Tersayat oleh Kepiluan Warga Kinipan
Saya diminta menggigit mandau di beberapa sisi. Ia kemudian menempelkan mandau itu di bahu dan kepala saya. Mantir adat merapal doa sambil mengikatkan gelang di tangan kanan. Kepala saya lantas dilempari beras kuning.
Sejak Juli 2018, saya sudah mulai menulis konflik masyarakat adat Kinipan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mencoba merambah hutan adat mereka. Namun, kesempatan untuk pergi ke Kinipan baru datang pada Januari 2019.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing menelepon dan mengundang saya datang ke Kinipan. Ia bercerita, saat itu warga Kinipan tengah menggelar Festival Dayak Tomun yang berisi berbagai pergelaran ritual dan kompetisi tradisi.
Seusai bercerita soal festival, sebelum menutup teleponnya, Effendi Buhing menyampaikan, ”Mungkin Aldo mau melihat langsung bagaimana nasib kami yang belum jelas ini. Nanti bisa lihat sendiri bagaimana rusaknya hutan kami.”
Nanti bisa lihat sendiri bagaimana rusaknya hutan kami.
Kalimatnya yang terakhir mengusik nurani saya. Telepon ditutup dan saya pun mulai mengemas barang bawaan. Perjalanan dari Kota Palangkaraya tempat saya tinggal dimulai saat matahari belum benar-benar terbit.
Saat itu langit masih gelap. Butuh lebih kurang 11 jam perjalanan darat untuk sampai di Nanga Bulik, ibu kota Kabupaten Lamandau. Butuh tambahan 3 jam lagi untuk masuk ke Desa Kinipan yang terletak di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Ketika tiba, langit sudah kembali gelap.
Sesampainya di sana, saya langsung diterima Kepala Desa Kinipan Willem Hengki. Bahkan, saya dipersilakan tidur di rumah keluarganya yang berbentuk rumah panggung. Saya tidur di ruang tamu ditemani selimut dan karpet berbulu halus. ”Ini rumah mertua saya. Saya belum punya rumah sendiri,” ujar Willem.
Seusai bebersih diri dan makan malam, saya diajak Willem pergi ke rumah mantir adat (pemuka adat) bernama Pangkong. Pria berumur 60 tahun lebih ini bertubuh kecil, berkaca mata, dan tidak banyak bicara.
Dari kejauhan terdengar suara musik. Bukan musik distorsi dengan pengeras suara, melainkan alunan gendang dan gong. Bahkan, sebenarnya bunyi-bunyian itu sudah terdengar dari tempat saya menginap yang berjarak sekitar 700 meter.
Suara musik itu bersumber dari rumah kayu dua tingkat milik sang mantir adat. Di sana, puluhan warga desa telah menunggu kami. Begitu masuk, saya langsung dipersilakan duduk di barisan depan.
Baca Juga: Surga Tanaman Obat yang Sedang Sakit
Wajah-wajah asing menyambut, bukan dengan tatapan curiga, melainkan dengan senyum ramah berhias gigi dan bibir merah bekas sirih pinang. Beberapa bahkan masih saja tersenyum sambil sesekali membuang remah dan ludah sirih ke wadah kaleng di dekatnya.
Para lelaki mengenakan ikat kepala dari kain batik, sedangkan para puan sebagiannya mengenakan selendang. Di dalam ruangan itu saya mencoba mencerna obrolan. Musik yang begitu dekat membuat kami berbincang dengan berteriak.
Tiba saatnya saya dipanggil. Di hadapan semua warga yang duduk bersila di tikar, saya diminta duduk di atas gong lalu dipakaikan ikat kepala. Musik kembali berkumandang.
Baca Juga: Susahnya Mendekati Korban Cinta Palsu
Pemuka adat mendatangi saya, mengucapkan salam dengan mengatupkan tangannya, lalu mengambil sebilah mandau atau parang. Saya diminta menggigit mandau itu di beberapa sisi.
Ia kemudian menempelkan mandau itu di bahu dan kepala saya. Gerak-geriknya mengingatkan saya kepada Ratu Inggris saat sedang memberikan gelar kesatria.
Kepala saya kemudian dilempari beras kuning. Pemuka adat lalu mengikatkan seutas tali. Selembar daun yang berisi sebutir beras dilipat lantas dililitkan pada tali tersebut.
Baca Juga: Jalan Panjang Pertahankan Hutan Adat Kinipan dari Bencana hingga Penjara
Tali terbuat dari akar pohon dan daun yang disebut sengkuba atau sengkubak (Pycharrhena cauliflora). Tanaman ini oleh masyarakat Dayak tak hanya digunakan untuk ritual adat, tetapi juga memasak.
Rangkaian ritual ini disebut ikat tongang. Mantir adat merapal doa sambil mengikatkan gelang di tangan kanan saya. ”Biarkan dia lepas sendiri,” ujar Pangkong meminta agar gelang itu tidak dilepas dengan sengaja.
Ritual berikutnya membuat saya merasa ngeri sebelum menjalani. Pangkong bersama beberapa orang lainnya mengambil gading gajah yang panjangnya lebih dari setengah meter. Ia lalu mengambil sebotol minuman dan menuangkannya ke dalam gading.
