Berliku Menguak Masker Medis Palsu
Dari 50 helai masker dari lima merek berbeda, tak satu pun yang lolos semua syarat masker medis. Ini baru 50 helai, bagaimana dengan jutaan masker medis lainnya yang belum diuji. Keselamatan orang banyak dipertaruhkan.
Hal tersulit dalam liputan investigasi adalah membuktikan dugaan. Bukti-buktinya harus meyakinkan dan tidak terbantahkan. Karena itu, kami menggunakan pembuktian berlapis untuk menjawab hipotesa awal. Petualangan yang tidak mudah, tetapi menarik dilakukan.
Perjalanan berliku ini kami lakukan untuk membuktikan dugaan maraknya peredaran masker palsu di pasaran. Pandemi Covid-19 membuat masker menjadi salah satu ”alat tempur” paling penting untuk menangkal virus korona. Untuk membuktikan dugaan adanya masker-masker palsu, harus dilakukan melalui liputan investigasi.
Kami memulainya dengan mendatangi distributor masker di kawasan niaga Roxy Mas, Jakarta Pusat, pada 27 Februari 2021. Distributor masker ini diduga sengaja memasang label Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan agar maskernya dianggap tepercaya.
Padahal, kedua lembaga itu melarang pencantuman logonya pada produk masker atau alat kesehatan apa pun karena dikhawatirkan dapat mengecoh pembeli. Kedua lembaga tidak ada sangkut pautnya dengan produk tersebut.
Misi berikutnya adalah membuktikan distributor masker itu sengaja mengelabui pembeli bahwa masker mereka adalah masker medis. Pada penelusuran sebelumnya di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, produk mereka dipasarkan sebagai masker medis. Padahal, tidak ada kode khusus dari Kemenkes dalam kemasan mereka. Produk mereka pun tidak ada dalam laman infoalkes.kemenkes.go.id.
Misi terakhir, membawa sampel masker distributor itu ke laboratorium untuk diuji kualitasnya sebagai masker medis. Masker medis memiliki standar yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Dengan cara itu, kami berharap dapat menjawab tuduhan adanya peredaran masker medis di pasaran yang tidak sesuai standar.
Siang itu, kami masuk ke gudang distributor tersebut dengan menyamar sebagai pembeli masker medis untuk keperluan donasi. Kami meyakini penyamaran ini paling logis lantaran saat itu pandemi sedang menggila di Tanah Air dan masker menjadi salah satu barang langka.
Alamat distributor kami dapatkan dari kemasan produk mereka yang dijual di Pasar Pramuka. Di gudang distributor, kami bertemu dengan seorang pegawai bernama Ari. Kami katakan ingin membeli masker medis dengan harga miring. Ia langsung meminta kartu nama. Permintaannya sungguh di luar dugaan.
Di kartu nama yang kami punya tertera jelas identitas sebagai jurnalis. Dengan nada rendah, kami mengaku tidak membawa kartu nama. ”KTP aja nih, mau?” kata kami berusaha meyakinkan. Beruntung, setelah melihat KTP secara sekilas, Ari tidak memperpanjang lagi urusan kartu nama.
Baca juga: Berbahaya, Masker Medis Palsu Beredar Luas
Sebetulnya, usaha memperlihatkan KTP itu merupakan jurus dadakan yang terlintas di kepala. Kami sempat panik lalu mencari solusi cepat agar urusan kartu nama tak menjagal liputan ini.
Untungnya, Ari percaya. Kami pun berhasil mendapat berbagai informasi penting di sana. Salah satunya, pengakuan Ari bahwa salah satu produk masker distributor itu belum memiliki izin edar dari Kemenkes.
”Ini bukan izin edar (sambil menunjuk kardus masker V-Shine), melainkan izin dari BNPB. Ini barangnya dari China semua karena kalau kita bikin sendiri susah,” ujar Ari, pegawai PT Berkah Bersama Alkindo.
Baca juga: Tiga Hari Mencari Hiu Paus
Tidak hanya menelusuri kantor distributor tersebut, kami juga mendatangi distributor PT Mandiri Nugraha Ajitunggal di kawasan Mangga Dua, Jakarta Pusat.
Kami perlu mendatangi distributor itu karena masker merek Life Resources yang disalurkan distributor ini ke pasaran menggunakan label masker respirator N95.
