Tak Cukup Sepasang Mata
Setelah saya perhatikan dengan saksama, ternyata cairan itu adalah darah yang mengucur dari dahi saya yang robek terkena lemparan batu dari rombongan demonstran.
.
Sepasang mata saja terkadang tak cukup bagi seorang pewarta foto untuk terjun ke lapangan. Indra ekstra sering kali diperlukan untuk menangkap ancaman bahaya agar nyawa tetap terjaga saat bekerja.
Pengalaman dan jam terbang tak dimungkiri berperan penting dalam meningkatkan kepekaan seorang pewarta agar semakin berhati-hati saat meliput berita di lokasi atau kondisi berbahaya.
Terkadang terjadi, seorang pewarta yang belum berpengalaman harus terjebak dalam situasi berisiko tinggi tanpa sempat melakukan antisipasi untuk melindungi diri.
Hal itulah yang saya alami ketika belum genap enam bulan diangkat sebagai pewarta foto tetap harian Kompas. Sebuah aksi unjuk rasa oleh sekelompok mahasiswa yang digelar pada 20 Desember 2008 menggoreskan kenangan yang tak akan pernah saya lupakan.
Saat itu, kira-kira pukul 11.00, sekitar 20 mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional Yogyakarta bertolak dari UIN Sunan Kalijaga menuju simpang tiga Jalan Laksda Adisucipto, Sleman, DI Yogyakarta. Jaraknya sekitar 200 meter dari kampus tempat mereka menuntut ilmu.
Aksi unjuk rasa dilakukan untuk menyatakan protes terhadap rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Para mahasiswa berorasi dan membakar ban bekas di tengah pertigaan.
Akibat aksi unjuk rasa tersebut, arus lalu lintas di salah satu ruas jalan utama di Yogyakarta lumpuh total sepanjang 1 kilometer. Wartawan Kompas, M Final Daeng, yang juga rekan saya satu angkatan masuk Kompas, telah lebih dahulu berjaga di lokasi sambil memantau keadaan.
”Sepertinya bakal ricuh ini,” ujar Eng, panggilan akrab Final Daeng, melalui panggilan telepon.
Mendengar kabar itu, saya bergegas memacu sepeda motor menuju lokasi, melewati barikade yang dipasang polisi di dekat pertigaan. Unjuk rasa kian memanas. Polisi yang bertugas pun semakin memperketat penjagaan.
Saling dorong antara mahasiswa dan polisi tak terelakkan dan terjadi secara bergelombang. Pewarta foto dan jurnalis televisi dari sejumlah media mengambil gambar dari pelbagai posisi untuk mendapatkan rekaman peristiwa terbaik.
Bermodalkan kamera Nikon seri D3 dan lensa lebar, saya berusaha mengambil gambar sedekat mungkin, tepat sebelum bentrok antara polisi dan mahasiswa mulai terjadi.
Sekitar 30 anggota polisi dari Polres Sleman kemudian berusaha membubarkan secara paksa aksi unjuk rasa itu. Rombongan mahasiswa berhasil didorong mundur hingga memasuki gerbang kampus. Kedua belah pihak lalu saling lempar batu. Keadaan pun semakin memanas.
Menjelang sore, saling lempar batu antara polisi dan pengunjuk rasa kembali terjadi. Dalam kondisi seperti ini, idealnya pewarta foto yang meliput membekali diri dengan pelindung seperti helm. Namun, hal itu tidak saya lakukan karena saya yakin masih dapat memotret bentrokan dengan aman tanpa terkena lemparan batu.
Baca juga: Yang Menyebalkan Jadi Wartawan Perempuan
Keyakinan saya rupanya salah. Ketika polisi bergerak maju untuk menangkap sejumlah pengunjuk rasa yang menjadi provokator, saya ikut maju untuk memotret sedekat mungkin agar mendapatkan foto yang mampu mewakili peristiwa hari itu.
