Jejak Emosi hingga Pelangi di Negeri Kopi
Meliput dan menuliskan hasilnya sering kali butuh strategi. Mulai dari riset hingga menemukan narasumber yang tepat. Dilengkapi dengan penghayatan, kalau perlu pendekatan dengan orang lokal, demi menggali kisah menarik.
Seperti halnya saat menulis, ketika berada di perjalanan dalam rangka liputan, saya selalu mengusahakan sesantai mungkin agar bisa menikmati setiap jengkal dan detik prosesnya.
Untuk bisa seperti itu, saya menyiapkan dulu beberapa hal sebelum berangkat. Ibarat hendak bertamu ke rumah teman atau kerabat, tentu harus membawa modal. Minimal berupa alamat agar tidak tersesat. Begitu pula dengan menulis.
Bagi saya, yang paling utama adalah mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang tempat yang akan dikunjungi. Bisa apa saja, mulai dari keunikan, popularitas, kriminalitas, prostitusi, keamanan, larangan, makanan, kafe, budaya, keramahan, makanan, pakaian, asal-usul, cuaca, penginapan, hingga bahasa.
Ini penting untuk menjaga agar tidak bentrok dengan kepentingan orang lain jika berangkat bersama rombongan.
Saya akan memilih yang sekiranya menarik dan paling cocok dengan minat dan jadwal liputan. Ini penting untuk menjaga agar tidak bentrok dengan kepentingan orang lain jika berangkat bersama rombongan. Syukur-syukur ada kesempatan pergi sendiri sehingga bebas mengatur jadwal tanpa khawatir mengganggu kenyamanan orang lain.
Biasanya saya akan menghitung-hitung dulu bisa dapat bahan liputan apa saja dalam kurun waktu tertentu. Tentu saja dalam ritme gerak yang tidak perlu buru-buru.
Maksudnya, jika ingin mampir ke galeri yang sedang mengadakan pameran lukisan, saya akan mengukur waktu yang pas untuk bisa menikmatinya. Setidaknya setengah sampai satu jam. Kalau cuma lima sampai sepuluh menit, tentu tidak maksimal.
Baca juga : Dari Susah Sinyal sampai Sandal yang Tertukar
Hal ini saya terapkan saat liputan ke Jepang tahun 2016. Saat itu, pemandu wisata yang mendampingi kami menawarkan mampir ke Museum Kawaguchiko Muse. Di sana sedang ada pameran seni berupa koleksi boneka mini.
Secara prinsip, saya tertarik dengan pameran benda seni. Lalu saya menanyakan rencana durasi kunjungan ke sana. Pemandu bilang, kami akan berada di sana antara 45 menit sampai 1,5 jam. Oke, berarti cukup longgar dan saya putuskan untuk ikut.
Dalam perjalanan yang singkat dari hotel ke lokasi, saya sempatkan mencari informasi tentang museum tersebut. Sebelumnya, saya sama sekali tidak tahu tentang rencana kegiatan ini karena di luar jadwal. Ini agenda pengganti setelah salah satu agenda batal. Saya lupa alasan pembatalannya waktu itu.
Oleh karena durasi yang relatif longgar, saya dapat betul-betul menikmati pameran boneka di museum tersebut. Saya bahkan menemukan satu cerita tentang karya seni tersebut yang lalu menjadi tulisan berjudul Jejak Emosi Yuki pada Boneka Mini (Kompas, 7/2/2016). Tulisan ini sulit terwujud jika saya hanya mampir lima atau sepuluh menit.
Alasan lain, museum ini bukan tujuan wisata populer sehingga pasti banyak yang tidak mengenalnya. Ini salah satu cara lain menggali cerita baru dari tujuan wisata yang mungkin itu-itu saja.
Kita bisa mencari tempat-tempat yang tidak biasa dikunjungi pelancong lalu menggali hal yang menarik dari tempat itu. Bagi saya, berada di lokasi baru, bukan di kota atau kampung sendiri, selalu memberikan hal menarik.
Baca juga : Lima Jam yang Menentukan Usai Erupsi Semeru
Lebih menarik lagi jika itu belum banyak atau bahkan belum pernah diulas. Harapannya, paparan kita dalam tulisan nanti akan memunculkan efek kejut.
Salah satu kunci untuk mendapatkan hal itu adalah dengan cara membangun komunikasi dengan warga lokal. Kita bisa membandingkan informasi dari mereka dengan data yang sudah kita kantongi sebelumnya.
Kita bisa mencoba juga untuk menggali persepsi mereka tentang kampung mereka sendiri. Sudut pandang warga lokal terhadap apa pun bisa jadi menarik dibandingkan dengan impresi yang kita rasakan atau kita baca di banyak sumber tertulis.