Distributor melengkapi kemasan itu dengan narasi bahwa masker dapat digunakan untuk menahan serpihan debu dan percikan cat semprot (airbrush and spraycan). Narasinya juga menyebutkan, masker dapat melindungi pengguna dari virus SARS, flu burung, dan flu babi.
Baca juga: Bagaimana Kemampuan Filtrasi Masker Melawan Virus Penyebab Covid-19
Ketika kami tiba di area perkantoran distributor itu, seorang di ujung telepon menolak kedatangan kami. Mereka katakan tidak menerima tamu di kantor. Jika ingin pesan masker, bisa lewat telepon saja atau membelinya di pasaran.
Mendapat penolakan demikian, kami tidak berhenti begitu saja. Kami melacak orang-orang yang bisa dihubungi hingga akhirnya menemukan kontaknya dari Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab).
”Apa betul masker-masker merek Life Resources dari distributor ini ya?” kata salah satu anggota tim kami.
”Betul, ada apa Pak?” kata penerima telepon.
”Kami mau pesan untuk keperluan donasi.”
”Silakan ke toko saja. Kami tidak melayani pemesanan,” pembicaraan kemudian tidak berlanjut.
Barang bukti dan informasi awal itu cukup untuk melangkah ke tahap berikutnya. Saatnya kami membuktikan kualitas masker medis itu secara ilmiah. Barang bukti masker kami kumpulkan juga dari toko daring untuk menambah variasi sampel.
Baca juga: Hari-hari Seusai "Kompas" Dibredel via Telepon
Menguji kualitas
Meski peredaran masker di Indonesia saat itu melimpah, ternyata tidak mudah mencari laboratorium (lab) untuk pengujian masker medis. Belasan lab kami hubungi, mulai dari milik pemerintah, swasta, hingga perguruan tinggi.
Saat itu sudah masuk bulan Maret 2021. Kami harus cepat mengirimkan masker-masker itu untuk uji di laboratorium guna mengecek kesesuaiannya dengan SNI. Setelah bertanya ke banyak pihak, pilihan kami jatuh ke Laboratorium Kualitas Udara Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kami menetapkan pilihan ini setelah tidak ada satu pun lab yang mampu menguji masker medis dengan lengkap dalam waktu kurang dari satu bulan. Pihak Laboratorium Kualitas Udara ITB menyanggupi permintaan Kompas untuk menguji beberapa sampel masker dan selesai per 30 Maret 2021. Awalnya, mereka menjanjikan baru bisa menyelesaikan uji sampel sekitar 2,5 bulan karena banyaknya antrean uji masker.
Dari sini baru kami tahu bahwa Indonesia belum banyak memiliki lab pengujian masker medis.
Dari sini baru kami tahu bahwa Indonesia belum banyak memiliki lab pengujian masker medis. Padahal, masker medis yang beredar saat itu jumlahnya luar biasa banyak. Kebutuhan masker yang tinggi sejalan dengan penambahan jumlah kasus harian Covid-19 yang juga tinggi. Dugaan kami, banyak masker medis yang beredar saat itu tidak melalui pengujian.
Haryo Satrio Tomo, dosen dan peneliti di Pengelolaan Udara dan Limbah ITB, mengisahkan, lab tersebut didirikan Maret 2020. Pendirian dipicu oleh penolakan Eropa terhadap beberapa produk masker Indonesia yang diekspor ke sana.
Saat itu, di Indonesia belum ada laboratorium yang mampu menguji standar masker medis. Padahal, Indonesia mempunyai sumber daya untuk melakukannya. Para peneliti lintas keilmuan ITB kemudian bergerak bersama untuk membuat uji masker medis tersebut.
Pengujian masker digawangi oleh peneliti bidang pengelolaan udara dan limbah, serta peneliti bidang mikrobiologi dari Teknik Kimia yang berada di bawah Laboratorium Kualitas Udara ITB.
Baca juga: Pengalaman Tak Terlupakan di Hutan Adat
Tidak memenuhi syarat
Peneliti Lab Kualitas ITB menguji masker medis dengan tiga parameter, yakni uji efisiensi filtrasi bakteri (BFE), uji efisiensi filtrasi partikulat (PFE), dan beda tekan. Tiga parameter ini harus dipenuhi guna memperoleh sertifikat SNI dari BSN untuk masker respirator atau masker yang kemampuannya setara dengan N95 dan KN95.
