Yang Menyebalkan Jadi Perempuan Wartawan
“Liputan di kepolisian susah sekali ya? Mbak kan manis, mungkin jadi lebih gampang ya?" Pertanyaannya mencerminkan pandangan umum bahwa tampang bisa menentukan lancar tidaknya proses kerja, "beauty privilege" istilahnya.
“Dia kan cakep, jadi ya gampang dapat infonya. Tinggal dia senyum-senyumin genit aja tuh narsumnya”.
“Pasti dia ngapa-ngapain tuh sama narsumnya makanya bisa dapat info eksklusif”.
“Dia sih di sini wartawan cewek paling galak, hati-hati lu entar kena semprot”.
Ocehan-ocehan di atas dan yang semacamnya, bisa jadi lazim terdengar di antara wartawan dan tak dianggap masalah, padahal sangat menyebalkan.
Tulisan ini sekadar sketsa pengalaman tentang hal-hal menyebalkan yang kadang dialami perempuan yang bekerja sebagai wartawan. Tentang berbagai cap, stigma, purbasangka, dan tudingan, yang mudah dilayangkan pada perempuan wartawan. Belum lagi ancaman kekerasan/pelecehan seksual yang senantiasa membayangi.
Beberapa waktu lalu datang permintaan mengisi kuesioner penelitian ke ponsel saya, terkait pengalaman negatif selama menjadi wartawan. Penelitian itu dilakukan sebuah universitas negeri dan universitas swasta di Indonesia yang bekerja sama dengan sebuah universitas di Rusia.
Biasanya, saya menunda mengisi kuesioner penelitian tapi tidak untuk kali ini. Tanpa perlu berpikir keras, saya menuntaskannya dalam waktu kurang dari 15 menit.
Mudah saja mengerjakannya, mungkin karena kuesioner itu jadi kanal pelampiasan saya sebagai perempuan wartawan. Gara-gara kuesioner itu pula saya jadi tergerak untuk menuliskan artikel ini.
Beberapa tahun lalu, saya pernah dimintai tolong Diklat Kompas untuk membimbing para cawar alias calon wartawan harian Kompas. Sesi mentoring senantiasa berlangsung tatap muka, orang per orang.
Dalam setiap sesi biasanya membahas tulisan hasil reportase yang dilakukan cawar. Di luar itu, cawar bisa bertanya dan berkonsultasi apa pun terkait dunia kewartawanan.
Salah satu pertanyaan berkesan yang pernah diajukan seorang perempuan cawar kepada saya adalah, “Mbak, gimana ya liputan di kepolisian itu, susah sekali ya Mbak? Mbak kan soalnya manis, mungkin jadi lebih gampang ya? Saya agak nggak pede, Mbak.”
Si perempuan cawar ini mengajukan pertanyaan secara terus terang dan lugu, tidak ada nuansa pretensi nyinyir ala netizen yang maha benar. Pertanyaannya mewakili pandangan umum bahwa tampang seseorang bisa menentukan lancar tidaknya suatu proses kerja, beauty privilege istilahnya.
Mungkin, jika pertanyaan itu saya hadapi lebih dari 10 tahun lalu, saya akan mudah tersinggung. Sebab, isu di balik pertanyaan itu telah lama mengganggu di benak.
Beda saat mementori sang cawar. Saya malah senang sekali ditanya terus terang seperti itu. Sebab, pertanyaan itu bisa menjadi pintu masuk untuk memengaruhi pikiran sang cawar, terutama perempuan.
Lewat pertanyaan itu saya jadi bisa berupaya menginjeksi sikap atau prinsip tertentu yang saya harapkan dapat membantu membentuk si cawar menjadi perempuan wartawan (Kompas) yang bermartabat di kemudian hari.
