Dicurigai sebagai Agen Pemasaran Susu Formula
Kami pun kena getahnya ketika harus mewawancarai kalangan ”garis keras” ini. ”Maaf saya tanya ya, mengapa pakai password sufor? Kami sensitif soal itu,” kata dr Agus. Hal serupa dikatakan dokter dan bidan lainnya.
Berkenalan dengan orang-orang yang mendukung program air susu ibu (ASI) menyisakan kesan tersendiri. Mereka begitu gigih memperjuangkan agar seorang ibu bisa memberikan ASI kepada bayinya. Karenanya, setiap ada hal-hal yang menghambat program pemberian ASI, mereka akan bereaksi.
Kami pun kena getahnya ketika suatu kali harus mewawancarai kalangan ”garis keras” ini. Narasumber dari Ikatan Konselor Laktasi Klaten (I-Klan), Jawa Tengah, mencurigai kami membawa misi tertentu saat wawancara via Zoom dengan mereka, Kamis (18/8/2022).
Saat memulai obrolan, Ketua I-Klan dr Agus Widianto menanyakan mengapa kata kunci (password) pertemuan menggunakan kata ”sufor.” Sufor adalah akronim dari susu formula.
”Maaf saya tanya, ya, Pak, mengapa pakai password sufor? Kami sensitif soal itu,” kata Agus.
Hal serupa diungkapkan peserta pertemuan daring lainnya, yakni para bidan dan dokter pengurus Iklan. Bertahun-tahun mereka menjaga diri agar tidak tergoda memberikan susu formula pada bayi, terutama usia 0-6 bulan.
Kini mereka dihadapkan dengan pertemuan virtual yang menggunakan kata kunci sufor. ”Gini ya, bisa nggak kami minta surat resmi permohonan wawancara. Untuk dokumentasi kami,” kata Agus.
Rupanya kami sempat dicurigai sebagai agen penjualan susu formula. Kami pun menyanggupi permintaan surat permohonan demi memperoleh bahan informasi yang dibutuhkan. Meskipun sebenarnya dalam tugas sehari-hari, kami cukup memperlihatkan kartu pers.
Kami kemudian pergi ke Klaten, Kamis (1/9/2022), untuk mendalami informasi di lapangan. Di sana, kami melihat dari dekat komitmen mereka terhadap kelancaran ASI oleh ibu yang baru melahirkan.
Di garis depan
Hari-hari pertama di kota itu kami berhadapan dengan kenyataan kerasnya penolakan susu formula untuk bayi 0-6 bulan. Menariknya, di Klaten pula beroperasi pabrik susu terkenal yang di kalangan orangtua disebut ”sumer” atau susu merah.
Meski di daerahnya terdapat pabrik besar susu formula, Kabupaten Klaten memiliki Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang ASI. Memang perda serupa juga ada di sejumlah daerah lain di Indonesia. Bedanya, di Klaten, perda ini mendapat dukungan penuh dari berbagai pihak, termasuk organisasi profesi di bidang kesehatan.
Di Klaten, komitmen pemerintah setempat pada program ASI didukung oleh kesadaran dan kekompakan tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi.
Baca juga: Melawan Promosi demi Menyelamatkan ASI
Misalnya, bidan yang ingin memperpanjang surat izin praktik bidan (SIPB) harus mengikuti garis organisasi profesi, di antaranya promosi ASI dan inisiasi menyusu dini. Jika tidak patuh, mereka tak bisa memperpanjang SIPB.
Di Klaten, kami bertemu pengurus I-Klan, Bidan Sri Budiati yang berusia lebih dari setengah abad. Ibu ini sangat energik dan semangat menjelaskan informasi seputar laktasi. Budi kemudian memandu kami ke dua lokasi di Kecamatan Wedi.
Dia naik sepeda motor, sedangkan kami menggunakan mobil sewaan. Baru melewati dua tikungan, Budi sudah tak terlihat lagi. Beruntung salah satu anggota tim berboncengan dengan Budi. Jadi, dia bisa membagikan lokasi terkininya. Kami pun bisa menyusul.
Di jalan, berkali-kali kami menemukan poster berisi penolakan terhadap susu formula. Salah satunya poster bertuliskan, ”Tidak Menerima Promosi Susu Formula Apa Pun.” Di sekitar poster terpampang informasi tentang laktasi yang ditujukan untuk masyarakat umum.
Baca juga: 40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (1): Memahami Risiko
Terpaksa beli susu
Berbeda dengan Klaten, di daerah Medan dan sekitarnya, justru kami menemukan kenyataan banyaknya orangtua yang dengan mudah memberikan susu formula pada anaknya.
Selain karena pengetahuan yang minim, mereka juga terpengaruh oleh anjuran orang-orang sekitarnya untuk menggunakan susu formula. Mereka pun terpaksa membeli susu karena telanjur selalu memberi susu formula untuk anaknya.
