Pengalaman Tak Terlupakan di Hutan Adat
Kehebohan terjadi sekembalinya kami dari hutan adat. Salah seorang kawan panik karena telepon genggamnya hilang. Tuan rumah sampai menanyakannya ke tiga dukun. Dua di antaranya menyebut, hari itu adalah hari yang gelap.
Liputan memberikan macam-macam pengalaman, mulai dari yang mencerdaskan, membahagiakan, terkadang juga konyol, membuat sedih, hingga yang mistis berselimut misteri. Demikian pula dengan liputan ke pedalaman yang selalu menyisakan pengalaman berkesan.
Seperti yang kami alami pada November 2021. Saat itu, saya dan berapa rekan wartawan pergi ke kawasan karst Bukit Bulan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Tujuannya, untuk melihat potensi alam sekaligus ancaman kehancuran lingkungan akibat aktivitas tambang di sana.
Namun, kehebohan terjadi sekembalinya kami dari hutan adat. Salah seorang rekan wartawan panik karena telepon genggamnya hilang. Telepon itu disimpan di dalam kamar tempatnya menginap di rumah warga setempat.
Sampai sekarang pengalaman ini sulit dilupakan karena masih menyimpan misteri. Sebagaimana diceritakan dalam tulisan Sosok Misterius di Goa Karst, saat meliput di kawasan karst, kami juga singgah di Hutan Adat Tamulun Batuah dan Hutan Adat Batin Batuah di Desa Berkun dan Talang Kemuning di Kecamatan Limun.
Masyarakat di dua wilayah hutan adat itu secara turun-temurun menjalin hubungan erat dengan alam yang tak pernah abai memberikan kesejahteraan lewat hasil bumi dan keasriannya.
Kami tiba di Kota Sarolangun setelah lima jam perjalanan darat dari Kota Jambi. Sesampainya di sana, kami singgah di kantor Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Limau. Misriadi, Kepala KPHP Limau saat itu, mengutus tiga staf KPHP dan seorang pengemudi lokal untuk mendampingi kami menuju Desa Berkun. ”Supaya aman selama berada di lapangan nanti,” ujarnya.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan menembus kawasan karst yang berada di hulu Batanghari itu. Nyaris sepanjang perjalanan diwarnai jalanan terjal. Empat jam kemudian, kami mulai mendekati wilayah Desa Berkun. Di hadapan kami, tampak tiga sepeda motor yang dikendarai sejumlah pemuda tengah terjebak lumpur.
Rupanya salah satu penunggang sepeda motor adalah sepupu pengemudi yang mengantar kami. Para pemuda itu lantas menumpang di bak belakang mobil, sementara sepeda motor ditinggalkan begitu saja, menunggu jalanan mengering dan dapat dilewati.
Sekitar pukul 23.00 WIB, kami tiba di Desa Berkun. Malam itu kami menginap di rumah Baharudin, warga setempat. Meski telah larut malam, istri Baharudin menyempatkan membuat teh hangat untuk menjamu kami. Rasa lelah pun tersapu oleh minuman hangat yang terasa nikmat itu.
Baca juga: Silau Emas yang Memutus Persaudaraan di Hulu Batanghari
Esok paginya, kami bersiap menuju Hutan Adat Tamulun Batuah. Matahari belum lagi muncul sewaktu kami menyusuri pematang sawah, lalu menyeberangi sebuah sungai jernih. Begitu menyenangkan melihat keasrian desa yang dikelilingi perbukitan indah.
Kami pun tiba di batas masuk hutan adat. Dari sini, kami akan pergi ke puncak bukit. Untuk mencapainya, kami harus melewati jalan setapak yang menanjak. Jalurnya di beberapa titik begitu licin karena bebatuan yang ditumbuhi lumut berembun. Baharudin memandu sembari membukakan jalan melewati duri-duri rotan dan akar yang melintang.
Akhirnya, tibalah kami di puncak bukit Tamulun. Keindahan alam pun terhampar. Udara begitu segar. Sembari memberi kesempatan kami menikmati suasana, Baharudin menyelipkan harapan agar liputan itu dapat berbuah baik. Keinginan masyarakat akan terwujudnya ekowisata sekaligus terlindunginya wilayah karst dari kerusakan, dapat didengar oleh pemerintah.
”Semoga pemerintah membantu kami melindungi wilayah ini tetap aman. Jangan sampai ada izin tambang yang masuk. Lebih baik ekowisata yang tumbuh di sini. Masyarakat sangat mendukung,” katanya.
Baca juga: Kepergok Sniper hingga Membelah Sungai Lahar Hujan Semeru
Mendatangi dukun
Menjelang pukul 10.00, kami beranjak menuruni bukit lantas menikmati sarapan. Setelah itu kami berencana meliput panen buah kepayang dan pengolahan bijinya menjadi minyak goreng.
Pohon kepayang dipercaya masyarakat lokal sebagai penjaga kehidupan. Uniknya, adat setempat mengatur ketat panen kepayang. Hanya buah yang jatuh dari pohon yang boleh diambil. Masyarakat dilarang memetik buah dari pohonnya. Bagi yang melanggar akan terkena denda adat.