Baca juga: ”Saya Noordin!”, Sebuah Pelajaran Pahit Jurnalisme Sensasi
“Jangan pernah memanfaatkan dan mengandalkan ‘keperempuanan’ kita dalam menjalani kerja jurnalistik. Yang harus kita andalkan cuma dua hal, ketajaman otak dan sikap baik sesuai norma umum dan etika jurnalistik. Memang cuma dua hal utama itulah yang mendefinisikan makna profesionalisme dalam kerja jurnalistik,” ujar saya kepadanya.
Saya sampaikan, memakai jurus muslihat “keperempuanan” dalam kerja jurnalistik bisa berpotensi menjadi investasi merugikan yang akan ditanggung pribadi. Muslihat yang dimaksud, misalnya, dari yang paling “sederhana” seperti merayu dan bergenit-genit ria kepada narasumber, demi informasi.
Jika demikian, pada saat pensiun dari media tempat bekerjanya nanti, wartawan tersebut hanya akan meninggalkan rekam jejak reputasi miring yang merugikan diri sendiri.
Padahal, modal utama profesi wartawan tak lain adalah kredibilitasnya. Kredibilitas inilah satu-satunya yang paling berharga, bahkan akan terbawa hingga masa pensiun kelak.
Perusahaan media yang terkena getah polah miring wartawannya, akan lebih mudah terhindar atau terhapus citra buruknya, lewat siasat strategi kehumasan ala korporat, misalnya.
Tidak begitu dengan reputasi si wartawan yang tidak mudah dicuci bilas begitu saja. Benar-benar akan menjadi beban yang akan ditanggungnya sendiri.
Baca juga: Mengintip Narasumber 'Creme de la Creme' dalam Liputan Terorisme
Gosip
Pertanyaan sang cawar kemudian mengingatkan saya pada pengalaman meliput isu terorisme selama bertahun-tahun. Semua wartawan di negeri ini pasti mengamini betapa ruwetnya meliput isu terorisme.
Satu hal mendasar penyebab keruwetan itu adalah teramat sulitnya wartawan menembus akses narasumber tersahih. Tidak heran jika dahulu kerap terjadi kesimpangsiuran informasi setiap kali ada kejadian terkait terorisme.
Entah itu serangan atau pun penggerebekan jejaring teroris. Akibatnya, setiap media pun berlomba-lomba mencari informasi eksklusif yang untuk mendapatkannya sangat tidak mudah.
Persaingan mendapatkan informasi eksklusif itu yang sepertinya berujung pada prasangka terhadap perempuan wartawan yang bisa mendapatkannya. Ini saya ketahui ketika tanpa sengaja mendengar langsung celotehan dan rumpian para wartawan.
Saat itu, kami tengah menunggu jumpa pers di Mabes Polri tentang penggerebekan teroris di Palembang, Sumatera Selatan, tahun 2008. Jumpa pers itu kelanjutan perkembangan penggerebekan yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Baca juga: Tersayat oleh Kepiluan Warga Kinipan
Dalam celotehan itu, salah seorang perempuan wartawan berujar sambil tertawa-tawa. Ia menyebut-nyebut soal seorang perempuan wartawan dari sebuah televisi, yang menurutnya pasti “macam-macam” dengan polisi Detasemen Khusus Antiteror sehingga berhasil mendapatkan peliputan eksklusif di Palembang.
Terlebih lagi si wartawan TV itu cantik, begitu ucapan ikutan yang terlontar. Saya terkesiap mendengarnya karena sangat tahu si perempuan wartawan TV yang digosipkan itu sama sekali tidak “macam-macam”.
Saya sendiri sempat meliput langsung tempat kejadian perkara (TKP) sesaat setelah penggerebekan terjadi. Informasi rencana penggerebekan itu sangat rahasia sehingga ketika menjelang subuh saya harus terbang sendirian ke Palembang. Saya terpaksa tidak bisa memberitahu suami tentang kota tujuan saya.
Itulah syarat yang diajukan oleh sumber yang mengizinkan saya merapat ke TKP di Palembang sebelum penyergapan digelar. Di sana, wartawan lain yang juga bisa menembus TKP adalah perempuan wartawan yang tadi digosipkan.
