Selembar Surat di Tengah Hutan
Petugas mengingatkan di hutan ini masih banyak harimaunya. Saat hari mulai gelap, si raja hutan akan mulai berkeliaran mencari mangsa. Reni lalu mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas dan menuliskan sebuah pesan.
Pada November 2014, kami menjelajah Hutan Harapan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan. Perjalanan itu untuk meliput kehidupan suku Batin Sembilan yang terdesak masifnya pembalakan dan perambahan liar. Namun, di luar dugaan, liputan itu terhadang beratnya medan dan berbagai situasi di lapangan.
Dari Kota Jambi, kami menempuh perjalanan darat selama empat jam menuju Hutan Harapan. Setibanya di salah satu kamp dalam hutan, tiga perahu telah siap untuk membawa kami menyusuri sungai.
Setelah hampir lima jam di atas perahu, kami pun berhenti. Lalu, melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak dan akhirnya tiba di pondok tetua adat setempat, Mang Taufik.
Saat itu, hari telah menjelang malam. Dalam pondok kayunya yang sederhana, kami sempatkan memasak nasi di atas perapian. Sembari makan malam, kami melepas lelah sehabis perjalanan panjang seharian itu.
Mang Taufik lahir dan besar di dalam hutan. Sepanjang hidupnya, ia mengembara dari satu lokasi ke lokasi lain untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Sekadar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Baru belakangan ia mulai mengenal hidup berladang.
Dari kisahnya, kami mengetahui sedikit banyak sejarah serta sebaran komunitas adat Batin Sembilan. Sebagai penghuni pedalaman Jambi, nama Batin Sembilan selama ini tenggelam. Identitas mereka kerap dianggap sama dengan komunitas Orang Rimba yang menghuni ekosistem Bukit Duabelas.
Padahal, Batin Sembilan dan Orang Rimba merupakan dua suku yang berbeda. Mereka memiliki aturan adat, ruang jelajah, dan tradisi hidup masing-masing.
Berbekal cerita dari sang tetua adat, kami bermaksud melanjutkan penjelajahan. Dalam liputan ini, kami ditemani sejumlah pendamping dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, lembaga yang aktif dalam advokasi konservasi lingkungan dan masyarakat adat.
Keesokan paginya selepas sarapan, kami memulai perjalanan. Iwan, yang bertindak sebagai fasilitator lapangan, telah merancang jalur jelajah kami. Awalnya, kami akan menyusuri jalur Sungai Kapas dengan perahu.
Jalur itu akan menuju wilayah tinggal satu kelompok paling primitif dan nomadik dalam komunitas adat Batin Sembilan. ”Kita akan menemui kelompok Mat Liar,” ujar Iwan, si penunjuk jalan.
Seorang warga Batin Sembilan, Anangkus, turut menemani perjalanan kami. Ia kemudian menjelaskan perbedaan Suku Batin Sembilan dan Orang Rimba. ”Memang kami sama-sama hidup di dalam rimbo. Tetapi, adat kami berbeda,” katanya.
Orang Rimba umumnya membangun hunian di antara anak sungai kecil alias tersier di dalam hutan di wilayah tengah Jambi. Sedangkan komunitas Batin Sembilan berada agak ke timur dengan menempati tepian sungai primer dan sekunder di batas Jambi dan Sumatera Selatan.
Baca juga: Remasan Sagu dan Mama-mama yang Menghilang
Memang ada sejumlah kesamaan. Kedua komunitas sama-sama hidup menjelajah di dalam hutan dan memiliki sejumlah tradisi yang lekat dengan hutannya. Mereka juga sama-sama memanfaatkan hasil hutan dan berburu binatang untuk kebutuhan harian.
Di masa lalu, cara berpakaiannya pun sama-sama menggunakan cawat dari kulit kayu untuk menutup organ vital. Baru belakangan mereka mengenal kain sebagai penutup tubuh.
Perahu mesin kami memecah sunyi di tengah belantara. Iwan memastikan kami takkan lama lagi tiba di lokasi tujuan. Di situlah kami akan menemui Mat Liar, sang pemimpin kelompok.
Namun, hingga dua jam menyusuri sungai, keberadaan Mat Liar tak juga terendus. Demikian pula di sekitar lokasi yang kami tuju, tak tampak jejak kehadirannya. Mat Liar rupanya telah jauh meninggalkan tempat itu.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Sembari menimbang langkah selanjutnya, kami melihat dua pondok kayu tak jauh dari situ. Ada tungku di dekatnya dan gelas-gelas berisi ampas kopi yang terserak. ”Ini pondok pembalak kayu. Tampaknya mereka sedang mencari kayu,” ujar Kristiawan, rekan pendamping lainnya.
