Dalam perjalanan, saya bertekad tak ingin membasahi sedikit pun sepeda motor saya di banjir rob. Sepeda motor selamat, tidak begitu dengan yang lain. Banjir rob memilih ”korban”-nya yang baru.
Oleh
RADITYA MAHENDRA YASA
·5 menit baca
Melihat kondisi beberapa tahun belakangan, kalimat ”Semarang kaline banjir” dalam lirik lagu ”Jangkrik Genggong” agaknya lebih cocok menjadi ”Semarang laute banjir”.
Ini seperti yang terjadi dua pekan lalu ketika tiba-tiba sebagian pesisir utara Kota Semarang dan pelabuhannya terendam banjir akibat limpasan air laut atau rob. Padahal, tidak ada hujan sama sekali sebelumnya.
Rob atau fenomena pasang air laut sangat akrab di kehidupan keseharian warga Kota Semarang, khususnya yang tinggal di bagian utara yang berdekatan dengan pantai.
Beberapa proyek infrastruktur telah dibangun untuk mencegah agar air laut tidak masuk ke daratan, baik melalui sungai maupun saluran got. Proyek itu mulai dari pembangunan rumah pompa hingga pembangunan sabuk pantai dan waduk penampung.
Namun, ketika musim air pasang, air laut masih saja merembes naik hingga menggenangi lantai rumah warga.
Hasil liputan jurnalisme data harian Kompas tahun 2021 mengungkapkan, terdapat 21 daerah/kota di Indonesia yang terancam tenggelam, di antaranya beberapa wilayah di pesisir utara Jawa Tengah, seperti Pekalongan, Semarang, dan Demak.
Dari berbagai literatur sejarah, beberapa daerah itu memang dulunya merupakan hamparan rawa dan teluk, seperti Demak dan Kudus. Dampak ekonomi yang harus ditanggung daerah-daerah itu diperkirakan bisa mencapai Rp 1.576 triliun.
Saya sendiri mulai mengakrabi rob sejak 13 tahun lalu ketika mulai bertugas sebagai pewarta foto di harian Kompas wilayah Jawa Tengah. Sebagai orang yang terlahir di wilayah pedalaman Yogyakarta, saat itu rob menjadi hal baru bagi saya.
Bagaimana tidak, ketika sedang asyik-asyiknya menyusuri wilayah pesisir utara, tak ada angin tak ada hujan, tetiba jalanan banjir atau rumah tergenang.
Selang beberapa tahun kemudian, pasang air laut itu malah seperti agenda rutin saja. Saya pun jadi lumayan paham wilayah mana saja yang sering mengalami rob parah di sepanjang jalur pantura Jawa Tengah, mulai dari Pekalongan, Semarang, hingga Demak.
Saking gemasnya dengan rob, saya menganggap rob seperti ”musuh bebuyutan”. Rasanya lebih rela berendam banjir dari air hujan dibandingkan berbasah-basah di rob. Namun, mau bagaimana lagi, sebagai jurnalis, mendatangi lokasi terparah rob adalah tugas yang harus ditunaikan.
Untuk tiba di lokasi, saya harus menerobos rob dengan menggunakan sepeda motor. Air laut berisiko menimbulkan karat pada onderdil motor. Apalagi hal itu terjadi selama bertahun-tahun.
Sudah pasti serangan korosi akan terjadi, mulai dari rantai, rem, knalpot, hingga velg. Bahkan harus siap-siap turun mesin. Mungkin ini alasan utama para pedagang otomotif enggan membeli kendaraan yang berasal dari pesisir seperti Semarang. Suku cadangnya berisiko dalam kondisi berkarat.
Baca juga: Ketika Banjir di Pelabuhan Tanjung Emas Mulai Mengering
Namun, bagaimanapun kondisi yang saya alami tidak seberapa dibandingkan dengan nasib ribuan warga yang tempat tinggalnya terancam tenggelam. Masalah mereka tidak hanya kendaraan yang terendam, tetapi lebih besar lagi, yakni hilangnya ruang hidup.
Seperti yang terjadi di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Wilayah yang dulunya area pertanian itu kini berubah menjadi lautan hanya dalam waktu beberapa puluh tahun saja.
Maraknya pembuatan tambak tahun 1990-an turut berperan mempercepat degradasi ekosistem pantai dan hutan mangrove di pesisir utara Jawa yang membuat rob semakin tak tertahankan.
