Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Serangan militer Rusia terhadap Ukraina mengingatkan akan pengalaman di Rusia. Tepatnya, kegagalan menggapai mahkota Eropa, yakni puncak barat Gunung Elbrus (5.642 mdpl) dalam Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri 2010.
Serangan militer Rusia terhadap Ukraina mengentak warga dunia, tak terkecuali saya. Bahkan, bagi saya pribadi, rasanya bak terkena pukulan godam dua kali. Mendengar kata Rusia berarti mengingatkan kembali akan kegagalan saya menggapai mahkota Eropa, yakni puncak barat Gunung Elbrus atau Oskhamako (5.642 meter di atas permukaan laut/mdpl).
Hampir 12 tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Rusia dalam rangka membersamai Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri. Misi kami, mencapai puncak Elbrus, gunung tertinggi di Eropa.
Penumpang bertepuk tangan seusai pesawat mendarat dengan mulus.
Kami tiba di Bandar Udara Smolensk, Moskwa, Rusia, Jumat 6 Agustus 2010 sekitar pukul 17.30 waktu setempat. Kami menumpang Turkish Airlines yang menggunakan pesawat Boeing 737-800.
Penumpang bertepuk tangan karena pesawat berhasil mendarat dengan mulus. Situasi yang terpantau dari jendela pesawat, sulit melihat kejauhan karena kabut asap menutupi kompleks bandara yang dibangun pada 1920 itu.
Saya sempat merasa bingung karena setahu saya Rusia berhawa dingin. Namun, hari itu, Moskwa terasa pengap dan gerah. Hidung terasa tertusuk bau asap. Rupanya terjadi kebakaran hutan dan lahan kering di sekitar Moskwa.
Tidak ada pilihan, penumpang harus bermasker untuk mengurangi dampak bau menyengat yang menyesakkan bagi sistem pernapasan. Kondisi itu juga membuat kami mandi keringat selama antre pemeriksaan paspor di loket keimigrasian. Gedung Smolensk terasa bak oven raksasa yang memanggang para penumpang.
Saya sempat tertahan agak lama dalam pemeriksaan keimigrasian. Petugas imigrasi, seorang perempuan jelita, berkali-kali melihat paspor dan mengamati wajah saya.
Baca juga: Rusia Kerahkan Tentara Padamkan Kebakaran di Daerah Terdingin Bumi
Saya mencoba bertanya (dalam bahasa Inggris) barangkali ada masalah. ”Nyet (Tidak)!” katanya yang sempat membuat saya kaget sambil tertawa karena sempat menyangka ucapan petugas itu potongan kata dari monyet (umpatan).
Staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Rusia yang menjemput kami di Smolensk bilang, nyet dalam bahasa Rusia berarti tidak, sedangkan da berarti ya.
”Kalau di Indonesia, bilang nyet kepada orang lain bisa jadi masalah, ha-ha-ha,” kata anggota staf tersebut dalam perjalanan mengantar rombongan yang sudah keroncongan ke restoran China. Sayang saya lupa menanyakan namanya.
Baca juga: Trauma di Pulau Babi, Tersesat di Laut Flores
Anggota staf KBRI tersebut mengatakan, kabut asap sudah seminggu mengepung Moskwa. Kabut asap berasal dari 250 lokasi di sekeliling Moskwa. Hampir 50 orang meninggal dunia akibat kepanasan yang ditimbulkan dalam bencana kabut asap itu. Rata-rata korban sudah berusia lanjut.
”Presiden (Dmitry Medvedev) sampai memecat lima jenderal yang dianggap kurang sigap menangangi kabut asap ini,” kata anggota staf itu membisiki saya.
Sebelum menjabat presiden, Medvedev adalah perdana menteri pada zaman pemerintahan rezim Vladimir Putin. Saat kabut asap mengepung Moskwa, jabatan Putin dan Medvedev bertukar. Putin sebagai perdana menteri dan Medvedev menjadi presiden.
Baca juga: Siberia dan Kegentingan Lingkungan Dunia
Setelah masa kepemimpinan Medvedev, Putin kembali ke pucuk kekuasaan sebagai presiden hingga saat ini. Akhir-akhir ini, Putin dikecam oleh dunia karena menginvasi Ukraina yang disebutnya sebagai operasi militer khusus.
Kabut asap yang mengepung Moskwa ketika itu begitu mengganggu aktivitas warga. Mereka berupaya menghadirkan kesejukan dengan mencari kipas angin atau penyejuk ruangan. Sayangnya nihil karena selama ini Moskwa selalu berhawa sejuk, bahkan dingin sehingga yang banyak tersedia di pasaran adalah penghangat.
Gara-gara kabut asap dan gerah, saya hampir selalu basah keringat sehingga jadi rajin mandi selama berada di Wisma Indonesia. Selama dua hari persiapan pendakian ke Elbrus, atas kebaikan Duta Besar Indonesia untuk Rusia (saat itu) Hamid Awaluddin, tim ekspedisi diizinkan menginap di Wisma Indonesia.
Baca juga: Diguncang Ombak, Menemukan Rahasia Sisi Lain Raja Ampat
Akibat kabut asap, tempat-tempat wisata utama di Moskwa, seperti kompleks Kremlin dan Lapangan Merah, gedung-gedung tua, taman-taman, dan pasar cendera mata, menjadi sepi pengunjung. Jarak pandang di kota yang saat itu berpenduduk 17 juta jiwa tersebut kurang dari 100 meter.