Kondisi ini terjadi saat pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Spontan, kami teringat penggalan lirik lagu berjudul ”Galang Rambu Anarki” ciptaan Iwan Fals yang dirilis tahun 1982. //BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi.//
Baca juga: Susu Formula Diberi Tanpa Indikasi Medis
Untuk konteks liputan ini, lirik tersebut lebih tepat jadi begini frasanya, ”BBM naik tinggi, susu terpaksa beli.” Bukan karena benar-benar ingin membeli susu, melainkan terpaksa karena ketidaktahuan atau bahkan diperdaya oleh orang-orang sekitarnya.
Mewawancarai ibu-ibu yang memberikan susu formula sebenarnya gampang-gampang susah. Beruntung kami bisa bertemu orang-orang yang memberi informasi tentang keberadaan ibu-ibu tersebut. Selain sudah menyiapkan narasumber sasaran dari Jakarta, kami juga menambah jumlah narasumber dengan cara bertanya kepada siapa saja yang kami temui.
Saat berada di Kota Medan, Sumatera Utara, pada awal September lalu, sopir mobil sewaan kami mendengar obrolan tentang liputan ini. ”Saya punya kenalan sepupu yang baru melahirkan bulan lalu. Ia menggunakan susu formula untuk bayinya,” ujar pria asal Aceh yang ingin namanya dirahasiakan itu secara spontan.
Kami lantas menemui keponakan bapak sopir tadi, yaitu pasangan suami istri AZ (39) dan QR (21) yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (31/8/2022).
Baca juga: 40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (2): Membujuk Tentara agar Boleh Menerbangkan Drone
QR terpaksa memberikan susu formula ke buah hatinya karena air susunya tidak keluar lagi. Padahal, saat dirawat di rumah sakit, ASI-nya lancar. ”Ketika itu ASI saya keluar. Namun, saya hanya boleh menyusui bayi saya sekali saja dalam sehari. Ketika pulang ke rumah, ASI saya tidak mau keluar lagi,” ucapnya.
QR mengungkapkan, ia tidak menerima informasi yang cukup agar dapat menyusui dengan lancar. Misalnya, semakin sering seorang ibu menyusui akan semakin lancar produksi ASI-nya.
Yang terjadi, saat konsultasi ke bidan terdekat sebelum melahirkan, ia malah disarankan untuk membeli botol dan susu formula. ”Saya heran ketika itu. Mengapa tidak ada yang menyarankan saya untuk menyusui langsung?” ucapnya.
Baca juga: Dokter dan Bidan Terlibat Pemasaran Susu Formula
Kami merasa prihatin melihat QR. Dengan kondisi keluarga yang pas-pasan, ia harus membelanjakan uang cukup besar untuk membeli susu formula yang entah akan berlangsung sampai kapan.
Kebutuhan itu lumayan menguras keuangan keluarga karena penghasilan suaminya hanya Rp 3 juta per bulan. Ia khawatir, biaya membeli susu formula akan semakin membengkak seiring pertambahan usia sang bayi.
”Setiap bulan, saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 300.000 untuk membeli susu. Saya hanya bekerja sebagai satpam di salah satu bank daerah dengan gaji pas-pasan,” kata AZ.
Berbekal informasi dari QR, kami menuju RSU Bandung di Medan untuk menelusuri proses persalinan di sana. Kami menyamar sebagai calon pasien yang sedang survei ruangan rumah sakit karena ada saudara yang hendak melahirkan.
Baca juga: Dicegat "Penjaga Lubang" di Maybrat
Penyamaran kami berjalan mulus dan malah diajak berkeliling RS oleh perawat di sana. Kami menemukan fakta bahwa ruangan bayi ada di lantai satu, sedangkan ruangan ibu melahirkan ada di lantai tiga. Tentunya hal ini sangat merepotkan bagi ibu-ibu yang baru melahirkan jika ingin bertemu dengan bayinya.
”Kalau di sini memang bayi dipisah dengan sang ibu setelah melahirkan. Kalau ibunya mau menyusui, ia harus menghampiri ruang bayi dan hanya boleh sekali dalam sehari,” ujar perawat tersebut.
Hal serupa terjadi di sejumlah rumah sakit lain di Medan, salah satunya RS Imelda. Kami melakukan penyamaran serupa sebelum kemudian memperkenalkan diri sebagai jurnalis harian Kompas.
Tanpa pengetahuan yang cukup dari orangtua, mereka bakal menjadi sasaran pasar produk tersebut. Anak pun semakin tak mendapatkan air susu ibu yang menjadi haknya.
Selain memisahkan ruangan ibu dan bayi, rumah sakit ini juga menjual produk susu formula di koperasi rumah sakit. Pembelian susu formula tidak menyaratkan apa pun, termasuk harus membawa resep atau memo dokter karena pertimbangan medis.
Dari sini kami paham, susu formula untuk bayi 0-6 bulan sudah ditawarkan sejak hari-hari pertama persalinan. Tanpa pengetahuan yang cukup dari orangtua, mereka bakal menjadi sasaran pasar produk tersebut. Anak pun semakin tak mendapatkan air susu ibu yang menjadi haknya.