Baca Juga: Babak Belur oleh Kerumunan Massa
Saya kemudian diminta meminum minuman dari dalam gading gajah itu yang ternyata arak! Tenggorokan saya langsung panas, lambung hangat, dan kepala pusing. Bagaimana tidak, minuman itu harus dihabiskan dalam satu kali teguk.
Saya yakin sekali sengaja mengeluarkannya dari mulut sembari minum dan menumpahkannya ke badan saya, sebagian. Walakin, itulah salah satu arak terenak yang pernah saya minum di Kalimantan.
Setelah ritual selesai, saya diharuskan menari, setelah dipakaikan kostum adat dan selendang, masih dengan ikat kepala yang sama. Saya menari dengan seorang ibu yang sedari tadi memegang cerek berisi tuak merah.
Baca Juga: Harta yang Paling Berharga di Hutan Kinipan Kalimantan
Gendang dan gong kembali ditabuh. Alunan musik mengarahkan gerak tubuh saya yang sebenarnya enggan menari. Ditambah alkohol di dalam nadi, geraklah sudah.
Keesokan harinya barulah saya tahu ritual tersebut bernama bagondang. Tradisi ini untuk menyambut kedatangan tamu dengan hiburan, musik, tarian, hingga minuman adat.
Bagi masyarakat Dayak Tomun, khususnya di Kinipan, bagondang merupakan ekspresi kebahagiaan menyambut tamu yang datang. Pangkong menambahkan, dalam tradisi bagondang, khususnya saat tamu datang, juga disisipi tradisi ikat tongang.
Baca Juga: Pengalaman di Rusia (3): Pengobat Kecewa di Moskwa
”Itu doa kami kepada para tamu supaya perjalanannya dilindungi dan mempunyai niat baik,” katanya.
”Sudahlah dijamu dengan musik, dihibur pula”, batinku.
Menurut tetua setempat, Komisioner Kantor Staf Presiden, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), sampai komisioner Komnas HAM juga pernah diterima dengan cara yang sama.
Pilu
Berkat satu malam tersebut, rasanya saya mengenal hampir tiap orang di situ, terutama yang datang ke acara ritual. Tak hanya itu, tiap kali melewati tikungan di Desa Kinipan, saya selalu disapa, seperti sudah kenal lama.
Sayangnya, semua senyuman itu berubah setelah saya dan warga berjalan kaki selama lebih kurang 2 jam untuk masuk ke dalam hutan. Hutan rindang dengan pohon-pohon besar itu memberikan suplai oksigen tak terbatas yang membuat lega paru-paru.
Namun, tak lama senyum warga berubah geram. Keringat mengucur deras saat masuk ke kawasan lahan yang sudah dibuka oleh perusahaan. Pepohonan menghilang. Wajah-wajah warga berubah suram. Dahi mereka mengernyit terkena sengatan matahari langsung.
Baca Juga: Masyarakat Adat di Kalteng Rawan Jadi Korban Kriminalisasi
Oleh seorang warga bernama Berkat Arus (62), saya ditunjukkan banyaknya pohon ulin, tanaman obat, dan tanaman lainnya yang tumbang, lalu membusuk dan mati. Padahal, dulunya lokasi itu tempat warga berburu babi hutan.
Lain lagi dengan Hardias Sway (53), yang dikenal sebagai tabib di Desa Kinipan. Pria yang hapal ratusan jenis tanaman obat ini, siang itu mencabuti beberapa tanaman yang diperolehnya di hutan. Tanaman-tanaman itu lantas ditanam di lahan terbuka, di sebelah tanaman sawit yang baru berumur satu bulan.
”Ini untuk anak-anak yang suka demam,” katanya sambil menunjuk tanaman tersebut.
Itu usahanya untuk mempertahankan keberadaan tanaman obat. Siang itu terlihat betapa pilunya warga Kinipan dalam mempertahankan hutan adat mereka.
Dari total 16.000 hektar lebih hutan adat Kinipan yang sudah dipetakan masyarakat bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sedikitnya 2.000 hektar di antaranya berubah menjadi lahan garapan perusahaan.
Masyarakat pun kesal lantaran aktivitas perusahaan tak kunjung henti meskipun telah mereka protes berulang kali.
Baca Juga: Komunitas Adat Laman Kinipan Kehilangan Hutannya
Kepiluan akibat surutnya luasan hutan adat mereka rasakan hingga kini. Tak lama setelah saya pulang dari sana, terdengar kabar, enam orang warga dipenjara akibat melawan perusahaan. Termasuk di antaranya Kepala Desa Kinipan Willem Hengki yang hingga kini masih menunggu nasibnya di pengadilan.
Saya teringat ritual adat yang diiringi tabuhan gendang dan gong saat di Kinipan. Barulah saya menyadari, meski saat itu warga tersenyum, ada kepiluan di balik senyum itu mengingat nasib hutan mereka. Di sela-selanya selalu mereka panjatkan doa, ”Selamatkan hutan kami.”