Jika hal itu masuk dalam tulisan, akan memberi warna yang berbeda. Paling tidak, gambaran versi warga lokal itu bisa menguatkan atau bahkan membantah anggapan umum, seperti yang pernah ditulis banyak orang. Dengan begitu, tulisan kita maju satu langkah karena versi warga lokal yang selama ini hanya menjadi obyek, sekarang kita jadikan subyek pengamatan dan tulisan.
Gampang-gampang susah memang untuk membangun komunikasi ini. Paling enak dengan cara datang ke tempat-tempat umum, seperti kafe, toko buku, tempat nongkrong anak muda, atau ke komunitas yang sehobi.
Cara lainnya, dengan menghubungi kenalan yang tinggal atau tengah berada di daerah atau negara yang kita kunjungi. Tentu harus diukur tingkat kepercayaan dan keamanannya. Dari dia, kita bisa minta dikenalkan dengan warga lokal.
Baca juga : Jeritan Para Budak di Lautan
Biasanya saya membawa sesuatu sebagai alat untuk menyambung komunikasi. Misalnya, jika ke Nias atau Karo di Sumatera Utara, saya akan membawa daun sirih untuk membuka komunikasi. Ini untuk membangun kepercayaan dan simbol bahwa kita punya niat baik.
Bisa juga main-main ke pasar lalu membeli barang-barang tertentu, entah sebagai oleh-oleh atau lainnya. Jika menemukan orang yang sepertinya enak diajak ngobrol, saya akan membeli dengan harga sedikit berlebih. Dengan begitu, secara psikologis, kita akan berada ”di atas” sehingga mudah untuk mengajaknya bercerita.
Bila perlu dan memungkinkan, kita juga bisa menginap di rumah warga. Dengan demikian, kita tidak saja dapat berkomunikasi dengan warga lokal, tetapi juga dapat mengamati dari dekat dan dalam tentang banyak hal. Ini bisa menjadi bahan yang mungkin akan mengejutkan pembaca.
Waktu saya ke Tanimbar, Maluku, kebetulan ada rekan asli sana yang tinggal di Jakarta. Lewat dia saya dikenalkan kepada kerabatnya di Tanimbar. Ini sangat membantu saya dalam penggalian data dan hal-hal menarik lainnya selama di sana.
Pendekatan yang sama saya lakukan ketika bertugas meliput pacuan kuda anak-anak di Taneh Gayo, Aceh. Saya mencoba mencari warga lokal. Kebetulan ada teman satu hobi memotret yang cukup akrab lantaran kami tergabung di grup Whatsapp komunitas yang sama.
Baca juga : Melawan Ragu di Kerawanan Semeru
Dari dia, saya menemukan banyak jalan untuk mengumpulkan data dan kemungkinan-kemungkinan lain, yang butuh waktu dan tenaga lebih banyak jika saya tak kenal dia. Berkat bantuan dia, saya bisa menulis tiga tulisan panjang, termasuk yang kemudian muncul di halaman satu Kompas.
Salah satunya, tulisan berjudul Sebongkah Pelangi di Negeri Kopi (Kompas, 20/9/2015) yang saya kemas dengan pendekatan perjalanan. Ini sebenarnya tulisan ”bonus” di luar tugas utama. Coba simak pada bagian pertengahan tulisan, di sana saya gambarkan kedekatan dengan teman ini. Saya bahkan menginap di rumahnya.
Oh iya, menginap di rumah warga sering kali mereka tidak mau dibayar dengan uang karena mereka memang murni ingin membantu. Namun, sebaiknya kita tidak benar-benar gratisan. Jika mereka tidak bersedia menerima uang, kita bisa menggantinya dengan sesuatu yang mereka suka, entah buku, pakaian, atau hal lain.
Ini akan sangat bernilai untuk ikatan batin, yang tentu saja membantu ketika suatu saat kita kembali ke sana.
Jika tidak memungkinkan memberinya saat itu, kita bisa mencatat dulu alamatnya dan mengirimkan sesuatu setelah kita tiba kembali di kota asal.
Ini akan sangat bernilai untuk ikatan batin, yang tentu saja membantu ketika suatu saat harus kembali ke sana. Tidak ada salahnya juga sesekali mengirim THR atau hadiah saat hari raya.
Saya sering membayangkan berada di posisi mereka. Memang tidak selalu uang yang dibutuhkan, kadang cukup selehai kaus, topi, atau buku. Kadang perlu lebih dari itu. Beda tempat, beda orang, beda kebutuhan. Di sinilah, kita butuh kepekaan.