Demi Kesehatan Anak, Nekat Pergi Meliput Pernikahan Kaesang-Erina
Ini bisa jadi dianggap aneh. Sakit malah nekat tetap bekerja, di luar kota pula. Bukan sekadar agar bisa tetap menunaikan tugas, melainkan juga agar anak di rumah tidak tertular sakit.
Kesehatan dan kondisi badan yang fit adalah modal utama untuk bekerja dan menjalani beragam aktivitas. Namun, ada kalanya meski kondisi tubuh kurang mendukung, pekerjaan tetap harus dilakukan demi alasan tertentu.
Hal itulah yang saya alami saat liputan rangkaian acara pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, dengan Erina Gudono di Yogyakarta di tengah kondisi flu berat dan batuk-batuk.
Karena wilayah tugas saya di Magelang, sedangkan saya harus berada di Yogyakarta sejak Kamis (8/12/2022) hingga Sabtu (10/12/2022) untuk meliput, kondisi begini masuk kategori dinas luar kota (DLK) di kantor saya.
Kegiatan yang harus saya pantau mencakup semua rangkaian acara, mulai dari pengajian, pemasangan bleketepe, siraman, midodareni di rumah Erina di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, hingga akad nikah di Pendopo Agung Royal Ambarrukmo di Jalan Laksda Adisucipto, Kabupaten Sleman.
Jauh-jauh hari saya sudah mempersiapkan segala kebutuhan liputan, seperti memesan kamar hotel di Yogyakarta. Namun, tiba-tiba datang kendala. Rabu (7/12/2022) malam, mendadak saya batuk-batuk tanpa henti.
Belakangan, memang cukup sering saya batuk-batuk semacam itu. Barangkali karena pengaruh cuaca yang kurang bersahabat, panas dan hujan berganti-ganti secara drastis. Alhasil, selama dua bulan terakhir sudah tiga kali saya berobat akibat batuk-batuk.
Ini adalah batuk-batuk yang keempat kali. Mengacu pengalaman sebelumnya, batuk akan cukup lama mendera sehingga saya putuskan untuk pergi ke IGD rumah sakit. Saya khawatir akan batuk semalaman seperti yang sudah-sudah dan berujung sulit tidur. Padahal, pagi harinya harus bertolak ke Yogyakarta.
Sampai IGD, saya batuk-batuk tanpa putus. Sempat dua kali minum air putih hangat sebelum akhirnya masuk ruang periksa. Usai diagnosa, dokter memberi saya obat suntik dan obat oral.
“Obat lewat suntikan akan bereaksi lebih cepat pada tubuh,” kata dokter.
Saya pun menurut. Berkat obat suntik dan obat oral yang saya konsumsi, saya bisa tidur pulas tanpa gangguan batuk.
Sebelum tidur, saya sempat menguatkan tekad. Apapun yang terjadi, saya tetap harus berangkat liputan. Sakit flu rasanya sulit dijadikan alasan untuk mundur dari tugas.
Selain itu, saya harus pergi demi “menyelamatkan” kesehatan kedua anak saya. Mereka rentan tertular karena agak sulit bagi saya untuk benar-benar memakai masker saat di rumah.
Pada dua kali sakit batuk sebelumnya, saya sempat menulari kedua anak saya. Mereka batuk-batuk tak henti sampai lemas. Anak sulung saya bahkan sempat tidak masuk sekolah karena kemudian demam.
Kondisi lebih parah dialami anak bungsu saya. Karena masih berusia 18 bulan, ia belum bisa mengungkapkan keluhan sakitnya. Yang jelas, ia sempat demam, muntah, dan mungkin sakit tenggorokan karena terlihat kesakitan saat menelan makanan.
Selama dua hari, dia kehilangan nafsu makan. Pernah pula, ia terduduk diam setelah capek batuk terus-menerus dan sulit tidur. Duh, sungguh tidak tega melihatnya.
Tentu saja tidak ada pilihan lain kecuali membawa mereka ke dokter. Meskipun saat itu, proses meminumkan obat untuk mereka dibayangi kekhawatiran ancaman kasus gagal ginjal yang sedang banyak dilaporkan. Syukurlah, akhirnya mereka semua berangsur pulih.
Bayangan mereka sakit itulah yang menjadi dorongan terbesar saya untuk tetap pergi liputan meski batuk-batuk. Saya berpikir, selama liputan saya bisa terus bermasker. Saat di hotel saya bisa bebas bernapas tanpa khawatir menulari anak.
Akhirnya pada Kamis (8/12/2022) pagi, setelah menyiapkan bekal sekolah untuk si sulung, saya menyetir sendiri ke Yogyakarta. Badan sebenarnya masih limbung dan agak pusing. Untuk mengimbanginya, saya menyetel musik keras-keras agar tetap terjaga dan fokus mengemudi.
Baca juga: Meliput Gempa Cianjur, Belajar Empati kepada Korban hingga Jenazah
Saya langsung mengarah ke hotel tempat menginap di Yogyakarta dan tiba di sana pukul 08.40. Saya berniat untuk istirahat sejenak karena jadwal acara pengajian di rumah Erina baru pukul 10.00.
Namun, tiba-tiba muncul kabar akan datang pejabat penting. Akhirnya, saya putuskan berangkat pukul 09.10. Karena tidak ingin kepala bertambah pusing dengan urusan mencari parkir kendaraan, saya memutuskan berangkat dengan ojek daring.
Tiba di lokasi, pejabat yang ditunggu tidak kunjung datang. Jalan di depan rumah yang menjadi lokasi pengajian, juga tertutup bagi wartawan. Namun, karena kadung sudah di sana, saya harus putar otak untuk memilih salah satu angle berita dan melaporkannya.
