Di Balik Survei Litbang ”Kompas”, Saat Kopi dan Sopi Mencairkan Suasana
Saat menuju Ruteng, Nusa Tenggara Timur, guna melakukan survei, kami mabuk darat akibat jalanan yang meliuk-liuk tajam. Untunglah, tiba di rumah kepala desa, kami disuguhi kopi dan sopi yang membuat tubuh lebih segar.
Oleh
Robertus Mahatma Chrysna, Dimas Okto Danamasi
·4 menit baca
Litbang Kompas menyelenggarakan survei tatap muka pada tanggal 17-30 Januari 2022 tentang kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dan kepemimpinan nasional.
Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 34 provinsi di Indonesia. Salah satunya di Nusa Tenggara Timur.
Hari Kamis (20/1/2022) sore, seusai merampungkan survei di Labuan Bajo, NTT, kami melakukan perjalanan darat menuju Ruteng, masih di provinsi yang sama. Waktu tempuh yang biasanya tiga jam saat itu molor menjadi lima jam karena mobil yang kami kendarai harus berhenti beberapa kali.
Dalam proses wawancara, mengikuti praktik kesopanan setempat dan menggunakan bahasa setempat merupakan pintu masuk yang efektif untuk mencairkan komunikasi.
Tiga anggota tim survei yang menumpang mobil travel itu mabuk darat akibat rute yang dilalui berupa jalanan di pegunungan Pulau Flores yang berliku dan meliuk-liuk tajam. Hanya sang sopir yang asli Ruteng yang mampu ”bertahan” tidak mabuk.
Saat akhirnya kami tiba di tujuan, yakni Desa Cumbi, Ruteng, Manggarai, cuaca mendung dan udara dingin menyambut. Desa itu berada di wilayah pegunungan. Perjalanan jauh ke Desa Cumbi kami tempuh demi mencari dan mewawancarai dua responden yang sesuai kriteria jenis kelamin dan kelompok umur.
Dengan bantuan sopir, kami berhasil menemukan rumah sang kepala desa. Ia menerima kedatangan kami dengan sangat ramah. Kami pun disuguhi kopi tumbuk yang ia sajikan khusus jika ada tamu. Tak hanya itu, kami juga ditawari sopi, minuman tradisional khas NTT.
Segera, suasana sepi dan dingin yang kami rasakan di sepanjang jalan desa berganti menjadi hangat. Beberapa warga setempat yang turut mengobrol sambil minum dan merokok membuat suasana di dalam rumah kepala desa semakin ramai. Rasa lelah di perjalanan dengan cepat terlupakan berkat penerimaan yang hangat.
Dari rumah kepala desa, kami berbagi tugas untuk ke rumah-rumah responden sesuai kriteria yang telah ditentukan. Salah satu responden adalah seorang ibu berumur 55 tahun. Berbagai pertanyaan terkait evaluasi pemerintahan dengan lancar dijawab oleh sang ibu yang rupanya seorang guru honorer itu.
Tibalah di pertanyaan yang terkait dengan sosok calon presiden yang menurut responden mampu menyelesaikan persoalan bangsa. Ibu tersebut dengan semangat menjawabnya, bahkan sebelum pertanyaan selesai dibacakan.
”Menurut Ibu, siapakah sosok calon presiden yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa berikut?” tanya kami.
Karena mengidolakan Prabowo Subianto (capres pada Pilpres 2019 yang kini Menteri Pertahanan), sang ibu selalu menyebutkan nama Prabowo sebagai jawaban untuk setiap pertanyaan yang kami ajukan.
Kami kemudian berhenti sebentar dan menjelaskan bahwa responden boleh menjawab dengan nama tokoh lain sesuai dengan tiap-tiap pertanyaan.
Mendengar penjelasan kami, sang ibu lantas berkomentar, ”Oh, yang dianggap mampu, ya? Kalau begitu, bisa enggak diulang lagi dari awal? Enggak semua cocok dengan Pak Prabowo ini.”
Akhirnya, kami pun harus mengulang lagi mengajukan serangkaian pertanyaan untuk menangkap pendapat responden sesuai kuesioner yang ada. Satu kali wawancara bisa menghabiskan waktu satu jam penuh.
Memanfaatkan aplikasi
Untuk survei skala nasional yang melibatkan ribuan responden di seluruh Indonesia, alat kontrol diterapkan melalui berbagai skenario. Mulai dari penyiapan peta sebaran lokasi sampel, perekrutan dan penugasan tenaga lapangan, pembuatan kuesioner daring yang dilengkapi dengan pencatatan lokasi, foto responden, dan rekaman audio wawancara.
Selain itu, Survei Kepemimpinan Nasional ini juga didukung aplikasi pengisi kuesioner yang memiliki dasbor pemantauan dan terhubung secara real time melalui ponsel pintar. Kontrol semacam ini dilakukan untuk memastikan ketepatan pemilihan responden selama survei berlangsung.
Meskipun kontrol ketat sudah dilakukan, wawancara bisa saja terhambat karena sulitnya komunikasi dengan responden di lapangan. Dalam proses wawancara, mengikuti praktik kesopanan setempat dan menggunakan bahasa setempat merupakan pintu masuk yang efektif untuk mencairkan komunikasi.
Secara umum, para responden bersikap kooperatif dan terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Kompas. Nyaris tidak ada penolakan yang sangat mendasar dari responden, kecuali karena alasan kerepotan domestik rumah tangga, sedang bekerja, ataupun karena ketiadaan kepala rumah tangga.
Walaupun relatif lancar, bukan berarti tidak ada kendala sama sekali dalam melakukan pencarian data untuk survei nasional kali ini. Kebiasaan warga yang berbeda-beda di tiap daerah, kecurigaan karena dikira tenaga salesman, atau bahkan penolakan (paling banyak terjadi di perkotaan) harus bisa kami adaptasi secara cepat dan langsung di lapangan. Ini dimaksudkan agar data yang kami butuhkan bisa diperoleh, termasuk di NTT.
Kopi dan sopi turut berjasa karena membantu mencairkan dan menghangatkan suasana di tengah cuaca mendung dan udara dingin selama wawancara.
Rupanya, keberhasilan survei di lapangan sangat ditentukan oleh kepiawaian dalam berkomunikasi dengan responden. Mengikuti kebiasaan setempat perlu dilakukan agar wawancara berjalan lancar. (LITBANG KOMPAS)