Mengabadikan Kisah Perempuan lewat Pameran
Bisa melakukan pameran foto adalah hal yang membahagiakan untuk saya yang bukan siapa-siapa. Namun, saya lebih bahagia karena kiprah para perempuan yang saya foto itu jadi terdokumentasikan.
Bekerja sebagai wartawan membuat saya akrab dengan fotografi. Sebab, selain menulis, saya juga memiliki tanggung jawab memotret momen-momen yang nantinya akan mendampingi tulisan saya. Akan tetapi, meski setiap hari memotret, tidak pernah terlintas sedikit pun di benak suatu saat akan memamerkan foto-foto hasil jepretan saya di kemudian hari.
Hingga akhirnya menginjak awal Juni 2022. Sebanyak 20 foto ditampilkan dalam pameran foto bertajuk ”Kiprah Perempuan Pesisir” di Spasi Creative Space, Kota Tegal, Jawa Tengah, selama 4-18 Juni. Kebetulan, seluruhnya merupakan jepretan tangan saya. Foto-foto itu menggambarkan potongan kisah hidup lima perempuan pesisir.
Cerita di balik terselenggaranya pameran ”nekat” itu bermula ketika saya dan teman-teman sedang menongkrong di sebuah warung kopi di pinggiran Kota Tegal, pada suatu malam di pengujung 2021.
Kegiatan itu rutin saya lakukan untuk mengusir sepi yang kerap kali melanda. Maklum, sebagai perantau, saya tidak punya banyak tempat untuk berkeluh kesah dan berbagi keresahan tentang banyak hal.
Kala itu, sudah sekitar tiga tahun saya ditugaskan sebagai wartawan Kompas yang meliput di wilayah pantai utara bagian barat Jateng. Namun, saya merasa belum bikin apa-apa. Salah satu teman menyarankan agar saya membuat sesuatu yang saya sukai. Alasannya, supaya saya bisa mengerjakannya dengan gembira. Saran itu terus saya pikirkan.
Saya senang menulis. Akan tetapi, memotret juga tak kalah menyenangkan bagi saya. Kalau pikiran sedang buntu, bingung harus menulis apa, saya mencuri-curi waktu untuk pergi memotret. Apa saja saya potret. Saking merilekskannya kegiatan itu, tak jarang, ide menulis timbul saat saya sedang memotret atau saat berjalan menuju tempat memotret.
Baca Juga: Menjadi Korban ”Semarang Laute Banjir”
Bagi saya memotret juga bagian dari belajar melatih kepekaan saat melihat hal-hal yang ada di sekitar saya. Indera penglihatan yang tajam sangat penting untuk menambah kekuatan deskripsi dalam tulisan.
Saat tengah menulis berita, tiba-tiba saya mendapat ilham untuk membuat karya berupa foto berseri. Alternatif tema yang kala itu muncul adalah tentang perempuan. Perempuan pesisir lebih tepatnya.
Seusai merampungkan tulisan, saya mencoba mengingat-ingat siapa saja perempuan pesisir yang menurut saya menarik untuk didokumentasikan kisahnya. Akhirnya dapatlah dua sosok, yakni Mbah Jaonah dan Riani. Mbah Jaonah adalah pembatik tertua di Kota Tegal dan Riani adalah pemulung yang sudi menyulap rumahnya menjadi taman bacaan.
Seperti biasa, akhir pekan berikutnya saya kembali nongkrong dengan teman-teman. Melalui obrolan saat nongkrong tersebut, saya menemukan dua calon tokoh lain, yakni Sukma Dewi Nawangwulan dan Suwitri.
Sukma Dewi Nawangwulan adalah perempuan penghayat kepercayaan yang gigih memperjuangkan hak sesamanya. Sementara Suwitri adalah maestro tari Endel yang merupakan tarian khas Tegal.
Suatu hari, saya menonton sebuah pameran seni rupa. Dalam pameran tersebut, ada satu perupa yang melukiskan wajah seorang pembuat kipas tangan khas Tegal. Dalam pandangan saya, sosok perempuan di lukisan tersebut menarik. Namanya Syariah. Usianya sudah lebih dari 80 tahun, tetapi masih tetap konsisten membuat kipas tangan khas Tegal.
Alasannya, supaya kipas itu tidak punah. Berbekal informasi dari sang perupa, saya memutuskan menjadikan Mbah Syariah sebagai tokoh kelima yang akan saya dokumentasikan kisahnya.
Tokoh-tokoh sudah komplet. Saya kemudian mengutarakan niat saya membuat foto cerita berseri di Kompas.id dengan editor foto harian Kompas, Yuniadhi Agung. Pria yang saya panggil Mas Agung itu, tampak tertarik dengan rencana saya. Beliau kemudian banyak memberi masukan tentang konsep, teknis pengambilan gambar, hingga memberikan informasi tentang akun Instagram fotografer-fotografer yang bisa dijadikan referensi.