Dari 50 helai masker yang berasal dari lima merek berbeda, tidak satu pun yang lolos uji persyaratan sebagai masker medis. Kami menarik napas sejenak. Ini baru 50 helai, bagaimana dengan jutaan masker medis lainnya yang belum diuji. Sementara penggunaan masker, terutama oleh tenaga medis, terus meningkat karena pandemi belum mereda.
Tahap pamungkas dari liputan ini adalah mengonfirmasi distributor dan perwakilan pemegang merek masker itu satu per satu. Penerima telepon saat PT Berkah Bersama Alkindo kami hubungi, menyatakan pimpinannya sedang tidak ada di kantor. Penerima telpon tidak memberi kontak orang yang kami inginkan. Kami kemudian melayangkan surat permohonan wawancara ke yang bersangkutan.
Pihak perwakilan 3M yang kami hubungi memberikan respons pada temuan kami. Mereka mengaku, ada produk-produknya yang dipalsukan di pasaran. Adapun PT Mandiri Nugraha Ajitunggal dapat kami hubungi melalui komisaris perusahaan, Deepak Pritamdas Gurbani. Gurbani memastikan maskernya bukan untuk tenaga kesehatan. ”Penjelasan yang ada di kemasan, kami terjemahkan dari pabriknya di China,” kata Deepak mengklarifikasi.
Lega, semua upaya konfirmasi sudah tunai meski tidak semua memberi respons. Hingga 2 April 2021 malam saat proses penyuntingan sebelum artikel terbit, kami tidak berencana menampilkan merek-merek masker tersebut.
Tujuannya, untuk mengantisipasi gugatan hukum saat penerbitan konten. Namun, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra berpikir lain. ”Jika teman-teman sudah konfirmasi, apa pun itu responsnya, sudah cukup. Sebutkan mereknya,” katanya.
Esoknya, halaman muka harian Kompas menerbitkan hasil investigasi kami, termasuk menyebutkan merek-merek masker yang kami uji di Lab Kualitas Udara ITB. Saat hari penerbitan 3 April 2021, kami tidak tenang. Bagaimana kalau ada gugatan?
Ternyata direksi PT Berkah Bersama Alkindo keberatan karena merasa tidak dikonfirmasi terkait liputan ini. Keberatan mereka bukan terkait hasil pengujian produk di lab.
Kami jelaskan bahwa kami telah mengonfirmasi, baik lewat telepon, surat, maupun beberapa saluran lainnya, tetapi tidak mendapat respons. Namun, kami tetap memberikan hak jawab mereka yang kemudian dimuat di edisi berikutnya, 4 April 2021. Untuk artikel di edisi hari berikutnya sudah tidak ada lagi yang mengirimkan keberatan. Malah awak stasiun radio di Padang dan Yogyakarta yang meminta wawancara mengenai liputan ini.
Liputan ini memberi pengetahuan kepada kami bahwa SNI masker medis memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) bagi penggunanya. Namun ketika liputan ini dilakukan pada Februari-Maret 2021, pemerintah belum mewajibkan penggunaan masker medis sesuai SNI.
Kini, masker dapat kita temui di minimarket, apotek, dan banyak tempat lainnya. Meski begitu, pasokan yang melimpah tanpa diiringi jaminan keamanan dan keselamatan akan sia-sia belaka. Liputan ini juga menyadarkan kami bahwa selembar masker bisa menjadi pertaruhan keselamatan seseorang.
Perjalanan panjang untuk membuktikan dugaan maraknya peredaran masker palsu berbuah penghargaan yang sungguh tidak kami duga. Apresiasi pertama datang dari BSN. Artikel kami berjudul ”Nasionalisme dari Sudut Laboratorium di ITB” diganjar juara 1 Anugerah Jurnalistik BSN Tahun 2021 untuk kategori media cetak.
Apresiasi kedua datang saat puncak perayaan Hari Pers Nasional 9 Februari lalu. Artikel berjudul ”Berbahaya, Masker Medis Palsu Beredar di Masyarakat” yang terbit 3 April 2021 menerima penghargaan utama untuk kategori Media Cetak .
Tentu saja kami merasa senang mendapat apresiasi dan pengakuan. Terlebih jika ini memang benar-benar berguna bagi masyarakat yang membutuhkan informasi tentang kondisi masker di pasaran. Terbayar sudah segala jerih.