Bagi para jurnalis, situasi pandemi turut memicu tekanan psikologis dan emosional. Biasanya berlibur menjadi salah satu cara untuk sejenak mencari ketenangan sebelum kembali bekerja dalam situasi yang tidak pasti.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Berlibur adalah hak setiap orang, termasuk dalam masa pandemi Covid-19. Meski situasi global dalam kondisi darurat kesehatan, sulit bagi banyak orang, termasuk saya untuk mengubur hasrat berlibur. Ada kebutuhan yang tidak bisa dipendam meski perlu penyesuaian, yakni penerapan protokol kesehatan untuk menekan risiko penularan Covid-19.
Bagi para jurnalis, situasi pandemi turut memicu tekanan psikologis dan emosional. Biasanya berlibur menjadi salah satu cara untuk sejenak mencari ketenangan sebelum kembali bekerja dalam situasi yang tidak pasti.
Mengunjungi keluarga juga bisa menjadi salah satu pilihan untuk meredakan ketegangan emosi. Menjalin komunikasi tatap muka, terutama dengan orangtua, menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi.
Jadilah kemudian saya memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama anak sulung untuk menengok orangtua di Yogyakarta. Sengaja hanya berdua, untuk menekan risiko penularan. Sebelum perjalanan, kami melakukan rapid tes Covid-19 dulu. Hasilnya negatif sehingga kami pun merasa aman untuk memulai perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Kami berangkat 17 September 2020. Setibanya di sana, ”bumi Mataram” tampak sepi dari pemandangan wisatawan yang biasanya berseliweran di jalanan, kecuali pada akhir pekan, terutama di kawasan Malioboro.
Selama di Yogyakarta, selain mengunjungi orangtua di Bantul, kami juga memanfaatkan waktu untuk berwisata kecil-kecilan, terutama ke lokasi kuliner klangenan semasa kuliah dulu, seperti sate klatak di Jalan Imogiri Barat dan bakmi Jawa di Jalan Raya Bantul.
Tempat-tempat yang dikunjungi kami rancang selama di perjalanan. Kami memilih tempat-tempat yang sekiranya aman atau berkunjung di jam-jam sepi.
Seperti saat ke Malioboro, kami sengaja datang pagi-pagi sekali saat jalanan tersohor itu masih sepi sehingga kami pun bisa berpuas diri memotret suasana dengan aman. Kami juga sempat mengunjungi beberapa tempat lainnya, seperti toko oleh-oleh yang kondisinya relatif sepi karena terdampak pandemi.
Kami tiba kembali di Surabaya dengan sentosa, termasuk selamat dari penularan Covid-19. Pengalaman ini kemudian menjadi modal penting untuk menyusun perjalanan berikutnya.
”Keberhasilan” perjalanan ini rupanya membuat ”iri” anggota keluarga yang lain. Jadilah kami merancang perjalanan berikutnya yang terlaksana 6-9 November 2020.
Kali ini tidak tanggung-tanggung. Perjalanan melibatkan 11 orang dengan dua mobil. Perjalanan dengan kendaraan pribadi saya nilai lebih aman ketimbang dengan angkutan umum. Ini karena kelak saya tertular Covid-19 yang saya perkirakan terjadi dalam perjalanan dengan moda angkutan umum, yakni kereta api.
Pada awal Januari 2021, saya mendapat penugasan ke Jakarta. Perjalanan Surabaya-Jakarta dan sebaliknya menggunakan moda kereta api yang selalu diawali dengan tes rapid. Penularan memang bisa saja terjadi di tempat lain karena virus begitu pintarnya mencari celah. Akan tetapi, dengan membatasi kontak dengan banyak orang, kemungkinan tertular akan semakin sempit.
Selain menghindari penggunaan angkutan umum, saat itu kami juga menghindari lokasi wisata yang populer yang sekiranya masih ramai dikunjungi meski dalam kondisi pandemi. Untuk penginapan, kami juga mencari yang sekiranya sepi, tidak menggunakan kolam renang dan fasilitas umum yang disediakan.
Untuk makan dan minum, kami mencari tempat yang resik dan tidak banyak pengunjung meski berisiko pada peningkatan biaya. Kiat lain, membeli makanan dan minuman, tetapi tidak dikonsumsi di tempat, tetapi dinikmati di penginapan.
Beberapa obyek wisata yang sempat kami datangi ketika itu, antara lain, Puthuk Setumbu, Bukit Rema, Goa Maria Lawangsing, Geblek Pari, Museum Cokelat Monggo, dan De Tjolomadoe. Kami juga sempat menikmati wisata kuliner gudeg, bakmi dan nasi goreng Jawa, bakpia, wedangan, angkringan, dan sate/gule/tongseng.
Selama berada di obyek wisata, ketika orang mulai banyak berdatangan, kami akan segera menyingkir. Untuk kulineran, akan kami nikmati di tempat kalau sepi atau memintanya dibungkus jika ramai pengunjung. Pulang liburan, pengetesan terhadap kami semua, hasilnya negatif Covid-19.
Dari dua pengalaman tadi, saya jadi tambah berani untuk rutin mencari hiburan. Sebagai warga Surabaya, tempat main utamanya jelas Malang Raya atau Mojokerto Raya yang berhawa sejuk dan kulinernya enak-enak.
Hampir setiap dua pekan, sebelum peringatan pemerintah untuk menahan liburan pada masa Natal dan Tahun Baru, saya mengajak bepergian keluarga terutama ke Batu atau Malang.
Kurun Januari-Februari 2021, kegiatan bepergian otomatis berkurang karena saya terkena Covid-19. Selepas itu, kurun Maret-Mei 2021 atau sebelum ledakan varian Delta, dua-tiga kali saya dan keluarga kemping atau menginap di luar kota.
Kami tetap konsisten untuk disiplin dengan protokol kesehatan. Tempat-tempat yang kami datangi juga harus sepi. Jika ramai, mending mencari tempat lain atau bahkan balik kanan dan pulang.
Seiring kasus Covid-19 yang melandai sejak Agustus 2021, perjalanan saya ke luar Surabaya juga semakin sering, seperti ke Mojokerto, Jombang, Magetan, Madiun, Kediri, dan Tulungagung. Sebagian di antaranya dalam rangka peliputan.
Setahun setelah itu atau tepatnya September 2021, saya kembali berkesempatan menengok orangtua di Yogyakarta seusai meliput di Nganjuk dan Madiun. Kunjungan singkat yang menjadi alasan untuk kembali sebulan kemudian bersama istri, anak, dan keluarga besar, sepekan menjelang Natal 2021.
Pada kedatangan 18-20 Desember 2021 itu, kami manfaatkan juga untuk mengunjungi Pantai Ngobaran, Pantai Nguyahan, Goa Maria Tritis, Gereja Hati Kudus Yesus, Ganjuran, dan Museum Cokelat Monggo.
Saat itu, tempat-tempat yang kami datangi dalam suasana sepi sehingga kami bisa berpuas menikmati suasananya. Yang agak ramai adalah Ganjuran, tetapi karena luasnya kompleks, membuat kami dapat menerapkan jaga jarak dengan orang lain.
Berbagai pengalaman itu mengajarkan kami tentang normal baru. Hidup yang tak lagi sama seperti sebelum pandemi, bagaimana berinteraksi dengan orang dan berdisiplin dengan diri sendiri.
Seperti sering dikatakan para pejabat negara dan epidemiolog, disiplin (protokol kesehatan) ibarat ”vaksin” penguat yang memperkecil peluang penularan Covid-19. Yang lebih baik tentu menahan diri.