40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (2): Membujuk Tentara agar Boleh Menerbangkan ”Drone”
Selepas diberi sambal dan mi instan, milisi itu bercerita berbagai hal, mulai dari cara mendapat senjata, perjalanan dari negara asal, hingga aktivitasnya di garis depan. Ia juga bercerita sudah dua pekan tidak mandi.
Meliput di tengah kecamuk perang Ukraina-Rusia tentu tidak bisa disamakan dengan situasi normal. Selain risiko terkena ledakan bom ataupun rudal, situasi perang juga membatasi gerak jurnalis dalam meliput atau berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain.
Jurnalis yang datang meliput ke Ukraina harus memiliki akreditasi dari pihak militer dan Kementerian Pertahanan Ukraina. Akreditasi ini menjadi semacam pengganti kartu pers dan penanda bahwa pihak militer telah mengizinkan jurnalis memasuki wilayah Ukraina. Akreditasi juga menjadi syarat penerbitan visa Ukraina.
Jurnalis yang bertugas meliput perang ke Ukraina juga perlu membekali diri dengan rompi dan helm antipeluru. Selain demi keamanan, rompi dan helm antipeluru mempertegas identitas jurnalis saat berada di lokasi perang.
Meskipun sudah mengantongi akreditasi dan melengkapi diri dengan peralatan perlindungan, jurnalis tetap tidak bisa sembarangan meliput ke wilayah yang dinilai rawan atau mengeluarkan alat liputan yang dinilai oleh militer dapat berdampak fatal.
Baca juga : 40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia (1): Menghitung Risiko
Fasilitas militer
Seorang jurnalis dokumenter dari Amerika Serikat sempat dihadang oleh seorang tentara Ukraina karena sedang menggenggam kamera ketika melintasi gedung militer di kota Kyiv.
”Apakah kamera Anda menyala?” tanya seorang tentara sambil menghentikan langkah kami yang tengah jalan bersama. ”Tidak, kamera ini mati,” jawab jurnalis tersebut. Kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.
Baik jurnalis maupun warga dilarang mengambil foto atau video fasilitas militer apa pun di Ukraina. Menurut para petinggi militer Ukraina, ini demi keamanan dan keselamatan bersama. Jika pihak lawan sampai melihat foto atau video tersebut, dikhawatirkan fasilitas militer itu akan menjadi sasaran rudal Ukraina.
Selain tidak boleh mendokumentasikan fasilitas militer, salah satu kegiatan liputan yang paling sulit mendapatkan izin adalah menerbangkan drone, meskipun hal itu untuk kepentingan jurnalistik. Banyak tentara, milisi, ataupun warga sipil sangat sensitif dengan keberadaan drone karena pesawat nirawak itu banyak dimanfaatkan pihak militer lawan untuk pengintaian.
Baca juga : Menghitung Risiko Liputan Perang Ukraina-Rusia
Kami membawa drone DJI Mavic seukuran tempat pensil yang dapat digunakan untuk mengambil visual dari udara, baik dalam bentuk foto maupun video. Di Ukraina, jika kami memaksakan diri menerbangkan drone tanpa seizin pihak militer atau otoritas setempat, maka drone kami akan ditembak karena dianggapmilik musuh.
Saat berada di Irpin, kota kecil yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Kyiv, kami berencana menerbangkan drone untuk mendokumentasikan kehancuran permukiman dan gedung apartemen di sana. Namun, pengelola apartemen dan pasukan keamanan teritorial melarang kami. Irpin pernah diserang pasukan Rusia pada masa awal perang.
Kami lalu berpindah ke sebuah lahan parkir luas yang penuh dengan bangkai mobil yang hancur akibat serangan Rusia. Lagi-lagi kami batal menerbangkan drone karena dilarang oleh pasukan keamanan teritorial. Tak lama, dua tentara datang.
Kami mencoba berbincang dengan mereka. Kedua tentara itu juga menyarankan agar kami tidak menerbangkan drone karena khawatir akan dianggap drone pengintai. Saran mereka kami ikuti.
