Suasana hutan sagu sepi. Tak ada mama-mama. Air yang masih mengalir di lokasi peremasan sagu mengundang kecurigaan. Apalagi, di bawah beberapa tenda tempat menokok terdapat tumpukan serbuk sagu yang masih segar.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN, TATANG MULYANA SINAGA
·6 menit baca
Hutan desa di Kampung Manggroholo dan Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, menjadi oase di tengah masifnya pembalakan hutan di Papua. Masyarakat melindungi hutan seluas 3.500 hektar itu dari rongrongan ekspansi perusahaan perkebunan yang terlihat kian bergairah mencaplok lahan adat. Bagi warga desa, hutan ibarat harta karun turun-temurun yang menyimpan kekayaan untuk menghidupi generasi demi generasi.
Tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas berkesempatan mengunjungi hutan tersebut, Selasa (8/6/2021). Perjalanan darat dari Kota Sorong, Papua Barat, memakan waktu sekitar tujuh jam dengan menggunakan mobil gardan ganda.
Hangat sinar matahari pagi mengiringi langkah kami menuju jalur masuk hutan. Tiga warga setempat memandu untuk menyusuri dan mengenal isi hutan tropis itu.
Sepertinya mama-mama malu karena ada kamera. Mereka juga tidak tahu kalau ada yang mau datang.
Tim menyisir jalan setapak di antara pohon-pohon yang menjulang. Udaranya segar. Kersik bunyi daun tertiup angin memecah keheningan. Suara burung pun bersahutan dari berbagai arah.
”Di hutan ini masih ada burung kakatua dan lau-lau (kanguru pohon). Tetapi harus masuk (hutan) lebih jauh,” ujar Vinsen Sermere (24), salah satu pemandu.
Pagi itu kami kurang beruntung karena tidak bertemu kedua satwa khas hutan tersebut. Namun, beberapa burung nuri yang terbang dari satu dahan ke dahan lain sambil memamerkan kecantikan bulunya cukup menjadi pelipur lara.
Hutan Desa Manggroholo dan Sira ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti merbau, matoa, bintangur, dan damar. Selain itu terdapat pohon buah, di antaranya duku, durian, dan cempedak. Keanekaragaman flora itu menjadi rumah yang nyaman bagi satwa liar.
Di beberapa titik, tanaman nanas berjejer di kanan dan kiri jalan setapak. Warga sengaja menanamnya di dekat jalan agar mudah menjangkaunya saat panen.
Semilir angin membawa aroma khas yang terendus indra penciuman. Wangi itu bersumber dari gumpalan getah damar yang melekat di kulit pohon.
Sebelum jaringan listrik masuk ke desa tersebut, warga memakai getah damar untuk menghasilkan penerangan dengan pelita. Saat ini, potensi itu malah tidak banyak dimanfaatkan. Hanya beberapa orang saja yang menggunakannya sebagai pewangi ruangan.
Kontur tanah hutan tersebut sangat bervariasi. Kami menapaki tanjakan dan turunan berganti-ganti. Sesekali juga berjalan di atas batang pohon yang melintang untuk menyeberangi sungai.
Batang pohon itu bukan bekas perambahan, melainkan sisa dari penebangan pohon oleh warga setempat untuk membangun rumah. Penebangan diperbolehkan tetapi dibatasi berdasarkan kesepakatan adat dan marga. Umumnya, warga masih diizinkan menebang untuk kebutuhan membangun rumah pribadi atau fasilitas umum.
Karena pemanfaatan kayu yang noneksploitatif ini, tak heran ketika kami semakin jauh melangkah ke dalam hutan, semakin banyak pohon-pohon besar.
Salah satunya pohon merbau yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai kayu besi, saking kerasnya. Dibutuhkan lebih dari lima orang untuk memeluk lingkar batangnya.
Sekitar 45 menit menjelajahi hutan tropis ini, keringat mulai bercucuran. Kami keluar hutan dan beristirahat di rumah warga. Namun, penjelajahan belum berakhir.
Dusun sagu
Setelah melepas lelah selama 15 menit, tim menuju sisi hutan lainnya. Di sana terpampang deretan tanaman sagu. Warga menyebut kawasan ini sebagai dusun sagu. Lokasinya di perbatasan Desa Manggroholo dan Sira.
Suasana hening menyambut kami di hutan sagu itu. Hanya terlihat seorang perempuan paruh baya yang sedang menokok sagu. Padahal, biasanya, lokasi itu selalu didatangi ibu-ibu setiap pagi untuk mengolah sagu.
