Menyamar demi Bertemu Anak-anak Rimba yang Kesakitan
Warga komunitas adat Orang Rimba dilanda wabah penyakit. Sang pemimpin meminta bantuan, tetapi kami kesulitan ke sana karena terhalang lokasi tambang yang dipalang. Untuk menembusnya, kami menyamar sebagai warga dusun.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Pesan singkat dari seorang kawan bikin saya gelisah seharian. Isinya, mengabarkan Tumenggung Ngelembo yang meminta bantuan. Ngelembo adalah salah seorang pemimpin kelompok komunitas adat Orang Rimba.
Menurut Ngelembo, banyak warganya tengah dilanda wabah penyakit kulit yang merebak tak lama setelah beroperasinya aktivitas tambang batubara. Ada lebih dari lima perusahaan tambang batubara yang tengah gencar-gencarnya mengeruk Bumi di wilayah itu. Apakah aktivitas tersebut berhubungan langsung dengan merebaknya penyakit kulit, memang masih perlu diuji lebih lanjut.
”Kayaknya, kita harus cepat ke sana deh, kak,” kata teman saya, Oktober 2021.
Untuk menuju lokasi tinggal komunitas itu, tidaklah mudah karena sepanjang jalur menuju wilayah tambang sudah dipalang oleh pihak perusahaan. Padahal, kelompok Orang Rimba yang tengah dilanda penyakit itu tinggalnya jauh di dalam wilayah tambang.
”Orang luar yang tidak dikenal, tidak bisa masuk,” katanya lagi.
Wah, gawat. Meski begitu, kami bertekad untuk tetap masuk. Kami pun memikirkan berbagai cara. Akhirnya, kami memilih untuk menyamar seperti layaknya orang dusun. Sehari sebelumnya, kami informasikan rencana kedatangan kepada Ngelembo. Ia pun setuju.
Pagi berikutnya, kami meluncur dari Kota Jambi menuju Kecamatan Kotoboyo di Kabupaten Batanghari yang berjarak sekitar 130 kilometer. Kendaraan kami parkir di halaman sebuah masjid. Tak lama, Ngelembo dan anaknya menjemput dengan sepeda motor. Kami pun meluncur menuju lokasi.
Kami melintasi desa-desa yang pemandangannya tampak gersang. Debu tanah dan batubara beterbangan di udara. Bikin sakit tenggorokan dan perih di mata.
Setelah melewati desa-desa itu, masuklah kami ke wilayah sekitar kawasan tambang. Di sejumlah titik tampak palang-palang yang menghadang para pelintas. Masih ditambah petugas yang memasang mata untuk berjaga.
Untunglah, Ngelembo cukup hapal dengan wilayah itu. Beberapa kali, ia mengarahkan motor dan masuk ke ”jalur tikus” yang dinilainya lebih aman. Singkat kata, akhirnya kami berhasil juga menembus pelbagai titik rawan tadi dan tiba di hunian kelompok adat.
Kehadiran kami langsung disambut suara tangisan anak-anak. Salah seorang di antaranya bayi yang masih berusia kira-kira 1 tahun. Ibunya tampak kepayahan menenangkan.
Berbagai upaya untuk menghibur si bayi tak mempan. Rupanya, ia terlampau menderita, tak mampu menahan rasa gatal dan perih yang terasa di sekujur kulitnya.
Kondisi serupa dialami anak-anak lain di sana. Namun, yang paling parah kondisinya memang si bayi tersebut.
Berbagai upaya untuk menghibur si bayi tak mempan. Rupanya, ia terlampau menderita, tak mampu menahan rasa gatal dan perih yang terasa di sekujur kulitnya.
Di tempat itu nyaris tak ada tempat untuk berlindung dari paparan debu batubara. Pondok-pondok sederhana yang digunakan untuk tempat tinggal warga komunitas adat hanya bernaungkan terpal. Letaknya persis di pinggir jalan yang menjadi pelintasan angkutan batubara.
Saban waktu, truk-truk pembawa hasil tambang melintasi jalur itu. Bagian atasnya tanpa penutup sehingga partikel batubara pun dengan mudah beterbangan di udara.
Setelah cukup menggali informasi dan melihat situasi, kami sempatkan mengecek kondisi sungai terdekat. Sungai yang menjadi satu-satunya sumber air bagi Orang Rimba di sana rupanya telah tercemar. Airnya keruh. Aliran airnya bahkan terpotong oleh jalan yang dibangun untuk angkutan batubara.
Setibanya di Jambi, pikiran masih melayang-layang pada anak-anak yang menangis karena penyakit kulitnya. Betapa mengerikannya situasi yang mereka hadapi.
Keesokan paginya, saya menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari, dr Elfie Yennie. Saya ceritakan seluruh kondisi yang dialami komunitas adat itu. Lega rasanya Bu Dokter merespons dengan positif.
Selang beberapa waktu kemudian, Elfie mengabari saya lewat telepon. Timnya telah mengecek langsung anak-anak yang sakit dan memberikan pengobatan.
Untuk memastikan kebenarannya, saya menghubungi seorang kawan yang tinggal di kabupaten itu. Saya minta tolong agar ia menyempatkan mengecek. Rupanya benar, anak-anak telah diobati. ”Memang, sudah sempat ditengok dan diobati,” kata kawan tersebut.
Tak lama setelahnya, saya pun memperoleh informasi bahwa Badan Reserse Kriminal Polri menyegel 45 alat berat di lokasi tambang yang mengepung hunian Orang Rimba. Pemerintah Kabupaten Batanghari juga menegur perusahaan-perusahaan terkait karena belum memiliki legalitas izin lokasi dan izin lingkungan.
Lega rasanya. Untuk sementara, terlihat titik terang penanganan. Semoga persoalan ini benar-benar ditangani serius oleh aparat hukum dan pemangku kebijakan terkait. Orang Rimba pun dapat hidup lebih tenang.