Enam bulan terakhir suhu di Siberia melonjak di atas 5 derajat celsius. Sebagai salah satu daerah penyangga suhu bumi, kondisi ini menjadi tanda bahaya bagi warga dunia.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Kebakaran hutan yang menghanguskan lebih dari 1 juta hektar lahan di Siberia, tumpahan minyak di kawasan laut di sekitarnya pada bulan Mei lalu, memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan suhu udara di kawasan yang menjadi bagian dari kutub utara ini. Suhu Siberia dan kawasan Artik mencapai puncaknya pada pertengahan Januari lalu ketika suhu di kawasan ini mencapai 38 derajat celsius atau 100,4 derajat Fahrenheit. Secara keseluruhan, suhu di kawasan Siberia naik lebih dari 5 derajat celsius sepanjang Januari hingga Juni 2020.
Kebakaran hutan yang terjadi di Siberia mengakibatkan terlepasnya sekitar 56 juta ton karbon dioksida ke udara lepas. Jumlah lepasan karbon dioksida Siberia ini setara dengan lepasan CO2 tahunan dua negara, Swiss dan Norwegia.
Andrew Ciavarella, peneliti asal Kantor Meteorologi Inggris yang memimpin tim peneliti internasional untuk studi ini, mengatakan, temuan itu tentu saja mengejutkan. Kenaikan suhu udara yang dialami Siberia, berdasarkan studi, diyakini hanya bisa terjadi 80.000 tahun sekali dengan catatan suhu udara di bumi mengalami kenaikan 1 derajat celsius lebih hangat jika menggunakan patokan suhu udara pada zaman praindustri.
”Penelitian ini adalah bukti lebih lanjut dari suhu ekstrem yang dapat kita perkirakan lebih sering terjadi di seluruh dunia dalam pemanasan iklim global. Yang penting, peningkatan frekuensi kejadian panas ekstrem ini dapat dimoderasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Ciavarella.
Perubahan kebijakan yang radikal
Studi tentang kondisi Siberia menguatkan argumen para aktivis lingkungan dan iklim Eropa tentang kondisi kedaruratan iklim yang tengah dihadapi ”Benua Biru” itu. Greta Thunberg (17) dan tiga aktivis muda lainnya, Kamis (16/7), mengirimkan surat terbuka kepada para pemimpin Uni Eropa yang berisi desakan agar kelompok negara itu melakukan aksi darurat untuk mengurangi atau mencegah perubahan iklim yang lebih parah.
Dalam surat terbuka yang dikirim ke 27 pemimpin negara Uni Eropa—surat yang juga mendapat dukungan dari ilmuwan terkemuka serta sejumlah selebritas—Thunberg mendesak tindakan darurat yang nyata, termasuk apa yang dia sebut sebagai tujuh langkah pertama yang penting dan berpeluang bagi dunia untuk menghindari bencana iklim dan ekologi. Termasuk di antara tindakan itu adalah penghentian semua investasi dalam eksplorasi dan ekstraksi bahan bakar fosil, penghentian semua subsidi bahan bakar fosil yang harus berlaku secepatnya.
Thunberg mengutip sebuah studi di Amerika Serikat yang terbit pada November 2019, yang menyarankan tetap diperlukannya investasi ekstraksi bahan bakar fosil yang akan semakin menjauhkan pengurangan suhu bumi di dalam Perjanjian Paris 2015 tidak akan terjangkau.
”Jadi, apabila kita semua menginginkan target itu tercapai, suhu tetap berada di bawah yang ditargetkan. Kita harus bisa mengabaikan kontrak dan kesepakatan seperti itu,” katanya.
Di dalam surat terbuka itu, Thunderg menilai penanganan krisis iklim jauh berbeda dengan cara pemerintah dan industri menangani pandemi Covid-19. Hal ini dinilainya sebagai ketiadaan sense of crisis dari dua pihak tersebut, bahkan termasuk dari media.
Thunberg yang telah tinggal di rumah di Swedia selama krisis Covid-19 menandatangani surat bersama dengan Luisa Neubauer (24) asal Jerman; Anuna de Wever dari Belgia; dan rekan senegaranya, Adelaide Charlier, keduanya berusia 19 tahun.
Para aktivis dijadwalkan mengadakan konferensi video dengan Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen dalam beberapa hari mendatang. (AFP/Reuters)