Selama 20 menit, perahu berlayar dalam kabut dan guncangan gelombang di tengah Laut Flores. Pulau Babi yang seharusnya jauh di belakang malah muncul di sebelah kiri. Pengemudi komat-kamit sambil membelitkan bajunya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Cuaca cerah tiba-tiba berubah sendu. Awan hitam yang berarak dari timur seperti berhenti tepat di atas daratan tempat kami berpijak, Sabtu (18/12/2021) siang. Tak menunggu lama, butiran air seukuran biji kacang hijau menghujani Pulau Babi yang kami singgahi.
”Ayo naik sudah,” teriak Roni (46) dari dalam perahu motor.
Saya berlari menerjang air yang mulai bergelombang, menuju haluan perahu yang berlabuh agak ke tengah laut. Haluan setinggi sekitar 1,5 meter itu saya panjat. ”Cepat, kondisi tidak bagus,” ujar pria yang aslinya murah senyum itu. Namun, saat itu wajahnya dipenuhi ketegangan.
Tanpa kompas, perahu kami terus melaju menerobos kabut.
Usai menarik jangkar, Roni turun ke palka untuk menghidupkan mesin. Haluan pun berputar ke arah selatan menuju pesisir Pulau Flores. Pulau Babi yang hanya seluas 5,6 kilometer persegi itu berada di utara Pulau Flores, dikelilingi Laut Flores.
Akibat hujan deras, kabut tebal pun segera turun. Saking tebalnya, Pulau Flores yang luasnya 13.540 kilometer persegi itu menghilang dari pandangan. Tanpa kompas, perahu kami terus melaju menerobos kabut. Kami seperti terjebak di tengah lautan. Hendak kembali pun tak mungkin lagi. Pulau Babi sudah jauh kami tinggalkan.
Roni sudah puluhan tahun berlayar dengan kapal itu. Namun, kondisi saat itu tak urung membuatnya seperti orang kebingungan. Sambil memegang kemudi, ia berulang kali mengusap wajah. Roni kesulitan mengarahkan perahu lantaran tebalnya kabut. Sementara angin yang semakin kencang membangkitkan gelombang.
Untunglah, sekitar 20 menit kemudian, kabut mulai menipis. Entah bagaimana, Pulau Babi yang kami tinggalkan malah muncul di sebelah kiri. Padahal, seharusnya sudah jauh di belakang kami.
”Sialan,” ujar Roni sambil menampar pipinya bak membangunkan orang yang sedang mengantuk.
Rupanya, perahu kami salah arah. Bukannya ke Pulau Flores, malah kembali bergerak ke utara menuju arah tenggara Pulau Sulawesi. Roni langsung memutar kemudi 180 derajat dan mengarahkan haluan ke Pulau Flores. Ia lalu menyerahkan kemudi kepada saya. ”Tolong pegang,” pintanya.
Roni membuka bajunya dan berjalan ke haluan. Sambil mulutnya komat-kamit, ia membelitkan baju basah itu di tiang perahu lalu kembali memegang kemudi. ”Namanya di laut, kadang kami mengalami seperti ini. Jangan takut,” ujarnya dengan senyum lebar.
Tak lama, hujan reda dan kabut pun hilang. Perahu kami terus melaju menuju pesisir Pulau Flores, tepatnya Desa Nangahale, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Akibat terkendala cuaca, perjalanan dari Pulau Babi ke Nangahale yang seharusnya hanya 1,5 jam molor menjadi dua jam lebih.
Sebelum berangkat ke Pulau Babi, Roni sempat mengingatkan adanya mitos yang diyakini warga setempat. Bagi warga Pulau Babi, hari Sabtu di bulan Desember adalah hari keramat. Pada hari Sabtu tanggal 12 Desember 1992, bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan pulau mereka. Karena itu, mereka menghindari bepergian di hari itu lantaran trauma.
Roni mengingat, Sabtu siang itu ia tengah berenang di pesisir Pulau Babi bersama beberapa pemuda seusianya. Tiba-tiba suhu air laut memanas sehingga mereka pun naik ke darat. ”Seperti teh panas,” tuturnya.
Tak lama, tanah berayun ke kiri dan kanan, lalu naik dan turun. Terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,5. Air laut kemudian surut.
Sejurus kemudian, terlihat gulungan gelombang tinggi menuju daratan yang membuat mereka segera berlari sambil berteriak. Mereka hendak menuju bukit yang berjarak sekitar 300 meter dari pesisir. Sayangnya, kecepatan lari mereka terkejar oleh gelombang lautan. Air dengan cepat mencapai daratan dan menyapu permukiman.
Roni ikut terseret gelombang. Beruntung ia sempat meraih sebatang kayu. Dalam sekejap dilihatnya, semua yang berdiri rata dengan tanah. ”Sekitar 700 orang lebih meninggal, termasuk keluarga saya. Makanya, saya takut sekali. Setiap kali bulan Desember apalagi pas hari Sabtu, kami selalu waspada,” kata pria yang lahir dan besar di Pulau Babi ini.
Akibat peristiwa itu, penduduk Pulau Babi yang semula 850 jiwa hanya tinggal 105 jiwa (Kompas, 16/12/1992).
Roni dan warga lain yang selamat kemudian direlokasi ke Nangahale karena Pulau Babi dinilai tidak layak lagi untuk dihuni. Demi keselamatan, warga meninggalkan pulau yang mereka cintai, termasuk Roni yang sudah tinggal di sana selama 17 tahun. Sesekali mereka datang ke Pulau Babi untuk menengok tanah kelahiran.
Trauma itu rupanya tetap membekas meski telah 29 tahun berselang. Tak heran saat kembali terjadi gempa pada 14 Desember 2021, warga seperti semakin meyakini bahwa Desember adalah bulan keramat. ”Apalagi kalau pas hari Sabtu bulan Desember, kami takut sekali,” ujarnya.
Saya datang ke Pulau Babi untuk melihat dampak gempa 14 Desember 2021 yang berkekuatan magnitudo 7,4 sekaligus melihat jejak gempa 1992. Meski tidak banyak, rupanya masih tetap ada warga yang tinggal di pulau itu. Sekitar 20 keluarga. Mereka bertani, beternak, dan menangkap ikan. Saya menyisir beberapa sudut pulau itu dan melihat bekas bangunan yang disapu tsunami hingga kuburan massal para korban.
Salah seorang warga Pulau Babi, Sahar (47), menuturkan, memasuki bulan Desember, warga sering mengalami kejadian aneh. Mereka sering mendengar teriakan orang minta tolong di tengah malam. ”Kadang di siang hari juga. Tiba-tiba ada suara yang memanggil nama kita. Roh orang-orang yang meninggal masih bergentayangan di sini,” katanya.
Tidak heran jika kemudian, Roni pun menghubungkan kejadian kapal kami yang kehilangan arah dengan mitos mistis Pulau Babi. Memang tidak rasional, tetapi saya pun meyakini hal itu ada.
Di luar itu, kepercayaan warga terhadap mitos tersebut telah membuat mereka lebih waspada terhadap fenomena alam yang terjadi. Sikap itu adalah upaya mereka untuk bertahan dan menghindarkan diri dari celaka.