Mas Agung juga sempat mengusulkan agar tokoh-tokoh itu difoto dengan latar belakang yang sama, menggunakan kain putih. Membayangkan hasilnya saja sudah bikin saya tertarik mencoba.
Namun, setelah mengingat dan menimbang bahwa saya kerap memotret seorang diri, sepertinya sulit mewujudkan konsep tersebut. Untuk bisa membentangkan kain putih itu, perlu sejumlah peralatan pendukung.
Oleh karena di Tegal saya ke mana-mana naik sepeda motor, rasanya akan sulit membawa-bawa alat tersebut seorang diri. Belum lagi kalau saat memotret tiba-tiba terjadi peristiwa besar. Pasti akan ribet pergerakan saya yang harus segera meliput peristiwa itu. Mas Agung memahami alasan saya sehingga kemudian membebaskan saya memotret sebisa dan sesuka saya.
Waktu pun berjalan. Tokoh demi tokoh saya datangi di sela-sela tugas liputan harian. Setiap selesai memotret satu tokoh, saya langsung mengonsultasikan hasilnya ke Mas Agung. Ada banyak ilmu yang saya peroleh dari konsultasi-konsultasi tersebut.
Saran dan masukan dari Mas Agung saya aplikasikan semampu saya pada seri foto berikutnya. Saya juga diajari tentang kesabaran. Kesabaran menunggu momen yang tepat untuk menekan tombol rana.
Tawaran datang
Suatu petang, saya kembali nongkrong bersama teman-teman. Kami saling bertukar informasi terkait hal-hal yang kami lakukan sepekan terakhir. Tentu saja, saya menceritakan niat saya untuk membuat foto cerita berseri di Kompas.id berserta alasan di baliknya.
Saya kepingin mendokumentasikan kisah mereka agar orang-orang, khususnya di Tegal, Brebes, dan sekitarnya, tahu bahwa ada perempuan-perempuan inspiratif itu di sekitar mereka. Karena di balik sosok-sosok yang sederhana itu, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. salah satunya tentang dedikasi pada hal-hal yang mereka cintai.
Tokoh-tokoh yang saya pilih itu belum banyak diangkat kisahnya. Sependek yang saya tahu, dokumentasi terkait kisah-kisah perempuan pesisir dalam format foto juga belum banyak di Tegal. Saya ingin menjadi salah satu yang mendokumentasikannya.
Teman-teman yang mendengarkan tampak tertarik dengan motivasi saya membuat foto berseri itu. Salah satunya kemudian berujar, ”Dipamerin oke juga tuh kayaknya". Mak deg jantung saya mendengarnya. Perkataan selanjutnya yang keluar dari teman-teman saya itu sungguh membahagiakan, yakni tawaran untuk berpameran di salah satu galeri yang mereka kelola.
”Biayanya berapa kalau pameran begitu? Bagaimana langkah-langkahnya?” tanya saya.
Pertanyaan itu dijawab dengan enteng oleh mereka. ”Soal biaya dan acaranya itu gampang, nanti kita urus. Yang terpenting, kamu fokus dulu sama foto-fotonya,” kata teman saya.
Kebetulan, teman-teman saya itu seniman. Membuat kegiatan seperti pameran seni sudah jadi makanan sehari-hari mereka. Dari mereka, saya jadi tahu kalau ternyata banyak lembaga yang menyediakan pendanaan untuk mendukung kegiatan-kegiatan seni.
Seusai mengobrol dengan teman-teman, saya kembali berkonsultasi dengan Mas Agung. Mas Agung setuju jika karya-karya saya itu dipamerkan. Beliau bahkan bersedia menjadi kuratornya. Saya jadi makin bersemangat.
Pada saat yang sama, kekhawatiran muncul. Saya kerap mempertanyakan, layakkah saya yang bukan siapa-siapa ini pameran? Terkenal sudah pasti tidak. Fotografer juga bukan. Siapa yang bakal nonton? Apa dampak yang bakal timbul dari pameran itu? Hop! Saya meminta otak saya berhenti berpikir macam-macam dan kembali fokus bekerja.
Mutasi
Saat sedang berproses memotret tokoh perempuan ketiga, saya mendapat kabar akan dimutasi dari Kota Tegal ke Kota Semarang. Kepada Kepala Biro Kompas Jateng, Mas Gregorius Magnus Finesso, saya menceritakan proyek foto cerita berseri yang tengah saya kerjakan. Kemungkinan saya akan melakukan pameran foto, juga saya ceritakan. Sebab, garapan itu akan membuat saya sering bolak-balik Tegal-Semarang.
”Kamu nanti masih bisa bolak-balik ke sana karena Tegal juga masih wilayahmu,” tuturnya.