Usai evakuasi bom di TKP, barulah petang harinya saya bisa mencari tempat penginapan, dan gagal. Semua hotel di Palembang penuh karena sedang ada konferensi nasional para guru.
Alhasil, saya menginap di kantor redaksi Kompas di Palembang. Kebetulan di sana tersedia satu kamar tidur dengan satu ranjang. Ketika itu, Kepala Biro Kompas di Palembang, Mas Boy (Buyung Wijaya Kusuma) membantu menyiapkan keperluan saya menginap.
Baca juga: Susahnya Mendekati Korban Cinta Palsu
Ketika saya hendak bersiap tidur, ponsel berdering dari si perempuan wartawan TV itu. “Sar, loe dapet hotel? Polisi-polisi itu udah pada duluan di sini jadi masih bisa dapet hotel. Gue udah berjam-jam muter-muter gak dapet-dapet nih, penuh semua, bisa gak ya gue numpang tidur di tempat loe?” tanyanya.
Spontan saya mempersilakannya menginap. Akhirnya, ia menumpang tidur satu kamar dengan saya. Saya tidur di ranjang, dia di kasur busa beralas tikar. Sementara, si kamerawan tidur di sofa di ruang tengah kantor.
Selama di Palembang, kami kerap bersama dalam mengikuti dinamika pergerakan para polisi antiteror dari satu TKP ke TKP lainnya. Ketika itu, akses kesempatan tersebut memang hanya kami berdua yang bisa menembusnya.
Di balik akses itu, ada kerja lobi kewartawanan yang mesti saya jalani selama bertahun-tahun, yang lalu berbuah kepercayaan para narsum sehingga akses informasi dan TKP bisa dicapai. Saya rasa begitu pula pada dirinya dan media tempatnya bekerja.
Selama di Palembang, saya amat yakin tak ada satu sinyal pun yang menunjukkan bahwa dirinya “macam-macam". Kalau memang mau macam-macam, sudah pasti dia tidak akan memilih numpang tidur di kantor Kompas bersama saya dengan fasilitas seadanya.
Sudah tentu pula mestinya ia mendapat fasilitas istimewa dari polisi-polisi antiteror. Namun, itu semua tidak terjadi sama sekali.
Baca juga: Babak Belur oleh Kerumunan Massa
Bertahun-tahun saya meliput ke berbagai lokasi penyergapan jejaring teror, tak pernah sekalipun mendapat fasilitas istimewa dari kepolisian, selain soal akses informasi. Di luar urusan informasi, ya harus urus sendiri. Tak ada relevansinya pula dengan saya yang perempuan lalu apa-apa perlu dibantu atau dilayani.
Saya pun lantas merespons rumpian sekelompok wartawan yang tadi menggosipkan perempuan wartawan TV itu saat menunggu jumpa pers. Saya katakan dengan datar bahwa selama di Palembang si wartawan TV itu numpang tidur di kantor saya dan selama di sana kami sering berbarengan.
Saya membelanya bukan karena pertemanan tapi karena memang tahu sendiri faktanya. Saya sendiri tidak mengenal si wartawan TV itu secara personal, melainkan sebatas relasi rekan satu profesi.
Dari kejadian tersebut saya paham, selain senantiasa terancam terlecehkan oleh kaum laki-laki, betapa mudahnya pandangan miring terhadap perempuan wartawan datang, bahkan dari sesama perempuan wartawan sendiri. Sedih juga rasanya. Kala itu, belum ada slogan gagah, seperti “women supporting women”.
Saya masih beruntung, di redaksi Kompas selama ini, rekan-rekan perempuan wartawan, mulai dari yang junior hingga senior, saling mendukung dengan penuh kesadaran. Dari rekan-rekan perempuan wartawan senior itu pula saya sangat banyak menyerap, belajar, dan meneladani sikap mereka.
Baca juga: Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Mekanisme bertahan
Saya lalu menceritakan kepada si cawar, pengalaman saya ketika lama bertugas sebagai wartawan yang ngepos di Mabes Polri. Sejak awal memasuki wilayah peliputan itu, secara naluriah saya menyetel sikap tegas dan berjarak.