Saat sejumlah polisi berhasil menangkap salah satu pengunjuk rasa lalu menarik kaki dan tangannya, saya memotret sambil terus mengikuti pergerakan mereka. Posisi badan saya membelakangi rombongan demonstran yang berada di dalam kampus. Mereka terus melemparkan batu ke arah polisi.
Saat saya memotret dari sudut atas (high angle) tanpa menggunakan jendela bidik, dengan kamera berada di atas kepala, tiba-tiba berondongan rana dari kamera saya terhenti.
Sepersekian detik kemudian sebuah benda keras terasa mengenai kepala bagian depan setelah memantul dari badan kamera. Seketika cairan dingin membasahi area sekitar hidung dan pipi.
Setelah saya perhatikan dengan saksama, ternyata cairan itu adalah darah yang mengucur dari dahi saya yang robek terkena lemparan batu dari rombongan demonstran. Saya pun segera menepi dan sempat menjawab pertanyaan seseorang yang tidak tampak jelas karena pandangan saya yang sempat tertutup cairan darah.
Ternyata penanya tersebut adalah seorang jurnalis televisi yang berhasil mendapatkan gambar saya ketika terkena lemparan batu.
Saya berusaha menyeberang menuju tempat aman. Beberapa saat kemudian, seorang pria pengendara sepeda motor yang melintas berhenti. Mungkin karena iba melihat kondisi saya saat itu. Ia pun berbaik hati menawarkan tumpangan menuju rumah sakit terdekat agar saya dapat segera mendapat perawatan.
Baca juga: Tersayat Kepiluan Warga Kinipan
Pria yang hingga kini tidak saya ketahui namanya itu mengantar saya hingga ke ruang IGD Rumah Sakit Pusat Angkatan Udara dr S Hardjolukito yang berjarak 3,9 kilometer dari lokasi bentrokan. Saya segera mendapat tiga jahitan untuk menutup luka robek di dahi.
Diiringi rasa bersalah karena kamera Nikon D3 milik kantor rusak, saya pun mengambil kartu memori berisi foto-foto bentrokan unjuk rasa, hari itu. Kartu saya titipkan kepada wawan H Prabowo, pewarta foto harian Kompas senior saya, saat ia menjemput di rumah sakit.
Wawan lantas mengirimkan sejumlah foto unjuk rasa itu kepada Eddy Hasby, Kepala Desk Foto Kompas saat itu. Keesokan harinya, salah satu foto bidikan saya terpampang di halaman 15 koran Kompas, menyertai artikel berita yang berjudul ”Mahasiswa Bentrok dengan Polisi”.
Paragraf kedua berita yang dibuat oleh Eng itu berbunyi, ”Dalam bentrok itu, fotografer harian Kompas, Ferganata Indra Riatmoko, menderita luka bocor di kepala akibat tertimpuk batu dan mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit AURI Yogyakarta. Kamera Indra, yang saat itu sedang membidik penangkapan seorang mahasiswa, juga terkena lemparan batu sehingga mengalami kerusakan cukup berat.”
Saya pun tertegun mengingat kamera yang belum genap tiga bulan saya pakai itu. Harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Baca juga: Susahnya Mendekati Korban Cinta Palsu
Beberapa hari sesudah peristiwa tersebut, saya kembali liputan ke lapangan dalam kondisi perban masih menempel di dahi dan rasa nyeri yang sesekali terasa. Sehari setelah peristiwa itu, sebenarnya adalah jadwal sesi pemotretan pranikah saya dengan calon istri.
Namun, karena tidak mungkin berfoto dengan perban masih di dahi, jadwal itu pun terpaksa diundur. Demikian pula dengan beberapa rencana lain yang telah saya agendakan terpaksa harus ditunda.
Sejak peristiwa itu, saya belajar untuk lebih berhati-hati saat memotret suatu peristiwa dan selalu membawa bekal alat perlindungan diri yang memadai, terutama saat harus bertugas di tempat dan kondisi yang berisiko.
Kemampuan untuk memetakan potensi bahaya di sekeliling pun semakin terasah seiring berjalannya waktu meski proses belajarnya harus diawali dengan peristiwa yang meninggalkan bekas luka seumur hidup.