Baca juga : Menembus Jantung Perang Eropa
Namun, kami tetap lanjut berbincang sambil secara halus berusaha membujuk mereka untuk membantu kami. Kami tawarkan cokelat dan rokok buatan Indonesia. Mereka dengan senang hati menerima. Tak lama berselang, salah seorang tentara mengajak kami meninggalkan lokasi itu dan mengikuti mereka.
Kami beringsut masuk mobil dan segera mengikuti mobil mereka yang bergerak menuju tengah kota. Ternyata, kedua tentara tersebut masuk ke kompleks Balai Kota Irpin. Setelah melihat kami selesai memarkir mobil, salah seorang tentara beranjak masuk ke dalam gedung balai kota.
Sekembalinya, ia lalu meminta salah seorang dari kami ikut masuk ke gedung untuk mengisi data diri dan formulir pengajuan izin menerbangkan drone di Irpin, termasuk waktu detail kapan drone akan diterbangkan. Setelah pengajuan izin tersebut, esoknya kami kembali lagi ke Irpin demi menerbangkan drone dan memotret kehancuran kota Irpin.
Baca juga : Dicegat ”Penjaga Lubang” di Maybrat
Selain bersikap ramah, ”kunci” yang perlu disiapkan saat berbincang dengan tentara atau milisi Ukraina adalah menawarkan rokok khas Indonesia serta kudapan dan minuman ringan.
Salah seorang tentara sampai keheranan waktu kami memberikan sekantong besar berisi kudapan dan minuman. Menurut mereka, amat jarang ada jurnalis yang membawa buah tangan untuk mereka.
Ada pula seorang milisi asing dari salah satu negara di Eropa Barat yang kami temui di Kharkiv. Kami mendekatinya untuk keperluan wawancara. Sembari berbincang, kami tawarkan rokok, minuman ringan, serta mi instan.
Selepas semua pemberian itu, ia bercerita berbagai hal, mulai dari cara mendapat senjata, perjalanan dari negara asalnya sampai ke Kharkiv, hingga aktivitasnya di garis depan. Ia juga bercerita sudah dua pekan tidak mandi.
Setelah itu, dia bercerita berbagai hal, termasuk pengalamannya sesekali mengonsumsi masakan Indonesia di negara asalnya. Ia bilang suatu saat ingin ke Indonesia dan makan masakan di lokasi aslinya.
Mendengar itu, kami lalu memberinya lagi beberapa bungkus mi instan dan beberapa botol sambal. Semua itu kami bawa dari Tanah Air sebagai persiapan jika susah mencari makanan di Ukraina. Selain itu, seperti jutaan orang Indonesia lainnya, tidak mudah bagi kami untuk makan tanpa sambal.
Milisi itu terkejut saat kami memberinya begitu banyak sambal dan mi instan. Di negara asalnya, semua itu barang mahal. ”Kalian yakin tidak apa-apa memberikan ini?” kata milisi itu.
Selain sambal dan mi instan, kami juga memberinya minuman dan sejumlah kudapan. Selepas semua pemberian itu, ia bercerita berbagai hal, mulai dari cara mendapat senjata, perjalanan dari negara asalnya sampai ke Kharkiv, hingga aktivitasnya di garis depan. Ia juga bercerita sudah dua pekan tidak mandi.
Baca juga : ”Ndeprok” di Edinburgh II demi Ratu Elizabeth II
Kegiatan liputan lain yang sulit untuk mendapatkan izin adalah menembus garis depan pertahanan Ukraina yang umumnya berada di wilayah timur atau selatan negara itu.
Saat kami berada di Kharkiv, misalnya, untuk mendatangi lokasi tentara, kami harus melewati sejumlah pos militer yang memeriksa setiap mobil yang lewat. Meskipun memiliki akreditasi, kami tetap tidak diizinkan melintas jika tidak didampingi petugas bagian komunikasi dari otoritas militer setempat.
Kharkiv adalah salah satu provinsi di Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia. Jaraknya sekitar 500 kilometer dari Kyiv, ibu kota Ukraina.
Ledakan
Ketika meliput perang di Ukraina, pemandangan bangunan yang hancur akibat hantaman ledakan rudal ataupun artileri menjadi menu harian, terutama saat berada di Kharkiv.