Karena melihat masih ada sisa bubuk kopi dalam bungkus yang tertinggal, kami pun memutuskan rehat sejenak. Kris menyalakan kayu bakar. Lalu, kami menjerang air untuk menyeduh kopi.
Setelah merasa kembali segar, kami melanjutkan naik perahu. Di perjalanan, tampak kayu-kayu hasil tebangan liar memenuhi jalur sungai. Perahu kami terhadang.
Sejumlah rekan terpaksa terjun ke sungai untuk menggeser jalinan kayu yang menghadang perahu. Karena kayunya besar-besar dan panjang, mereka tampak setengah mati menggesernya.
Baca juga: Trauma di Pulau Babi, Tersesat di Laut Flores
Setelah perahu berhasil lewat, kami melanjutkan perjalanan menuju kamp Bato. Setibanya di sana, Iwan mengusulkan untuk berpisah. Dirinya akan bertolak naik motor mencari keberadaan Mat Liar.
Rupanya ia masih penasaran dan merasa tak enak karena telah membuyarkan liputan siang itu. Kami diminta tetap melanjutkan perjalanan menuju hulu dengan mobil yang telah disiapkan. ”Kita akan bertemu di Kapas Tengah,” ujarnya.
Dari Kamp Bato, kami bertolak menuju Kapas Tengah. Sesekali kami berhenti untuk mengobrol dengan warga setempat. Salah seorang warga Batin Sembilan bercerita tentang kehidupan warga yang cenderung masih terisolasi. Interaksi dengan orang luar sekadar untuk memasarkan hasil hutan yang berlebih.
Namun, ia mulai mengkhawatirkan masuknya para pendatang karena mereka menebangi kayu dan merambah hutan. Situasi itu meresahkan warga pedalaman. Cerita tentang kisah mereka yang terdesak pembalak liar tertuang dalam artikel Pencurian Kayu Marak di Jambi.
Tak terasa hari telah sore. Kendaraan kami kembali menembus jalanan terjal menuju Kapas Tengah. Di sepanjang jalan kondisinya becek dan terjal. Jalanan juga berlubang-lubang.
Roda mobil tiba-tiba terperosok salah satu lubang. Berulang kali sopir menginjak pedal gas dalam-dalam, tetapi roda mobil tak berhasil keluar dari lubang. Ban telanjur terpuruk. Rodanya hanya berputar-putar di tempat.
Sopir akhirnya meminta semua penumpang naik ke atas bak di bagian belakang mobil. Kami kemudian meloncat-loncat di atas bak untuk menekan ban belakang agar dapat menancap ke lumpur. Meski telah sekuat daya kami meloncat, mobil tetap tak kunjung berhasil maju.
Tak jauh dari situ, melintas kendaraan petugas hutan. Kami sungguh beruntung. Petugas kemudian menyarankan kami ikut mereka menuju kamp pengelola hutan, mengingat hari telah sore.
Namun, kami teringat janji untuk bertemu Iwan di Kapas Tengah. Tetapi, setelah beberapa lama menunggu, Iwan masih belum muncul juga. Kami pun tak dapat mengontaknya lewat telepon seluler karena daerah itu tak bersinyal.
Petugas kembali mengingatkan di hutan itu masih banyak harimaunya. Saat hari mulai gelap, si raja hutan akan mulai berkeliaran mencari mangsa. Demi menjaga keselamatan diri, pendamping kami, Reni, akhirnya memutuskan membawa rombongan kami kembali ke kamp.
Baca juga: Diguncang Ombak, Menemukan Rahasia Sisi Lain Raja Ampat
Ia kemudian mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas dan menuliskan sebuah pesan. ”Dinda Iwan yang baik. Berhubung hari sudah sore dan sulitnya medan, maka kami putuskan untuk pulang dan meninggalkanmu. Maafkan,” tulis Reni.
Surat itu lalu ditancapkan pada sebatang kayu yang kemudian diberdirikan tegak persis di tengah jalan. ”Mudah-mudahan Iwan melihat dan membaca surat ini,” kata Reni.
Kami pun meluncur menuju kamp. Rupanya tak lama setelah kami pergi, Iwan datang. Ia sempat membaca surat itu sebelum mengejar kami menuju kamp.
Karena itu, liputan di pedalaman pun tak selalu berjalan sesuai rencana. Ada kalanya kondisi alam menghadang di tengah perjalanan.
Kami menyadari situasi di pedalaman yang penuh dengan tantangan. Karena itu, liputan di pedalaman pun tak selalu berjalan sesuai rencana. Ada kalanya kondisi alam menghadang di tengah perjalanan.
Untuk mengantisipasi situasi yang sering kali di luar yang telah diprediksi itulah diperlukan rencana A, rencana B, bahkan kalau perlu rencana C dan D. Hal lain yang tak boleh dilupakan, selalu mawas diri di mana pun berada.