Mekanisme bertahan ini sepertinya terbentuk karena pengalaman meliput di kalangan “berseragam” sebelum saya bekerja di Kompas.
Sebelumnya, pengalaman pertama saya sebagai wartawan profesional adalah di media asing Jepang, sebuah televisi publik. Peliputan yang sempat lama saya jalani adalah seri persidangan ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor Leste yang melibatkan sejumlah jenderal TNI.
Pernah suatu pagi ketika tengah menunggu sidang di areal pengadilan HAM yang masih sepi dan lengang, tiba-tiba dari belakang, kedua pundak saya dipijat-pijat oleh sepasang tangan yang terasa kokoh.
Seketika saya terperanjat. Terlebih ketika menoleh jadi tahu bahwa yang melakukannya adalah seorang jenderal, salah satu terdakwa. Sentuhan yang saya rasakan tersebut sulit saya gambarkan ketidaknyamanannya.
Yang jelas, saya merasa sentuhan tersebut sangat tidak pantas. Sekalipun jika ada orang lain yang melihatnya, mungkin hanya akan menganggap, “Ah cuma dipijat pundaknya doang”.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (3): Pengobat Kecewa di Moskwa
Saya tidak mengenalnya secara pribadi, tidak ada kedekatan personal apa pun. Selama ini interaksi kami paling banter hanyalah wawancara dengan mencegat alias door stop.
Spontan saya mengentakkan pundak dan melemparkan pandangan melotot padanya. Sang jenderal hanya meresponsnya dengan senyum dan ucapan basa-basi.
Saya yang masih sangat hijau di dunia jurnalisme profesional mulai bercuriga. Apakah narsum, apalagi yang berseragam, cenderung tangannya mudah celamitan karena merasa punya kuasa?
Sejak itu dalam diri perlahan terbentuk “mekanisme bertahan” untuk senantiasa pasang kuda-kuda jika menghadapi tipologi narsum-narsum tertentu.
“Catcalling”
Ketika bertugas di Mabes Polri, seorang polisi pernah berterus terang kepada saya. Dia bilang, di kalangan polisi Mabes Polri, saya disebut-sebut sebagai perempuan wartawan paling galak.
Begitulah contoh stigma yang menyebalkan. Ketika perempuan berusaha bersikap tegas akan dibilang galak. Tidak begitu dengan laki-laki wartawan yang bersikap tegas.
Mungkin sebutan galak itu gara-gara saya pernah amat marah ketika mengalami catcalling dari seorang polisi di lingkungan Mabes Polri.
Saat itu saya sempat memarahinya terang-terangan, lalu mengadukan perbuatannya ke Divisi Propam yang membuat si polisi pelaku mendapat teguran keras dari atasannya.
Kemarahan serius “hanya” gara-gara catcalling pada saat itu masih dianggap lebay, berlebihan, dan berakibat diri saya menuai predikat galak.
Kesadaran publik tentang harrasment atau pelecehan, waktu itu belum seterang benderang seperti hari ini. Tindakan catcalling masih dianggap wajar sehingga dirasa cukup diabaikan saja.
Namun, saya merasa hal itu tidak dapat diabaikan begitu saja. Apalagi terjadi di lingkungan lembaga negara. Dan saya berada di sana sebagai wartawan yang sedang bertugas.
“Tapi ternyata Mbak Sarie juga baik ya, hehehe. Nggak segalak yang dibilang orang-orang...,” kata seorang polisi lain, yang pada suatu waktu saya traktir makan siang di warung belakang Bareskrim.
Saya tertawa memakluminya. Traktiran tulus makan siang tak disangka telah sedikit melunturkan bangunan prasangka di benaknya terhadap saya.
Ketika itu saya membatin, andaikan ucapan polisi itu disampaikan juga ke rekan-rekan laki-laki wartawan di redaksi yang juga kerap mengecap saya perempuan galak. Begitulah, ekosistem redaksi di berbagai media sejak dulu memang cenderung lebih "maskulin" kalau tak ingin menyebutnya patriarkis.