Baca Juga: Kiprah Perempuan Pesisir (1): Sukma Dewi Nawangwulan
Mendengar kata-kata dari Mas Gre, saya jadi lega. Secepat mungkin saya selesaikan target saya. Tepat sebelum pindah, pemotretan untuk tokoh ketiga dan keempat selesai. Bagaimana dengan tokoh kelima?
Tokoh kelima saya potret sewaktu saya sudah pindah ke Semarang. Saya kemudian mencari satu hari yang kemungkinan tidak ada kejadian menonjol untuk mengeksekusi pemotretan tokoh kelima.
Setelah memastikan ada satu hari yang tidak ada kejadian menonjolnya, saya langsung meluncur ke Brebes. Pekerjaan itu saya lakukan secepat mungkin supaya saya bisa kembali ke Semarang pada hari yang sama.
Pengalaman menarik selalu muncul setiap kali memotret tokoh-tokoh perempuan itu. Terkait bahasa, misalnya. Saya baru tahu kalau sebagian besar mereka tidak memahami bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Saya pikir, karena masih di Jateng, mereka akan memahami bahasa Jawa, ternyata tidak. Untung saja, kemampuan berbahasa Tegal saya yang pas-pasan masih bisa melancarkan jalannya komunikasi.
Tantangan selanjutnya adalah pada saat mengambil foto. Sejak awal, saya sudah menjelaskan bahwa mereka cukup bersikap biasa saja seakan-akan saya sedang tidak berada di sekitar mereka.
Tapi tetap saja sulit, mungkin bunyi rana kamera mengganggu mereka yang mengaku hanya difoto pada saat bikin KTP. Beberapa kali, mereka melihat ke arah kamera dengan ekspresi wajah tegang, persis seperti saat akan berfoto di KTP.
Saya kemudian menaruh kemera lalu mengajak ngobrol lebih panjang lagi soal keseharian mereka. Sesekali saya sisipi obrolan dengan guyonan agar mereka tertawa. Benar saja, lama-lama mereka rileks.
Saat mereka tersenyum atau melakukan gerakan-gerakan yang menurut saya bagus, tangan saya langsung otomatis memencet tombol rana sembari mengarahkan lensa kepada mereka. Akhirnya, rampung sudah pemotretan seluruh tokoh.
Haru
Hari pembukaan pameran yang saya tunggu-tunggu akhirnya tiba. Petang itu, dua tokoh perempuan yang saya potret datang. Putra dan putri dari tokoh-tokoh perempuan yang saya potret juga datang ke pameran itu. Dari kejauhan saya melihat, sebagian dari mereka mengusap pipinya yang basah. Salah satunya lalu memeluk saya waktu saya hampiri.
”Nyong lagi pisan kiye difoto terus dipajang bareng karo wadon-wadon liyane sing pada hebat-hebat. Nangis nyong, Mbak saking senenge (Saya baru kali ini difoto terus fotonya dipajang bersama-sama dengan perempuan-perempuan yang hebat. Nangis saya mbak. Senang banget sampai kepingin menangis)," kata Riani, salah satu tokoh yang hadir dalam pembukaan pameran.
Yang bikin saya semakin terharu adalah kehadiran seniman-seniman senior di Tegal. Beberapa orang bahkan jauh-jauh datang dari luar kota untuk menonton. Dari puluhan orang yang datang ke acara pembukaan pameran itu, ada seorang penonton yang datang dan mengucapkan terima kasih karena kisah lima perempuan itu didokumentasikan.
”Terima kasih telah membangunkan saya. Jujur, saya baru tahu kalau ada sosok-sosok ini di sekitar saya. Melihat mereka, saya jadi merasa belum melakukan apa-apa dan semoga saya bisa segera berkiprah seperti mereka-mereka ini,” ujarnya.
Sejumlah penonton juga sempat menanyakan alamat lengkap para tokoh perempuan itu. Katanya, mereka ingin berkenalan langsung dengan tokoh-tokoh perempuan tersebut dan berniat memberi bantuan. Ah, tidak tergambar lagi kebahagiaan saya.
Sebagai ucapan terima kasih kepada para tokoh perempuan tersebut atas kiprah mereka, saya berniat menjual karya-karya saya itu. Hasil penjualannya nanti, seluruhnya akan saya berikan kepada lima tokoh tersebut. Sebab, kelima tokoh itu hidup terbatas secara ekonomi.
Sebagai bukan siapa-siapa, pengalaman pertama pameran tunggal itu membuat saya merasa sangat senang. Saya jadi punya kesempatan untuk lebih mengembangkan diri, mengenal wilayah tugas beserta kekayaannya, serta meninggalkan ”jejak” bahwa saya pernah melakukan sesuatu di wilayah tugas. Saya berharap, ini bukan yang terakhir.