Air yang masih mengalir di lokasi peremasan sagu mengundang kecurigaan. Apalagi, di bawah beberapa tenda tempat menokok terdapat tumpukan serbuk sagu yang masih segar.
Vinsen datang menghampiri kami. Ia baru saja bertemu beberapa perempuan di rumah warga terdekat.
”Sepertinya mama-mama malu karena ada kamera. Mereka juga tidak tahu kalau ada yang mau datang,” ujarnya.
Kami pun tersenyum mendengarnya. Terpecahkan sudah "misteri" menghilangnya mama-mama dan hutan yang sepi. Namun, sekitar lima menit berselang, satu per satu mama kembali ke lokasi peremasan untuk melanjutkan aktivitas.
Dari kejauhan, terlihat laki-laki tua duduk di atas batang sagu. Kedua tangannya memegang nani (alat penokok sagu) yang kemudian dipukulkan berulang kali ke batang sagu sebelum diolah menjadi serbuk.
Kami mendekatinya. Laki-laki itu bernama Costa Kladit (59), warga Desa Manggroholo. Ia tampak memindahkan karung berisi 15 kilogram serbuk sagu ke bagian belakangnya. Bapak enam anak itu melanjutkan menokok untuk mengisi satu karung lainnya.
Setelah serbuk sagu diremas lalu dimasukkan ke dalam karung. Setiap karung rata-rata berisi 2 kilogram sagu dengan harga Rp 150.000–Rp 200.000 per kilogram. Mengolah sagu menjadi mata pencarian utama mayoritas warga.
Kami menawarkan diri untuk membantunya menokok. Tawaran itu ia terima. Dengan senang hati Costa mengajarkan cara menokok agar serbuk yang dihasilkan halus.
”Jangan buru-buru. Pelan-pelan saja, tokok sedikit-sedikit. Kalau (serbuk sagu) besar, nanti susah di-ramas (remas). Susah bisa diambil ampasnya,” katanya menjelaskan.
Sembari menokok, kami melemparkan sejumlah pertanyaan, mulai dari manfaat sagu bagi warga setempat hingga alasan warga menolak menjual lahannya kepada perusahaan sawit.
Pendekatan lewat membantu menokok sagu berbuah manis. Obrolan berjalan lancar. Costa menjawab dengan gamblang.
”Kebutuhan hidup selama ini bisa terpenuhi dari sagu. Sehari-hari makan papeda. Kalau butuh uang, bisa jual sagu ke pasar,” ujarnya.
Dari hasil menjual sagu itu pula Costa menyekolahkan anak-anaknya. Hutan terbukti mampu menghidupi. Itu berlangsung sejak zaman leluhur mereka dan akan terus dipertahankan agar terus bermanfaat untuk anak cucu kelak.
Status hutan desa yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2014 menjadi benteng formal untuk mempertahankannya. Apalagi, sejak empat tahun lalu, warga telah memperoleh hak kelola hutan dari Pemerintah Provinsi Papua Barat.
Hak kelola itu tak lantas membuat warga mengeksploitasi hutan membabi buta untuk mendulang cuan sebanyak-banyaknya. Mereka justru belajar cara mengendalikan pemanfaatan hutan. Salah satunya dengan membatasi penebangan pohon.
Tanpa pembatasan, hutan terancam rusak. Ribuan batang pohon merbau, matoa, bintangur, dan damar yang bernilai jual tinggi jelas menjadi incaran banyak pihak.
”Setiap desa hanya boleh menebang kayu 50 meter kubik per tahun. Jadi, dalam setahun cuma 100 meter kubik. Kalau ingin membangun rumah, warga bergantian mengambil kayu dari hutan,” ujar koordinator hutan Desa Manggroholo dan Sira, Arkilaus Kladit.
Liputan di hutan desa itu memberi perspektif baru kepada kami tentang perjuangan orang Papua dalam melindungi hutannya. Bukan sekadar menjaga lahan adat, apalagi untuk mengejar status pengelolaan hutan. Namun, demi mempertahankan ruang hidup dari kerakusan korporasi yang kian mengancam.
Kami melangkah pulang saat matahari mulai meninggi. Lebih dari tiga jam penjelajahan di hutan desa pertama yang kami kunjungi sejak menginjak tanah Papua.
Banyak potensi hutan yang belum dimanfaatkan. Namun, bukan berarti tidak berguna karena sebenarnya ia menjadi ”harta karun” untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.