Perempuan yang bersuara terus terang atau lugas soal berbagai hal, termasuk hal-hal yg dimauinya, mudah dapat stempel galak. Sementara, kalau laki-laki yang bersikap demikian niscaya akan dicap "tegas".
Saya kemudian teringat serial drama politik yang amat memikat, berjudul “House of Cards” (Hoc) yang pertama kali tayang pada periode 2013-2018. Sepertinya semua wartawan wajib menonton serial ini.
Musim-musim awal serial tersebut mengisahkan seorang perempuan wartawan bernama Zoe Barnes, reporter harian The Washington Herald. Zoe kerap mendapatkan informasi eksklusif dengan cara “membarter” seks dengan informasi.
Demi sejumput informasi yang dianggapnya penting, Zoe bersedia berhubungan seks dengan seorang anggota legislatif bernama Frank Underwood. Berita-berita yang ditulis Zoe kemudian kerap “berhasil” membuat heboh dan bercokol di halaman muka koran. Namun, apakah berita-berita itu mengandung kebenaran?
Di musim-musim berikutnya terkuak, berita-berita garapan Zoe tersebut ternyata sangat bias dan hanya memuluskan agenda jahat tokoh Frank Underwood. Sayangnya, untuk bisa benar-benar menyadari bahwa beritanya bias dan dirinya hanya jadi alat yang dimanfaatkan, Zoe kemudian keburu mati.
Perspektif lazim
Saya sebenarnya jengkel dengan pembingkaian serial HoC dalam menggambarkan sosok wartawan yang direpresentasikan oleh Zoe Barnes. Apalagi ada plot dialog Zoe dengan perempuan wartawan seniornya yang mengaku juga berhubungan seks dengan narsum politisi demi mendapatkan informasi eksklusif.
Plot itu memperkuat pandangan bahwa perempuan wartawan lazim menggunakan muslihat “keperempuanan" untuk mendapatkan informasi eksklusif.
Ditambah lagi dalam perkembangannya, setelah tokoh Zoe mati, mantan pemimpin redaksinya yang laki-laki, menggarap kelanjutan liputan investigasi itu secara benar-benar profesional.
Sisi “overthinking” saya mencernanya sebagai berikut, perempuan wartawan kalau kerjanya terlihat hebat, itu karena dia menggunakan jurus muslihat “keperempuanan”. Sementara wartawan laki-laki, kalau kerjanya hebat, itu pasti profesional dan bermodal ketajaman otak.
Plot itu yang memperkuat pandangan bahwa perempuan wartawan lazim menggunakan muslihat “keperempuanan" untuk mendapatkan informasi eksklusif.
Pembingkaian potret perempuan wartawan seperti Zoe Barnes dalam berbagai film relatif mudah dijumpai. Walaupun ada juga film-film yang tidak membingkainya demikian, bahwa perempuan wartawan sama sekali tidak harus “membarter” dirinya demi informasi eksklusif yang berpotensi mendongkrak karir kewartawanannya.
Dalam hal ini, yang menjadi isu bukanlah soal kehendak bebas seorang perempuan wartawan mau berhubungan seks dengan siapa pun, melainkan menggunakannya sebagai instrumen dalam kerja jurnalistik. Itulah yang perlu dikritisi secara profesionalisme.
Pada akhirnya, kepada si perempuan cawar tadi saya sampaikanuntuk mengabaikan saja jika ada editor atau senior di redaksi yang (terkesan) hendak mengondisikannya untuk memanfaatkan keperempuanan yang bertentangan dengan hati nurani, demi menembus informasi eksklusif.
Jangan silau dan tergoda oleh “pencapaian” jurnalistik dengan cara-cara demikian. Lebih baik kebobolan. Kalau sedang malas berbantahan, ucapkan “iya” di mulut, putar lagu My Way dari Frank Sinatra, lalu katakan dalam hati: bodo amat.