Getar Kehidupan dari Balik Reruntuhan
Dengan suara bergetar, Cucu menceritakan detik-detik ditemukannya Azka. Awalnya, dia bersama para petugas mencium bau urin di tengah reruntuhan. Artinya, kemungkinan ada korban di sekitar situ.
Gempa Cianjur tidak hanya menambah pengalaman meliput bencana dan rasa empati terhadap sesama manusia. Melalui bocah 5 tahun Azka, gempa Cianjur juga menyadarkan saya bahwa hidup manusia penuh anugerah meski terperosok ke tepi jurang kematian sekalipun.
“Anaknya masih hidup!”
“Allahu Akbar!”
“Alhamdulillah!”
Teriakan itu mengentak kesadaran mereka yang berada di gang kampung Rawacina, Desa Nagrak, Rabu (23/11/2022) pagi. Gang itu tampak begitu berantakan oleh reruntuhan material bangunan akibat gempa.
Saya pun ikut terkesiap, hampir tak percaya rasanya. Di bawah material bangunan yang runtuh lebih dari 40 jam sebelumnya, masih ada denyut samar kehidupan.
Sesosok anak bernama Azka Maulana Malik (5) berhasil dievakuasi dari balik reruntuhan yang sewaktu-waktu bisa benar-benar ambruk menimpa tubuhnya. Ucapan syukur dan takjub terdengar seperti saling bersahutan. Tidak ada yang menyangka, Azka masih hidup setelah terperangkap puluhan jam di bawah reruntuhan bangunan.
Usai tersadar dari keterpakuan, saya langsung merekam dengan tergesa-gesa momen dibopongnya Azka. Rambutnya yang terlihat penuh debu sampai warnanya putih keabuan, terlihat dari balik bahu lebar personel TNI yang menggendongnya.
Hanya itu yang terekam di kamera karena saya tiba di lokasi saat proses evakuasi oleh petugas hampir selesai. Azka segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Kedatangan saya ke tempat ini sebenarnya sebuah kebetulan yang tidak pernah saya sangka-sangka. Semula, saya tidak berencana meliput di daerah itu karena masih ada puluhan korban lain yang juga belum ditemukan yang tersebar di beberapa lokasi.
Bahkan, ada proses pencarian korban yang tidak kalah "dramatis" yang terjadi di Desa Cijedil, Cugenang. Di sana, puluhan korban tertimbun tanah sekaligus hingga belasan meter.
Baca juga: Usaha Mulia Tidak Akan Pernah Sia-sia
Momen ditemukannya Azka hanya selang beberapa detik dengan ketibaan di sana. Beberapa puluh menit sebelumnya, saya baru saja merutuki dan menyalahkan diri karena tidak mendapat momen kunjungan Muhammad Jusuf Kalla.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu datang memantau sejumlah daerah pengungsian. Salah satunya di Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur.
“Wah Pak JK (Jusuf Kalla) sudah beres memantau, Mas. Ini mau ke Kantor PMI Cianjur,” ujar salah satu petugas PMI yang saya temui di ruas jalan Desa Nagrak. Sambil menyipitkan mata, ia menunjuk sebuah mobil SUV besar yang meninggalkan desa.
“Sial, sudah balik,” keluhku dalam hati.
Pantas saja jalanan macet saat saya tiba, karena iring-iringan rombongan Pak Kalla lebih dari lima mobil dan sebagian besar memakan lebih dari setengah jalur jalan.
Baca juga: Kehangatan di Tengah Penyintas Erupsi Semeru
Mencari korban
Ogah pergi dengan tangan hampa, saya pun ganti hendak memantau evakuasi korban. Informasi dari seorang petugas, di desa tersebut sedang ada proses pencarian korban hilang. Dua orang dewasa dan satu anak belum juga ditemukan. Mereka terjebak reruntuhan rumah.
Saya segera mengabari beberapa rekan wartawan yang berada di pusat kota, “Pak JK sudah geser ke Kota (Cianjur). Aku pantau Desa Nagrak dulu ya.”
Setelah itu, saya menelusuri jalan desa dengan benak penuh tanya, di mana gerangan lokasi pencarian. Setiap bertemu warga, saya menepi dan bertanya. Jawabannya selalu sama, ”Itu masih di depan, di Kampung Rawacina.”
Kondisi warga yang saya temui hampir sama. Berwajah kuyu dengan tatap mata yang lelah. Bangunan yang ada di sisi kiri-kanan mereka porak poranda, bahkan sebagian rata dengan tanah. Gempa sebesar M 5,6 yang terjadi beberapa hari sebelumnya melumpuhkan sebagian wilayah dan aktivitas warga di Kabupaten Cianjur.
Boleh dibilang, mereka kehilangan separuh hidupnya, mulai dari rumah, harta, hingga sanak saudara. Mereka juga tidak tahu mau makan apa esok dan seterusnya, karena sumber mata pencaharian yang terputus oleh bencana.
Kondisi para petugas dan relawan pun tidak jauh berbeda. Wajah lelah dengan tangan yang kotor oleh lumpur dan pasir. Debu menghiasi helm pelindung dan baret mereka. Keringat bercucuran dari dahi dan pelipis mereka yang mengangkuti sejumlah barang untuk dibagikan kepada pengungsi.
Baca juga: Demi Kesehatan Anak, Nekat Meliput Pernikahan Kaesang-Erina
Tak lama saya bersua dua orang petugas. ”Pak, di sini ada pencarian?”
Mereka pun menunjuk ke salah satu gang padat di sebelah kiri jalan. “Di sana ada satu anak dan satu dewasa yang belum ditemukan.” Akhirnya, sampai juga saya di Kampung Rawacina yang dimaksud.
Penemuan Azka
Belum sempat motor yang saya kemudikan menepi, teriakan dari arah gang memecah keheningan. Seorang korban yang kemudian saya ketahui bernama Azka, ditemukan tanpa luka berat. Dia tampak lemas saat petugas tergesa membopongnya.
“Langsung rumah sakit! Pakai motor saja!” teriak beberapa petugas. Dua orang petugas naik sebuah motor trail, salah satunya menggendong Azka. Mereka langsung melesat meninggalkan kami yang terpana karena semuanya berjalan cepat.
Ibu dari Azka, sudah lebih dulu ditemukan dalam kurun 24 jam setelah gempa. Dia tertimpa material dan terkubur tidak jauh dari titik ditemukannya Azka. Kondisinya meninggal dunia.
Karena itu, tidak ada yang menyangka Azka masih hidup. Bocah itu terperangkap di bawah reruntuhan selama lebih dari 40 jam. Semua orang mengucap syukur saat Azka ditemukan selamat.
Baca juga: Meliput Gempa Cianjur, Belajar Empati kepada Korban hingga Jenazah
Namun, euforia itu hanya sejenak. Petugas kembali mencari seorang korban lagi, yakni nenek Azka yang juga dilaporkan hilang dan diduga turut tertimbun reruntuhan.
Saya pun membuntuti petugas yang hendak mencari korban. Kami melintasi gang yang lebarnya kurang dari 2 meter. Rumah di kanan kiri gang, sebagian besar dalam kondisi tidak utuh lagi. Ada yang penuh retakan, bahkan ada yang hancur hampir seluruhnya.
Di salah satu reruntuhan rumah, belasan petugas dan relawan sibuk menggali dan memindahkan material. Guncangan gempa yang dahsyat membuat rumah tempat ditemukannya Azka ini porak poranda.
Menghargai hidup
Salah satu relawan tampak bersemangat menggali reruntuhan. Baju warna hijau yang dia kenakan kotor penuh debu. Kerutan menghiasi wajah dan kulitnya, tetapi lengannya masih tampak kokoh. “Dia yang pertama mengangkat Azka,” ujar petugas di sebelah saya.
Pria berbaju hijau yang dimaksud adalah Cucu Rusman. Usianya 60 tahun. Meski umurnya sudah lebih dari separuh abad, ia berani mengambil risiko dan meluangkan waktu untuk mencari para korban bencana. Rumahnya di Sumedang, berjarak sekitar 100 kilometer dari Cianjur.
Dengan suara bergetar, dia menceritakan detik-detik penemuan Azka. Awalnya, dia bersama para petugas mencium bau urin di tengah reruntuhan. Artinya, kemungkinan ada korban di sekitar situ.
Baca juga: Perih Saat Menjadi "Anak Buah Kapal" Dadakan
Setelah beberapa jam menggali material reruntuhan, terlihat sosok Azka dari celah reruntuhan. Lengan lemahnya menggapai tangan Cucu yang terulur hati-hati.
Koneksi kehidupan di tengah keputusasaan itu membuat tubuh Cucu merinding. Dia merasakan genggaman tangan Azka yang lemah namun penuh harap.
“Saat saya mengangkat tubuhnya, saya percaya hidup itu memang penuh anugerah sekaligus misteri. Ini yang membuat saya tetap menjadi relawan, karena kehidupan terasa berharga. Kita bisa belajar dari Azka,” ujar Cucu. Matanya tampak berkaca-kaca di balik raut wajah lelahnya.
Beberapa jam setelah Azka ditemukan, ganti sang nenek yang ditemukan petugas dalam kondisi meninggal dunia. Ia kemudian dievakuasi. Setelah itu, proses evakuasi dinyatakan selesai.
Dia merasakan genggaman tangan Azka yang lemah namun penuh harap.
Kehilangan
Perjuangan Azka kembali mengetuk sanubari saya saat mengunjunginya di rumah sakit tempat dia dirawat. Sehari setelah dia ditemukan, saya bersama sejumlah wartawan menengok kondisi Azka sambil mewawancarai keluarganya.
Sebelum kami tiba, rupanya sejumlah pejabat telah lebih dulu mengunjunginya. Bahkan pada Kamis (24/11) siang, Presiden Joko Widodo juga berkesempatan menemui Azka dan keluarganya. Pada saat itu, Presiden meminta petugas medis memberikan perawatan terbaik untuk bocah tersebut.
Baca juga: Fisik Bisa Sembuh Tapi Batin Belum Tentu Pulih
Sungguh sebuah keistimewaan, saat orang nomor satu negeri ini memberi perhatian secara langsung. Namun demikian, keceriaan belum juga hadir di wajah Azka yang terbaring lemah di atas ranjang perawatan.
Meskipun orang-orang penting di negeri ini menyapa dan mendoakan kesembuhannya, wajah Azka masih terlihat murung. Rupanya, dia gundah karena tak kunjung bertemu ibunya. Salah satu keluarga Azka bercerita, anak itu beberapa kali menanyakan keberadaan sang ibu.
“Pak Jokowi minta kepada perawat untuk pantau Azka. Kami senang beliau memperhatikan, tapi kami masih bingung, Azka terus mencari ibunya. Untuk saat ini sepertinya kami belum bisa bilang kalau ibunya telah tiada,” ujarnya.
Saya hanya bisa memandang Azka yang tengah terbaring sambil memainkan mobil-mobilan. Semangatnya terlihat redup, tak bergairah. ”Azka lekas sembuh ya,” kata saya sambil menyorongkan tepukan tos yang dibalasnya.
Dalam hati saya terbit rasa iba. Bagaimana nanti dia menghadapi hari-harinya tanpa seorang ibu yang teramat dia sayangi. Namun, dari Azka saya belajar, kehidupan tetaplah anugerah meskipun harus diwarnai babak kehilangan orang-orang terkasih yang merenggut kebahagiaan diri. Kehidupan semakin terasa sebagai anugerah kala hanya berjarak sejengkal dari kematian.