Hampir Patah Arang, Berujung Menang
Kami hampir patah arang karena di tengah liputan, harus berganti tema. Perlu analisis tambahan dua hari jelang penayangan, yang akhirnya menjadi temuan utama. Hasil liputan ini meraih penghargaan Adinegoro.
Di tengah perjalanan liputan, kami mendadak berganti tema, dari biaya pendidikan dasar/menengah menjadi biaya pendidikan tinggi. Tidak mudah bagi kami untuk membuat konsep baru, mencari, mengolah, dan menganalisis data dengan waktu yang tersisa.
Bahkan, dua hari sebelum penayangan, kami melakukan analisis tambahan yang akhirnya menjadi temuan utama.
Berbeda dengan proses kerja jurnalistik pada umumnya, proses kerja tim Jurnalisme Data diawali dengan pengolahan data. Hasil olahan data ini menjadi isu utama dalam proses kerja jurnalistik hasilnya. Lancar atau tidaknya proses liputan sangat bergantung pada hasil olahan data di awal. Tim Jurnalisme Data Harian Kompas dibentuk 1 Mei 2021. Tim ini beranggotakan M Puteri Rosalina, Albertus Krisna, dan Satrio Pangarso Wisanggeni yang merupakan perpaduan antara peneliti dan wartawan.
Proses mengolah data pada tahap awal tidaklah mudah. Kami harus teliti dan jeli melihat data serta harus bisa berkreasi untuk melakukan metode analisisnya. Jika kami salah langkah di proses awal, proses selanjutnya yakni turun ke lapangan akan tersendat dan bisa terjadi mengulang proses awal, bahkan pernah terjadi, kami terpaksa berganti tema di tengah liputan.
Seperti yang terjadi pada liputan ke-8 bulan Juni-Juli 2022. Tema awal yang kami ajukan pada proposal liputan adalah mengenai ”Kenaikan Biaya Pendidikan Dasar/Menengah”.
Saat diskusi proposal liputan bersama Kepala Desk Investigasi dan Data Billy Khaerudin serta pimpinan ”Meja Tengah” alias Pemimpin Redaksi Sutta Dharmasaputra, Redaktur Pelaksana Adi Prinantyo, serta Wakil Redaktur Pelaksana Haryo Damardono, kami cukup percaya diri dengan mengangkat tema ”Kenaikan Biaya Pendidikan Tinggi”. Data yang ditampilkan dalam proposal cukup kuat, yakni kenaikan biaya pendidikan dasar dan menengah selama periode 2015 dan 2018 mencapai ratusan persen.
Temuan awal dari olahan data tersebut sedemikian kuat sehingga mengalahkan dua tema lainnya. Apalagi saat itu menjelang masa awal tahun ajaran di bulan Juli.
Bahkan kami cukup jemawa jika liputan ini bisa diselesaikan dalam waktu cepat dibandingkan liputan lainnya. Toh, saat itu, kami berpikir, kami sudah mendapatkan olahan data yang cukup kuat di awal proses.
Di akhir rapat, sebenarnya bapak-bapak ”Meja Tengah” menyarankan untuk ambil ”angle” balik modal pendidikan tinggi. Namun karena kami merasa bahwa data kenaikan biaya pendidikan dasar/menengah cukup kuat, saran tersebut tidak kami lirik. Kami pun merasa bahwa isu imbal balik pendidikan terasa seperti mengomersialisasi pendidikan dan tidak merasa sreg dengan hal tersebut.
Langkah kami untuk menjauhi saran ”Meja Tengah” berbuah karma bagi langkah selanjutnya. Ujung-ujungnya, toh, kami tetap harus berbalik pada saran tersebut. Namun, sebelum berakhir pada babak cerita tersebut, simak momen saat kami harus ”balik kanan” haluan arah liputan dan memulai lagi dari nol.
Unduh Ribuan Data
Berangkat dari data kenaikan biaya pendidikan SD hingga SMA, kami mulai mengembangkan olahan data. Kami berpikir bahwa kenaikan biaya pendidikan tersebut akan berdampak pada tingginya angka putus sekolah, partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, dan angka pengangguran.
Dengan demikian, langkah kami berikutnya adalah mendapatkan data indikator pendidikan tersebut di Neraca Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional. Data tersebut bebas diakses melalui laman https://npd.kemdikbud.go.id/. Namun, karena dipisahkan oleh tahun dan judul data, kami harus satu per satu mengunduhnya. Kami, Satrio dan Puteri, mengunduh ribuan data di sela-sela diskusi.
Saat itu kami masih cukup percaya diri jika ada korelasi antara biaya pendidikan dengan angka putus sekolah, partisipasi sekolah ataupun rata-rata lama sekolah. Kami masih bisa bercanda di sela-sela mengunduh data dan berdiskusi.
Santai kayak di pantailah saat itu rasanya. Kami juga menyempatkan berdiskusi dengan wartawan Kompas bidang pendidikan, yakni Ester Lince Napitupulu atau sering kami panggil Mbak ELN. Dari diskusi tersebut, kami berharap mendapatkan beberapa sudut berita sebagai bekal dari temuan olahan data berikutnya.
”Bersantai” di pantai harus kami akhiri saat mulai uji korelasi data biaya pendidikan dan angka putus sekolah. Rasanya tak percaya dengan penglihatan kami saat itu saat dua data tersebut tak berkorelasi.
Kami tak berputus asa. Korelasi data biaya pendidikan dilanjutkan dengan data lainnya. ”Ah, ternyata tak berkorelasi,” sebut Satrio. Namun, kami terus berusaha mencari hubungan-hubungan antardata yang bisa dipertanggungjawabkan secara statistik. Ternyata antarvariabel tidak memiliki korelasi yang berarti secara statistik dan secara nilai berita.
”Kejadian (tema) kebakaran berulang lagi nih,” celetuk Satrio. Tahun lalu kami pun stagnan saat melakukan korelasi data seputar kasus kebakaran di Jakarta.
Kami bingung mengapa hipotesis yang sudah kami bangun megah mendadak runtuh di siang itu. Kami mondar-mandir di ruangan rapat. Semuanya saling terdiam. Hingga hampir dua jam berlalu tak menemukan jawabannya meski kami sudah menulusuri berbagai jurnal penelitian ataupun pemberitaan.
Konsultasi dengan pakar
Akhirnya di tengah rasa putus asa tersebut, kami sepakat untuk konsultasi dengan salah satu pakar pendidikan, yakni Dharmaningtyas. Sore itu kami bertiga bertemu dengan Pak Tyas di sebuah kafe di kawasan Meruya, Jakarta Barat.
Pertemuan tersebut sedikit banyak mencerahkan pikiran kami yang butek karena data yang tak berkorelasi tersebut. Namun, tetap saja kami masih berat melangkah.
Kami tak berputus asa dan berusaha mencari data lain serta literatur. Bahkan, salah satu dari kami karena penasaran dengan istilah balik modal pendidikan, mencari tahu dengan browsing internet. Hingga akhirnya menemukan konsep Imbal Balik Pendidikan sebagai rujukan untuk meneruskan tema balik modal pendidikan.
Tak berhenti di situ, saking penasarannya dengan konsep imbal balik pendidikan yang menurut kami adalah istilah baru, salah satu dari kami mengikuti kuliah daring seorang dosen Ekonomi UGM. Kuliah daring tersebut sudah direkam dalam Youtube sehingga memudahkan untuk mengikutinya.
Bagi kami yang bukan lulusan ekonomi, memahami hitungan dan konsep imbal balik pendidikan tidaklah mudah. Apalagi dari salah satu materi disajikan hitungan njlimet ekonomika yang tak satu pun dari kami paham.
Daripada pusing, akhirnya kami sepakat untuk mewawancarai Gumilang Aryo Sahadewa, dosen ekonomi yang mengunggah kuliah online tersebut. Dari wawancara tersebut, kami sedikit banyak mendapat masukan mengenai imbal balik pendidikan. Tak hanya itu, ia pun menjawab pertanyaan kami seputar semakin berkurangnya selisih gaji lulusan SMA dengan universitas beberapa tahun terakhir.
Semangat kami perlahan muncul lagi. Namun, kami tidak bisa berleha-leha dengan sisa waktu yang semakin menipis. Akhirnya kami berkumpul lagi di salah satu ruang rapat. Kami sengaja memilih ruang rapat yang menyediakan papan tulis untuk mempermudah diskusi.
Masing-masing dari kami mulai menuliskan temuan data di papan tulis. Pelan-pelan kebingungan kami terurai dari coretan di papan tulis. Kali ini dari masukan Pak Gumilang, kami menambahkan data upah yang diterima lulusan SMA dan PT. Data tersebut bisa diakses dengan mudah di laman BPS.go.id.
Dari data biaya pendidikan SMA dan PT dan upah lulusan SMA dan PT, kami bisa mengetahui tingkat kesepadanan biaya pendidikan terhadap potensi gaji yang diterima. Jadi tujuannya, kami bisa mendorong masyarakat supaya melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang kuliah. Kami mulai lega dengan temuan-temuan yang mulai menampakkan hasil.
Judul Tabel Janggal
Namun, rupanya Tuhan mencobai tim kami yang sudah bisa tersenyum. Pandangan mata Krisna yang terpusat pada judul tabel data membuat kami bertiga siang itu kembali tersenyum kecut.
”Hai gaes, baca deh judul dua tabel ini,” kata Krisna dengan nada datar. Krisna kemudian menunjukkan dua tabel biaya pendidikan sebagai sumber utama data liputan ini.
Ada yang aneh enggak menurut kalian? (Krisna)
”Ada yang aneh enggak menurut kalian?” kata Krisna. Hampir saja kami berdua tidak bisa membedakan judul tabel hingga kami berbarengan berteriak, ”Periode waktunya beda!”
Masih tidak percaya dengan penglihatan kami, kemudian kami bersama membaca kuesioner survei tersebut yang ada di bagian belakang data Survei Penunjang Pendidikan 2015. Dalam pertanyaan kuesioner sudah jelas tertulis biaya pendidikan yang terdiri dari SPP, uang seragam, uang transportasi, uang ekstrakurikuler, dan lain-lain selama tiga bulan, yakni Juli-September 2015.
Kami coba mencari cara lain untuk memaknai data itu sehingga bisa sejajar dengan data biaya pendidikan satu tahun ajaran 2017/2018. Caranya dengan membagi komponen-komponen biaya pendidikan menjadi biaya bulanan.
Lagi-lagi cara tersebut tidak berhasil. Jika dibandingkan dengan biaya pendidikan per bulan pada tahun ajaran 2017/2018, datanya menurun. Hal tersebut tidak mungkin terjadi karena kenyataannya biaya sekolah, khususnya swasta, cenderung naik setiap tahunnya.
Harapan Pupus
Namun, kami masih berharap pada penjelasan BPS sebagai lembaga yang melakukan survei tersebut. Hingga keesokan harinya, kami coba menghubungi BPS. Tak mudah juga menemukan bagian data di BPS yang mengolah data tersebut hingga akhirnya setelah bertanya pada beberapa orang, kami bertemu dengan salah satu staf BPS yang menjadi koordinator fungsi Statistik Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial, ibu Wachyu. Saat kami menghubungi Ibu Wachyu, kami berharap periode waktu yang tertera pada kuesioner survei penunjang pendidikan 2015 adalah salah sehingga kami masih bisa menggunakan data biaya pendidikan tersebut.
Namun, harapan kami pupus. Ibu Wachyu mengatakan dengan tegas bahwa periode survei Penunjang Pendidikan 2015 dan 2017 memang berbeda. ”Tidak bisa apple to apple, mbak,” jelasnya melalui sambungan telepon.
Saat itu kami masih berusaha mencari cara dengan menanyakan, kapan data biaya pendidikan 2021 diterbitkan. Kami berharap masih bisa memanfaatkan data terbaru untuk melihat kenaikan biaya yang terjadi. Namun, Ibu Wachyu mengatakan, jika data tersebut baru bisa diterbitkan minggu pertama Juli. Jika menunggu data terbaru, pun sangat mepet dengan waktu penayangan artikel yang telah ditetapkan.
Kami bertiga rasanya lemas dan lemah lunglai mendengar jawaban tersebut. Sia-sia apa yang telah kita lakukan sejauh ini. Waktu pekerjaan dua minggu pun rasanya sia-sia.
Karena sudah ”mentok” dan tidak bisa berpikir dengan jernih, kami bertiga berkonsultasi dengan kepala desk kami, Mas Billy. ”Kalian ganti tema saja ke perguruan tinggi. Kan dari awal sudah kusarankan begitu,” kata Billy dengan tegas. Namun, kami masih bingung, angle berita apa yang harus kami ambil untuk biaya pendidikan tinggi. Dua minggu ini, kami hanya otak-atik seputar pendidikan dasar dan menengah.
Mas Billy akhirnya menyarankan untuk mengambil tema balik modal pendidikan. ”Coba kalian hitung balik modal biaya kuliah kalau kuliah di kedokteran, misalnya. Atau kuliah arsitek,” sarannya. Menurut dia, bahasan tersebut sering kali diperbincangkan di Twitter.
Berburu Data
Awalnya kami ragu mengambil tema tersebut, khawatir data gaji beberapa profesi tidak tersedia. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti karena ada beberapa laporan survei firma sumber daya manusia Kelly Services Indonesia 2020, laman pencarian kerja Glassdoor, dan survei daring 2020 Salary Survey oleh tim @HRDBacot.
Dua laporan yang berupa PDF bisa diubah formatnya ke Microsoft excel dengan software Tableau. Namun, satu laporan tidak bisa sehingga kami bertiga berbagi tugas untuk meng-entry nya satu per satu.
Tak hanya itu, kami juga berbagi tugas untuk mencari data biaya kuliah 13 jurusan dari 20 perguruan tinggi negeri dan 10 perguruan tinggi swasta. Data biaya kuliah tersebut terbuka bebas di internet, tetapi kami harus telaten untuk mencarinya satu per satu.
Sungguh pekerjaan berburu data ini cukup melelahkan bagi kami. Rasa lelah dan lemas kami selama dua minggu belum selesai kini harus ditambah lagi dengan pekerjaan ini.
Berburu narasumber
Analisis data bisa menjadi ”narasumber” utama kami, tetapi cerita dan pengakuan masyarakat tetap menjadi elemen yang penting dalam liputan jurnalisme data. Kesaksian para narasumber ini selain digunakan untuk mengonfirmasi hasil analisis data, tetapi juga menjadi contoh nyata problematika yang dihadapi oleh masyarakat secara langsung.
Narasumber yang kami ingin dapatkan adalah mereka yang sedang menempuh pendidikan tinggi dan merasa dibebani biaya kuliah yang tidak secara proporsional sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga mereka sehinga proses kuliahnya mungkin tidak seideal yang diinginkan; ada yang harus mengakhiri pendidikannya secara lebih dini, ada juga yang harus mencari beasiswa.
Pada dasarnya, kami ingin mencari mereka yang benar-benar percaya pada kemampuan pendidikan untuk memperbaiki nasib mereka.
Agar lebih terarah dan efisien, kami mencari narasumber melalui media sosial. Karena dekat dengan masa pendaftaran kampus, kami bisa menemukan sejumlah calon mahasiswa yang mencurahkan keluhan betapa besar biaya kuliah yang harus mereka bayarkan.
Kami menemukan calon mahasiswa dari perguruan tinggi asal Bali yang sungguh menggantungkan seluruh harapannya dari bantuan Kartu Indonesia Pintar-Kuliah. Ada juga eks mahasiswa asal Sumatera Selatan yang harus putus kuliah akibat musibah finansial di keluarganya dan tetap menemukan semangat untuk memperbaiki nasib dengan cara kursus kecantikan. Wawancara mereka dilakukan secara daring.
Dari rekan di kantor yang lulusan Universitas Terbuka (UT), kami juga memutuskan untuk meminta bantuan ke bagian Hubungan Masyarakat UT untuk menyambungkan kami dengan lulusan mereka yang berkuliah dengan dana bantuan pemerintah. Kami pun menemukan dua lulusan UT dari dua keluarga prasejahtera yang asal Kabupaten Bogor yang dengan kegigihannya berhasil lulus, mengandalkan beasiswa Bidikmisi.
Personifikasi nilai percaya terhadap pendidikan untuk memperbaiki hidup juga kami dapatkan dari seorang Youtuber, seorang ibu eks pekerja migran yang bertahun-tahun bekerja di Taiwan dan di sela-selanya mengikuti kuliah Universitas Terbuka. Kini, dengan ilmu yang ia dapatkan, kini bisa berwiraswasta dengan sukses di kampung halamannya.
Setelah dari sisi masyarakat, untuk menyajikan laporan yang komprehensif, kami juga ingin mengetahui persoalan biaya pendidikan dan potensi ”imbal balik” dari pendidikan tinggi.
Untuk itu, kami mewawancarai para pejabat dari sejumlah program studi dari berbagai perguruan tinggi yang jurusannya dianggap paling cepat imbal balik bagi lulusannya: pendidikan guru, teknik informatika, dan statistik atau sains data.
Dari sisi pengambil kebijakan, kami pun juga mewawancarai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Kami berharap bisa mewawancarai secara langsung. Namun, karena jadwal yang sulit, akhirnya pertanyaan kami ajukan secara tertulis. Pertanyaan yang dikirimkan pun harus dipersiapkan matang-matang agar jawaban yang diberikan tidak sekadar normatif.
Tambah analisis
Sekilas tampaknya liputan kami berjalan lancar setelah berganti tema ke biaya pendidikan tinggi. Namun, sebetulnya kami merasa sejumlah temuan yang kami hasilkan belum memuaskan. Namun, karena waktu pemuatan telah dekat, kami berusaha berpuas diri. Analisis temuan baru bisa berdampak pada kebutuhan untuk mencari narasumber baru; tidak hanya dari sisi masyarakat, tetapi juga pihak otoritas dan pakar.
Sampai pada akhirnya tiba waktu untuk berdiskusi dengan Departemen Visual guna merancang infografis yang akan menemani tulisan kami kelak. Diskusi dilakukan pada Jumat malam, jelang akhir pekan terakhir sebelum pekan pemuatan. Kami berdiskusi dengan Mas Pandu dan Mas Novan.
Di tengah diskusi yang seru, Mas Novan berceletuk sesuatu yang sederhana, ”Kalau ada analisis beban biaya yang harus ditanggung orangtua mungkin bagus juga.” Ide itu dibahas sesaat di dalam rapat, Krisna dan Satrio saling melontarkan ide untuk mengeksekusi ide tersebut. Saat itu, dalam hati, kami juga setuju dengan usulan tetapi merasa waktu yang tersisa tinggal sedikit.
Usai rapat dengan Departemen Visual, ambisi untuk mengeksekusi hal tersebut justru makin kuat. Satrio dan Krisna pun sepakat untuk ke ruang redaksi keesokan harinya untuk mendiskusikan lebih lanjut ide tersebut dan mengeksekusi analisis datanya.
Sabtu sore analisis telah selesai, temuannya justru disepakati untuk jadi temuan hari pertama; yang biasanya disebut temuan paling ”nendang”. Kami berhasil menemukan bahwa dari tahun ke tahun, kemampuan orangtua berpendidikan rendah untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi makin berat. Dengan temuan ini, sejumlah narasumber tambahan pun perlu dihubungi untuk memperkuat temuan baru ini.
Liputan kami terbit selama dua hari. Liputan tema pendidikan ini dijadwalkan terbit hari Kamis dan Jumat, tanggal 28 dan 29 Juli 2022. Setiap satu hari terbit, kami harus dapat menyajikan temuan besar dari hasil pengolahan data. Artinya, setiap tema liputan, kami harus mengantongi minimal dua temuan besar yang menarik.
Temuan untuk terbitan hari pertama sudah ketemu, yaitu terkait kemampuan orang tua yang semakin berat menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi. Sementara untuk terbitan hari kedua kami mencoba merealisasikan masukan kepala desk kami, Billy, terkait imbal balik biaya pendidikan per program studi.
Mengacu hal itu, data yang sudah kami kumpulkan sebelumnya kembali dilengkapi dan diolah. Hingga akhirnya kami menemukan temuan yang sangat menarik dan menurut kami layak headline atau halaman depan. Temuan kami menunjukkan prodi kedokteran memiliki imbal balik yang paling lama, sementara itu prodi pendidikan sebaliknya sebagai prodi yang paling cepat.
Meski temuan besar sudah ada di tangan, masih saja ada yang mengganjal. Risiko tim yang isinya wartawan dan peneliti, segalanya mendapat perhatian lebih baik dari redaksi dan dari litbang.
Berbagai masukan ini pun kami segera olah agar bisa memenuhi tenggat waktu penerbitan. Ketika Rabu malam dan Kamis malam pun kami kawal proses editing hingga dianggap clear di teman-teman Penyelaras Bahasa.
Ketika liputan kami terbit di hari Kamis, waktu pagi hari biasanya kami habiskan untuk menyebarkan link tautan berita ke media sosial masing-masing serta ke narasumber yang sudah terlibat. Kami juga biasanya mendapat ucapan apresiasi dan juga kritik dari pembaca Kompas. Hal-hal ini sudah membayar jerih payah kami selama lebih dari satu bulan menyusun rangkaian laporan ini.
Selama enam bulan berikutnya, hingga Januari 2023, liputan biaya pendidikan ini sudah tidak pernah muncul terbahas kembali di antara kami sendiri. Sehari-hari sudah dipenuhi diskusi tema-tema berikutnya. Selama paruh kedua 2022, kami juga menyelesaikan liputan antara lain tentang sampah makanan, mobil dan sepeda motor listrik, hingga biaya pangan dan stunting.
Kejutan muncul tiba-tiba ketika Satrio dihubungi oleh panitia Anugerah Adinegoro untuk membuat video profil Tim Jurnalisme Data Kompas. Ternyata hasil liputan kami berjudul "Mau Cepat Impas, Pilih Kuliah Keguruan atau Kedokteran?" yang tayang di Kompas.id, laman resmi harian Kompas, dinominasikan! Kami sudah merasa bangga dan terapresiasi dengan capaian ini.
Sepekan kemudian, ketika malam pengumuman, ternyata kejutan lebih besar sudah menanti kami. Tidak disangka sama sekali, liputan kami terpilih menjadi yang terbaik di kategori Berita Siber. Penghargaan ini ibarat oase di tengah padang gurun. Sangat menyegarkan tidak hanya untuk tim kami, tetapi juga bagi seluruh rekan di perusahaan kami bekerja.
Ini juga semacam mengonfirmasi bahwa cara kerja, metode liputan, hingga output pemberitaan yang kami bentuk sendiri ini diakui oleh masyarakat pers Indonesia dan terapresiasi. Ternyata yang kami lakukan selama ini, metode liputan yang mungkin agak berbeda dari biasanya ternyata dapat diterima.
Harapan kami, air segar ini dapat menambah semangat kami untuk dapat menghasilkan karya jurnalistik yang terus menarik dan berguna bagi banyak masyarakat.