Desa tenggelam
Desa Bedono bisa dibilang sebagai potret lengkap fenomena rob, mulai dari pengaruh abrasi, hilangnya kawasan mangrove, hingga tenggelamnya kawasan tinggal. Satu dusun di sana perlahan lenyap dengan hanya menyisakan reruntuhan rumah yang tergenang lautan bak gambaran reruntuhan kota bawah laut Atlantis.
Saya sempat mengunjungi desa-desa di Kecamatan Sayung itu beberapa kali dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Saat datang, ada saja yang hilang. Entah itu jalan, rumah, atau bahkan kuburan.
Kenangan akan hamparan sawah dan pohon nyiur yang pernah ada di salah satu wilayah di Desa Timbulsloko, misalnya, hanya tersisa dalam bentuk gambar di sebuah dinding taman kanak-kanak di desa itu.
Ingatan akan hamparan sawah hanya ada dalam memori warga yang berusia di atas 30 tahun, berbeda dengan mereka yang berusia di bawah itu. Yang ada dalam kenangan mereka adalah perjuangan agar tidak tenggelam oleh rob, baik saat hidup maupun mati. Sekarang ini, bukan saja yang hidup yang kebanjiran, yang mati pun makamnya tenggelam.
Parahnya keadaan di kawasan Desa Bedono dan Timbulsloko memunculkan banyak respons berupa penelitian, pembuatan laboratorium alam, hingga eksperimen penanganannya.
Salah satunya, seperti yang dikerjakan oleh sebuah lembaga dari Belanda yang bekerja sama dengan sebuah kampus setempat dengan membuat tanggul alami untuk menciptakan sedimentasi agar garis pantai terbentuk kembali.
Adapun upaya dari pemerintah, antara lain, pembangunan proyek infrastruktur Jalan Tol Semarang-Demak yang nantinya juga akan berfungsi sebagai tanggul. Namun, hasilnya masih harus menunggu beberapa tahun lagi.
Warga pun masih harus bersabar, termasuk saya. Selain bersabar menghadapi rob, saya pun harus bersabar menanti kabar baik hasil penanaman mangrove. Hampir semua acara seremonial penanaman mangrove, saya datangi untuk foto. Sayangnya setelah itu, ribuan tanaman itu banyak yang hilang tak berbekas ditelan ombak.
Sepatu jebol
Insiden jebolnya tanggul pembatas kawasan berikat Pelabuhan Tanjung Emas Semarang akibat rob pada Senin (23/5/2022), menyadarkan bahwa sebagian daratan sudah berada di bawah permukaan laut. Isu penurunan tanah tiba-tiba menyeruak kembali yang diperparah dengan fenomena perubahan iklim.
Air laut yang datang menerjang sore itu saat tembok jebol, membuat kepanikan ribuan buruh yang berusaha menyelamatkan diri keluar dari pabrik. Dalam sekejap, hampir seluruh area Pelabuhan Tanjung Emas terendam banjir pasang air laut.
Lagi-lagi sebagai pewarta foto, saya harus hadir di lokasi untuk menggambarkan keadaan kawasan pelabuhan yang terendam banjir. Selama beberapa hari, saya melaporkan kejadian itu melalui foto-foto kondisi pelabuhan, kawasan industri, pekerja, hingga jasa transportasi.
Dalam perjalanan ke sana, saya bertekad tak ingin membasahi sedikit pun sepeda motor saya di banjir rob. Karena itu, saya memilih parkir di jalan layang dan meneruskan perjalanan ke lokasi dengan berjalan kaki. Sepeda motor terhindar, tidak begitu dengan sepatu yang gantian jadi korban.
Bolak-balik ke lokasi, sepatu harus pandai-pandai membawa kaki ini melangkah di tengah rob sedalam 50 sentimeter hingga 100 sentimeter. Sudah dua kali ganti sepatu, masih sama saja nasibnya. Berakhir jebol. Padahal, bagian alasnya sudah diikat berulang-ulang dengan bagian atasnya agar sepatu tidak jebol.
Namun, lagi-lagi jika mengingat kembali nasib warga, pengalaman tidak mengenakkan ini tidak ada apa-apanya. Bayangan akan mereka yang menjadi korban rob atau harus hidup bersama rob membuat saya banyak bersyukur sekaligus berdoa semoga segera ada solusi bagi mereka.