Berkawan Rasa Takut, Meliput Covid-19 ke Bangkalan
Kehadiran para tokoh negara ke Bangkalan ibarat haram dilewatkan liputannya oleh para jurnalis, termasuk saya. Dengan kata lain, mau tak mau, kami mesti turut hadir ke ”pusat ledakan” pandemi itu.
Dua-tiga bulan ini dunia kembali dikejutkan oleh kemampuan virus SARS-CoV-2 yang bermutasi menjadi lebih mengerikan. