Kehangatan di Tengah Penyintas Erupsi Semeru
Bagi saya, apa yang ditawarkan Ripin ini sebuah kemewahan. Tidur dalam keadaan kenyang dan tidak kedinginan. Tak lama, saya pun jatuh tertidur dengan perasaan hangat di tengah malam yang dingin.
Untuk wartawan foto yang bertugas di wilayah Jawa Timur, Gunung Semeru adalah salah satu yang paling dipantau aktivitas vulkanologinya. Agak sulit menebak kapan gunung itu akan erupsi besar, seperti yang terjadi pada 5 Desember 2021.
Peristiwa tersebut merenggut puluhan korban jiwa dan membuat sejumlah desa terpaksa direlokasi. Hampir lima belas hari saya meliput bencana tersebut, terutama yang melanda wilayah Kabupaten Lumajang.
Setelah itu saya balik ke Surabaya selama beberapa hari. Sebelum kemudian pada akhir Desember saya kembali ke tempat pengungsian yang berlokasi di Lapangan Desa Penanggal, Kecamatan Candipuro, Lumajang, untuk melihat suasana malam pergantian tahun di sana.
Saat itu, saya juga menyempatkan diri mengunjungi lokasi calon hunian yang disiapkan untuk para penyintas. Di lahan seluas 81 hektar yang berada di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, itu akan dibangun 1.951 rumah. Kala itu, di atas lahan milik Perhutani tersebut masih ditumbuhi banyak pohon pinus. Sejumlah anggota TNI terlihat membersihkan lahan yang akan dijadikan tempat peletakan batu pertama.
Saat itu, saya belum bisa membayangkan akan seperti apa kawasan hunian itu nantinya. Sampai akhirnya saya melihat foto yang diambil oleh seorang rekan wartawan Kompas yang mengikuti kunjungan kerja Wakil Presiden untuk meninjau pembangunan lokasi hunian sementara.
Dalam foto yang kemudian diterbitkan di harian Kompas itu, terlihat ribuan rumah putih dengan luas 36 meter persegi yang dalam proses pengerjaan.
Dalam pikiran orang visual seperti saya, pemandangan deretan rumah yang telah selesai dibangun akan menjadi bahan foto yang sangat bagus. Di belakang kawasan hunian sementara juga dibangun lokasi hunian tetap bagi penyintas.
Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke sana. Setelah sekian bulan mengamati perkembangan di sana, pada Juli 2022 terdengar informasi bahwa proses pembangunan hunian tetap di Desa Sumbermujur telah selesai. Gelombang pertama penyintas pun mulai tinggal di sana.
Dengan memanfaatkan momentum peringatan Idul Adha, saya mengajukan rencana liputan kegiatan shalat Idul Adha dan pelaksanaan kurban di sana kepada editor. Tentu saja sekaligus untuk melihat kondisi terkini kompleks hunian tetap bagi para penyintas erupsi Semeru.
Saya tiba di lokasi setelah bersepeda motor selama enam jam dari Surabaya. Di sana, pemberhentian pertama adalah sebuah rumah hunian tetap yang bagian depannya dijadikan warung makan. Saat itu waktu telah menjelang sore. Saya pun memesan segelas teh hangat untuk mengusir dingin.
Dari pertemuan tersebut saya menyimpulkan, warga penyintas mulai beradaptasi dan mencari sumber penghidupan baru.
”Di sini lebih dingin dari rumah asal saya dulu karena lebih dekat dengan gunung dan bulan ini lagi dingin-dinginnya,” ujar seorang warga bernama Rafiq.
Lokasi hunian tetap lebih dekat dari puncak gunung dibandingkan permukiman warga sebelumnya, tetapi jauh dari jalur aliran lahar sehingga dianggap lebih aman.
Dari pertemuan tersebut saya menyimpulkan, warga penyintas mulai beradaptasi dan mencari sumber penghidupan baru. Di antara mereka ada yang membuka warung makan, menjual kebutuhan bahan pokok, atau berjualan pulsa.
Baca juga: Perih Saat Menjadi "Anak Buah Kapal" Dadakan
Karena masih sedikit yang tinggal di kawasan tersebut, saya agak kesulitan untuk menemui warga. Rumah yang telah dihuni tersebar di antara ribuan rumah kosong yang terbagi dalam banyak blok.
Padahal, saya masih butuh banyak informasi tentang kondisi terkini serta rencana penyelenggaraan shalat Idul Adha dan kurban. Saya putuskan untuk pergi mencari foto lainnya dulu di sekitar kawasan lalu akan kembali pada malam harinya. Rasanya akan lebih mudah untuk mencari rumah yang telah dihuni pada malam hari karena rumah yang berpenghuni akan ditandai dengan adanya nyala lampu.
Setelah selesai dengan urusan kirim foto ke Redaksi Kompas untuk hari itu, saya kembali ke kompleks hunian tetap. Benar saja, tampak nyala lampu di beberapa rumah. Saya bergegas menuju ke salah satunya.
Tak lama, saya sudah berkenalan dengan penghuni rumah itu, yakni keluarga Ripin. ”Mari Mas sini gabung, mengusir dingin,” ujar Ripin dengan ramah. Ia bersama beberapa tetangganya tengah dudukmelingkari api unggun yang dinyalakan di depan rumah.
Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan niat dan tujuan kedatangan. ”Nanti tidur di mana?” kata Ripin. Jujur saya agak bingung untuk menjawabnya karena belum menentukan akan bermalam di mana. ”Gampang Pak, saya bisa tidur di mana saja,” jawab saya.
Saya lalu memotret aktivitas mereka di sekitar api unggun. Saya sendiri beberapa kali menggigil karena dingin yang begitu menggigit.
Baca juga: Meliput Gempa Cianjur, Belajar Empati kepada Korban hingga Jenazah
Lama-kelamaan, api unggun meredup dan perlahan mati. Satu per satu warga pamit dan kembali ke rumah masing-masing. Tiba-tiba Ripin mengajak saya mampir ke rumahnya. Ajakan itu pun saya terima. ”Hitung-hitung menghangatkan badan,” pikir saya.
Di ruang tamu, Ripin bercerita masih trauma terhadap peristiwa erupsi yang terjadi 5 Desember 2021. Belum lagi setelah direlokasi, beban hidupnya bertambah.
Selain lahan pertaniannya sebagian besar rusak karena tertimbun material letusan, kini ia juga harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli bahan bakar sepeda motornya.
Lokasi hunian tetap ke kebun lebih jauh ketimbang dari rumahnya yang dulu. ”Dulu 1 liter cukup untuk lima hari. Kini karena letak hunian jauh, 1 liter habis dalam dua hari,” jelasnya.
Saat saya mencatat semua informasi, dari arah dapur terdengar suara istri Ripin, Riwayati, menyapa. ”Ayo Mas, makan dulu, seadanya.”
Ripin menarik tangan saya dan mengajak ke dapur. Sebenarnya saya sudah makan seporsi besar bakso sembari mengirim foto-foto ke kantor. Namun, rasanya pantang menolak tawaran untuk makan.
Bagi saya, ini bagian dari menghormati tuan rumah yang telah dengan tulus menawarkan kebaikannya. Saya lalu mengambil nasi, sejumput mi goreng, sepotong kecil rica-rica ayam, dan sebutir telur rebus.
Sambil menyantap makanan, cerita Ripin berlanjut tentang rencana shalat Idul Adha esok hari. Ternyata warga bersepakat akan shalat di masjid yang ada di Dusun Curah Kobokan, Desa Supit Urang. Saya agak kecewa mendengarnya karena dalam bayangan saya, shalat akan digelar di kompleks hunian tetap dengan latar belakang Gunung Semeru.
Tetapi mau bagaimana lagi. Sering kali harapan tak sesuai realitas. Kondisi yang ada pun harus dioptimalkan. Tak lama seusai bersantap dan menghabiskan teguk terakhir suguhan kopi, saya pun pamitan.
Baca juga: Demi Kesehatan Anak, Nekat Pergi Meliput Pernikahan Kaesang-Erina
”Lho, Mas mau ke mana? Saya sebenarnya mau menawari Mas tidur di sini, tetapi tidak enak karena hanya ada kasur bursa tipis di ruang tamu. Khawatir Mas tidak bisa tidur. Tapi jika Mas berkenan, silakan istirahat di sini, ” ujar Ripin.
Tawaran ini sebenarnya sudah saya tunggu-tunggu. Selain ingin mengalami langsung rasanya tinggal di rumah bantuan pemerintah seperti yang dirasakan penyintas, tidur di dalam rumah bagaimanapun lebih nyaman dibandingkan dengan ngemper di selasar warung atau teras rumah warga, seperti yang saya lakukan saat liputan akhir Desember lalu. Sebenarnya, ada jatah dana untuk menginap di hotel yang bisa diklaim ke kantor. Tetapi selain jarak hotel yang amat jauh dari hunian, saya juga berencana memotret kembali hunian pada pagi hari sehingga amat melelahkan jika harus bolak-balik dalam waktu yang sempit.
”Baik, Pak. Tidak apa-apa, ini juga sudah lebih dari cukup,” jawab saya.
Beban ekonomi yang dialami Ripin tak menghalanginya untuk berbuat baik kepada tamu yang baru saja ia kenal.
Setelah mempersilakan saya untuk beristirahat, Ripin keluar rumah. Tidak berapa lama, ia kembali sambil membawa kasur lipat lain. ”Ini saya ambilkan dari rumah saudara saya, lumayan untuk mengurangi dingin.”
Setelah menumpuk kasur yang baru ia bawa dengan kasur yang ada di ruang tamu, ia masuk ke kamar lalu keluar lagi dengan membawa empat helai selimut. Saya hitung-hitung ada tujuh selimut di atas kasur yang akan saya tiduri. ”Wah Pak, ini jadi merepotkan sekali,” ujar saya merasa tidak enak hati.
”Tidak merepotkan kok, Mas. Ini biasa saja,” katanya.
Bagi saya, apa yang ditawarkan Ripin ini sebuah kemewahan. Tidur dalam keadaan kenyang dan tidak kedinginan. Tak lama, saya pun jatuh tertidur dengan perasaan hangat di tengah malam yang dingin.
Beban ekonomi yang dialami Ripin tak menghalanginya untuk berbuat baik kepada tamu yang baru saja ia kenal. Pengalaman serupa pernah saya alami juga beberapa kali saat liputan. Rupanya, kebiasaan berbagi masih menjadi budaya yang tumbuh subur di kalangan masyarakat perdesaan, sesubur lahan pertanian di lereng Semeru.