Lalu lintas yang biasanya macet juga terlihat lengang. Yang macet justru ke arah luar kota, terutama di akhir pekan, karena warga memilih berlibur ke luar Moskwa untuk menghindari kabut asap.
Saat ini, kabut asap yang 12 tahun lalu mengepung Moskwa seolah berpindah ke kota-kota di Ukraina. Namun, asap yang mengepung Kiev, ibu kota Ukraina, dan kota-kota lainnya di negeri itu bukan dari kebakaran hutan dan lahan, melainkan akibat gempuran mortir dan bom.
Menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, setidaknya 1 juta jiwa warga Ukraina dan sejumlah negara terdampak mengungsi akibat invasi Rusia tersebut. Ribuan jiwa warga sipil dan anak-anak Ukraina, termasuk tentara Rusia dan Ukraina, tewas dalam serangan yang terjadi sejak 24 Februari 2022.
Baca juga: Di Balik Survei Litbang ”Kompas”, Saat Kopi dan Sopi Mencairkan Suasana
Latihan
Tim berada di Moskwa selama dua hari untuk persiapan, terutama membeli peralatan dan perlengkapan khusus untuk pendakian ke Elbrus. Kami kemudian bertolak ke Terskol, lembah Elbrus, Negara Bagian Kabardino-Balkaria, dan tiba di sana hampir tengah malam, 9 Agustus 2010.
Sebelumnya, kami butuh waktu 2 jam untuk penerbangan dari Bandara Domodedovo, Moskwa, ke Bandara Mineralnye Vody. Dalam bahasa Indonesia, mineralnye vody berarti air mineral. Dari bandara, kami masih harus berkendara 3,5 jam sebelum akhirnya sampai di Terskol.
Saya teringat, perjalanan darat menuju Terskol sempat melewati setidaknya dua pos pemeriksaan identitas yang dijaga petugas bersenjata. Untungnya, perjalanan kami tidak menemui hambatan karena didampingi pegawai perusahaan jasa pendakian ke Elbrus.
Negara Bagian Kabardino-Balkaria berada di utara Georgia, negara yang pada 2008 diserbu oleh militer Rusia. Perang antara Georgia kontra Abkhazia dan Ossetia Selatan yang ingin merdeka dan didukung militer Rusia berlangsung 7-12 Agustus 2008.
Baca juga: Ekspedisi Elbrus: Menjajal Cheget untuk Mendaki Elbrus
Ketika kami datang untuk mendaki Elbrus, pertanyaan tentang invasi Rusia ke Georgia masih menjadi topik yang sensitif dalam percakapan meskipun sudah lewat dua tahun.
Kami sempat beristirahat beberapa jam, lalu bangun dan sarapan ala Rusia di Hotel Ozon yang apik, resik, dan wah dalam naungan hutan pinus, sebelum berangkat ke bukit Cheget (3.500 mdpl) di selatan Elbrus. Agendanya, aklimatisasi atau latihan penyesuaian dengan ketinggian.
Untuk menuju Lembah Cheget, kami naik bus dari hotel menuju stasiun kereta gantung. Perjalanan dengan kereta gantung hanya 15 menit sebelum kemudian tiba di jalan setapak. Jika tidak menggunakan kereta gantung, butuh setidaknya 3 jam dengan berjalan kaki.
Tim memilih memanfaatkan kursi gantung karena ingin lebih berfokus pada aklimatisasi dan tidak ingin energi terkuras hanya untuk persiapan. ”Setelah aklimatisasi, kami masih harus berlatih memakai peralatan pendakian gunung es dan pemanjatan tebing es,” kata Bambang Hamid, manajer tim ekspedisi yang juga jurnalis senior MetroTV.
Baca juga: Ekspedisi Elbrus: Menguji Diri di Gletser Kashkatash
Alpindustria, perusahaan jasa pendakian yang dipakai Wanadri, memilih Cheget untuk latihan karena bertipe serupa dengan Elbrus. Cheget merupakan perbukitan terdekat di selatan Elbrus. Medannya menanjak curam seperti kondisi menuju puncak Elbrus.
Saat musim panas, lapisan salju menghilang dari Cheget sehingga menampakkan medan yang berpasir, berkerikil, dan berbatu. Ketika musim dingin, Cheget menjadi jalur favorit untuk lomba ski ekstrem.
Lerengnya amat menantang untuk olahraga ekstrem sepeda gunung menuruni bukit (downhill). Untuk mendukung perkembangan Terskol sebagai kawasan wisata, dibangun hotel-hotel megah dan cantik serta stasiun kereta gantung.
Dua hari berikutnya, tim berlatih di gletser Kashkatash. Perbukitan ini amat dikenal di kalangan pendaki Elbrus sebagai tempat latihan berjalan di lapisan es dan memanjat tebing es. Tempat ini berjarak sekitar 10 kilometer dari tempat tim menginap.
Kashkatash dicapai setelah 1 hingga 2 jam pendakian dari pemondokan (hut) yang dibangun dari tangki-tangki (barrel) berjejer di lembah di ketinggian 2.200 mdpl. Tempat latihan kami berada di ketinggian 2.600 mdpl.
Di Kashkatash inilah kami mencoba menjajal semua peralatan dan perlengkapan pendakian gunung es sebelum akhirnya mendaki puncak Elbrus pada 16 Agustus 2010. (Bersambung)