Sesaat sebelum berangkat ke kebun kepayang, seorang rekan tergopoh-gopoh keluar dari kamar. Wajahnya tampak panik. ”Kak, HP-ku hilang!” ujarnya. Saat hendak pergi ke puncak pagi tadi, ia meninggalkan handphone (HP) tersebut di kamar. Sepulangnya, HP tersebut tidak bisa ditemukan.
Kami segera membantunya mencari hingga ke sudut-sudut kamar. Begitu pula dengan tasnya. Semuanya telah diperiksa secara teliti. Namun, keberadaan telepon genggam tersebut tetap nihil.
Baca juga: Telepon yang Menghantui Saat Menyelisik Penyelewengan Pupuk Subsidi
Tuan rumah dan istrinya merasa tidak enak melihat kepanikan pagi itu. Menurut sang istri, tidak ada seorang pun yang masuk ke dalam rumah. Peristiwa kehilangan barang dalam rumah itu, katanya, baru sekali ini terjadi.
”Banyak tamu menginap di sini, tetapi baru kali ini ada yang kehilangan barang di rumah ini,” ujar Baharudin dengan nada bingung.
Orang lokal setempat, katanya, tidak akan mungkin mencuri di rumahnya. Semua warga di desa itu berasal dari satu marga adat.
Karena merasa tidak enak dan penasaran, Baharudin kemudian mengerahkan beberapa orang untuk menemui dukun. Keberadaan dukun masih lekat dalam kehidupan warga setempat. Sebenarnya sebagian besar dari kami menyampaikan agar tidak perlu sampai mendatangi dukun untuk mencari petunjuk.
Baca juga: Kepayang Bawa Sejahtera dari Hulu Batanghari
Namun, entah bagaimana, rencana itu tetap berjalan. Rekan kami yang kehilangan HP kemudian diantar oleh seorang warga ke rumah dukun di desa tetangga.
Baharudin sendiri diam-diam mengutus putranya untuk naik kembali ke puncak Bukit Tamulun. Ia memperhitungkan kemungkinan, HP yang dicari-cari sebenarnya terbawa dan terjatuh di perjalanan menuju puncak bukit.
Akibat kehebohan itu, liputan kami nyaris buyar oleh peristiwa kehilangan barang. Baharudin berusaha menenangkan dengan meminta kami menunggu kabar sembari tetap meliput proses produksi minyak kepayang di lokasi terdekat.
Baca juga: Lubang Peluru di Kamar Hotel Wamena
Lewat tengah hari, rekan kami yang kehilangan HP kembali. Total ada tiga dukun yang ia datangi untuk mendapatkan petunjuk. Rupanya tak satu pun yang bisa ”melihat”. Dua dukun menyebut hari itu yang bertepatan dengan tanggal 12 (penanggalan Arab) sebagai hari yang ”gelap”. Selain sulit diketahui keberadaannya, barang yang hilang pada hari yang ”gelap” diyakini takkan kembali.
Teman kami yang sudah sangat kelelahan itu akhirnya menyatakan pasrah. ”Saya rela kalau HP itu memang ada yang mengambil,” katanya.
Ia hanya sedih kehilangan banyak data berharga dan juga nomor-nomor kontak narasumber penting yang seluruhnya tersimpan di HP.
Sisa hari pun berjalan dalam suasana yang kurang nyaman. Apalagi hari itu menjadi hari terakhir kami menginap di sana. Esok paginya kami akan pindah meliput ke kecamatan tetangga.
Sewaktu berkumpul untuk makan malam, Baharudin menyampaikan permintaan maafnya karena tak bisa membantu rekan kami yang kehilangan. Kami semua maklum. Kami pun menyampaikan permohonan maaf karena telah menciptakan kehebohan di rumahnya.
Tak lama, salah seorang rekan membuat pengakuan bahwa dirinya buang air kecil sewaktu berada di puncak bukit Tamulun. Kami semua terkejut mendengar pengakuan itu. Lalu, tuan rumah mengingatkan agar berhati-hati setiap kali berada di pedalaman. Jangan sampai berbuat yang kurang sopan.
Juga agar selalu menyampaikan salam pada ”penunggu” wilayah. Percaya atau tidak percaya, hubungan manusia dan alam memang masih sangat kuat di wilayah pedalaman. Bisa jadi apa yang kita lakukan di sana memicu munculnya peristiwa lain sebagai bentuk teguran alam.
Baca juga: Maksud Hati Mencari Pramudi, Apa Daya Dipepet Jambret
Usai berbincang dan bersenda bergurau, kami pun pergi beristirahat. Menjelang dini hari saat semua orang masih terlelap, tiba-tiba suara alarm HP berbunyi nyaring. Rekan kami yang kehilangan HP segera melompat mencari sumber suara. Ternyata, itu berasal dari HP-nya! Lokasinya ada di dalam kantong tas.
Kami semua masih tak habis pikir dengan temuan itu. Karena sebelumnya, semua bagian tas sudah diperiksa secara teliti bersama-sama. Masih menjadi misteri bagaimana HP itu bisa tiba-tiba ada di dalam tasnya.
Penghormatan kepada alam selayaknya menjadi napas kesadaran semua orang. Tak terkecuali para jurnalis.
Yang pasti, kami memetik pelajaran berharga agar selalu mawas diri dan rendah hati di manapun berada. Terlebih, sewaktu meliput di wilayah pedalaman. Penghormatan kepada alam selayaknya menjadi napas kesadaran semua orang. Tak terkecuali para jurnalis.