu, saya kalah dan menyerah tidak berhasil menggapai ”kebahagiaan” dan ”keabadian”. Memang kemudian saya berjanji untuk kembali. Namun, janji itu masih teringkari dan mungkin abadi sebagai konsekuensi. (Bersambung)