Jadilah berita tentang tes antigen dan PCR untuk tamu, kru wedding organizer, dan panitia yang terlibat. Ramainya wartawan dan keterbatasan tempat membuat saya tak mungkin membuka laptop untuk mengakses jaringan internal, sehingga saya meminta izin kepada editor untuk mengirim berita dan foto lewat Whatsapp.
Satu berita terkirim. Saya masih harus tetap menunggu hingga selesainya rangkaian acara di sore hari. Di sela-sela itu, saya makan obat sesuai pesan dokter. Tentu saja, tidak serta merta membuat saya langsung sehat dan trengginas.
Saya masih batuk-batuk yang berakibat pada terganggunya proses kerja, terutama saat wawancara. Beberapa teman sampai bertanya, apakah saya baik-baik saja. Mereka kemudian menyarankan saya untuk mengonsumsi sate kambing demi meningkatkan stamina.
Baca juga: Lidah yang Sulit Berbohong di Piala Dunia Qatar
Selesai acara, saya balik ke hotel tempat menginap dan melanjutkan menulis laporan. Saya kembali meminta izin kirim berita via Whatsapp karena tubuh terasa lungkrah. Dengan begitu, saya bisa mengetik sambil rebahan.
Stamina yang turun ditambah capek karena sepanjang hari liputan membuat kondisi tubuh semakin tak karuan. Badan saya mulai menggigil. Untunglah, akhirnya proses mengetik berita segera selesai.
Setelah itu saya langsung tertidur tanpa sempat bersalin pakaian. Pesanan sate kambing dan obat yang semestinya dikonsumsi, tidak tersentuh sama sekali.
Saya terbangun pukul 04.30 lalu makan sebisanya sebagai landasan untuk makan obat. Meski mulut terasa pahit, semua saya paksakan telan. Beberapa jam kemudian saya harus ikut rapat via zoom meeting lalu kembali berangkat liputan.
Hari itu, saya mendatangi gedung serba guna di dekat rumah Erina, tempat warga menonton jalannya rangkaian acara pernikahan Kaesang-Erina. Saya berniat membuat tulisan ficer tentang acara nonton bareng tersebut, serta 10 UMKM yang diberi kesempatan untuk berjualan di sana selama rangkaian acara ditayangkan.
Gedung serba guna tersebut berjarak 300 meter dari rumah Erina. Karena penjagaan yang ketat, tempat tersebut hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Sayangnya, setelah saya sambangi, gerai-gerai UMKM tersebut belum buka karena baru akan mulai berjualan pada sore harinya.
Baca juga: Perih Saat Menjadi "Anak Buah Kapal" Dadakan
Saya pulang ke hotel untuk mengetik laporan dari bahan yang diperoleh. Setelah itu, saya menyempatkan pindah hotel agar lebih dekat dengan tempat akad nikah yang akan digelar keesokan harinya, Sabtu (10/12/2022). Dengan badan masih kepayahan, saya menjalani semua aktivitas tersebut.
Jumat petang, saya kembali ke rumah Erina untuk meliput acara midodareni. Sebelumnya, saya mampir dulu ke gedung serba guna untuk mewawancarai sejumlah pelaku UMKM yang berjualan.
Saat hendak menuju rumah Erina, ternyata akses jalan ditutup karena rombongan keluarga Presiden akan segera tiba. Saya hanya bisa sampai warung bakso, posisi terdekat dari rumah Erina.
Selama perjalanan, saya sempat berpapasan dengan beberapa warga. Mereka menyapa dan sempat mengomentari cara jalan saya yang kepayahan. Mereka juga bertanya apakah saya sakit atau capek. Sebagian di antaranya lalu menawari saya untuk duduk dan minum.
Saya memutuskan tetap berjalan dan baru duduk saat sampai di warung bakso. Karena tidak bisa melanjutkan perjalanan, saya manfaatkan untuk menyempatkan makan. Namun, hanya dua butir bakso saja yang berhasil masuk perut karena lidah betul-betul terasa pahit dan tenggorokan sulit menelan.
Setelah itu, saya mengetik berita lalu pulang ke hotel usai rombongan Presiden Jokowi meninggalkan lokasi. Sampai di hotel, terasa betul saya kehabisan energi. Saya hanya sanggup melepas sepatu, lalu beranjak ke tempat tidur tanpa sempat berganti pakaian.
Hari berganti Sabtu (10/12/2022). Saya berusaha memupuk semangat karena hari itu hari terakhir di Yogyakarta. Saya liputan hingga acara akad dan panggih selesai pukul 18.00. Selama acara saya berusaha membangun kekuatan tubuh dengan mengonsumsi makanan apapun yang terhidang. Ketika itu, mulut saya sudah tidak terlalu berasa pahit.
Sungguh lega ketika akhirnya semua rangkaian acara telah selesai. Sabtu malam, saya menyetir mobil sendirian pulang ke rumah di Magelang.
Baca juga: Di Borobudur, Aku Tumbang sebelum Berperang
Hingga tulisan ini diketik pada pertengahan Desember lalu, saya masih batuk tetapi sudah lebih mendingan. Namun, saya bersyukur karena merasa "misi" saya berhasil. Setelah saya pulang ke rumah, anak-anak tidak memperlihatkan gejala penyakit yang sama. Hanya si bungsu saja yang sesekali batuk.
Saya pun lega karena tugas terselesaikan dan anak-anak tetap sehat. Ada banyak alasan untuk melakukan sesuatu. Seperti saat itu, saya bekerja bukan semata-mata untuk mendapatkan berita, tetapi juga untuk menimalisir risiko penularan penyakit pada anak.