Kami tiba di Kharkiv pada awal Juli 2022, saat pertempuran belum menampakkan tanda-tanda akan reda. Berbeda dengan Kyiv, aktivitas di Kharkiv lebih cepat berhenti karena penerapan jam malam mulai dari pukul 18.00 hingga pagi hari.
Pernah kami belum sempat makan, sementara semua kedai sudah tutup karena waktu telah melewati pukul 18.00. Akhirnya, kami makan di kedai penginapan berupa kaldu ayam dingin dan sebutir telur rebus serta dua lembar roti sebagai pengganjal perut.
Baca juga : Video Wajah Borodyanka yang Merana Tergempur
Saat pertama kali tiba di penginapan, pegawai penginapan langsung menunjukkan ruang bawah tanah yang dapat dijadikan ruang perlindungan jika sewaktu-waktu ada serangan rudal. Ia juga menekankan untuk menghindari jendela selepas pukul 21.00. Ia hanya menyebut ada potensi bahaya.
Mencari penginapan di Kharkiv memang tidak mudah. Pertimbangan utama dalam memilih penginapan adalah keberadaan bangunan yang mungkin dijadikan lokasi penempatan pasukan atau obyek militer Ukraina.
Dari tempat kami menginap, lokasi sasaran rudal terdekat berjarak kurang dari 1 kilometer, yakni sebuah kantor milik perusahaan daerah air minum (PDAM) Kharkiv.
Suara ledakan mirip letusan ban truk terdengar dari dekat, hanya jauh lebih dahsyat. Telinga sampai berdenging, lalu terasa seperti tuli sesaat. Jendela penginapan ikut bergetar dibuatnya. Padahal, letak jendela di antara tembok penginapan. Meski sudah berhari-hari mendengarnya, kami masih saja terlonjak jika mendengar ledakan.
Selama sepekan di Kharkiv, kami menyaksikan sekolah, kampus, kantor PDAM, hingga kantor pemerintahan menjadi sasaran pengeboman. Sejumlah gedung yang terkena ledakan diduga berada di dekat obyek militer. Kendati demikian, banyak warga sipil turut menjadi korban.
Selama sepekan di Kharkiv, kami menyaksikan sekolah, kampus, kantor PDAM, hingga kantor pemerintahan jadi sasaran pengeboman.
Suara ledakan juga terus terdengar saat kami mewawancarai milisi dan pasukan Ukraina. Bahkan, rentang waktu antar-ledakan semakin pendek. Tidak heran, karena wawancara dilakukan di dekat garis depan.
Dalam salah satu wawancara, kami harus masuk ke lubang perlindungan. Sebenarnya kami tidak suka karena lubang tidak dilengkapi lampu. Sangat sulit untuk merekam video dan foto dalam kondisi demikian. Kendati begitu, tentara yang kami wawancarai menekankan bahwa lokasi itu paling aman. Lubang perlindungan bisa menahan dampak ledakan.
Kami berkali-kali menyaksikan dampak ledakan. Di pinggiran kota Kharkiv, ada rumah yang plafon, jendela, dan tentu saja sebagian temboknya hancur terkena angin ledakan setelah rudal meledak di halaman rumah itu.
Seorang tentara mengaku pernah terlempar oleh angin ledakan. Padahal, ia berjarak 20 meter dari lubang ledakan.
Walau tidak kami sukai, berbincang di dalam lubang memang pilihan paling tepat. Beberapa menit setelah wawancara dimulai, terdengar rentetan ledakan.
Prajurit muda yang kami wawancarai mengatakan, dari suaranya, lokasi ledakan itu berjarak tidak sampai 1 kilometer. Di luar lubang perlindungan, suara ledakan terdengar sangat keras dan bisa membuat telinga berdenging.
Selain soal perang, prajurit yang kami wawancarai juga bercerita soal keinginan, keluarga, hingga menu makanan selama berada di garis depan. Ia menjadi begitu terbuka karena mengetahui kami telah melewati proses pemeriksaan oleh kantor komunikasi militer Ukraina yang memastikan kami tidak akan memasok informasi untuk pihak lawan.
Nantikan artikel selanjutnya, ”40 Hari Meliput Perang Ukraina-Rusia: Mengejar Presiden Jokowi di Kyiv”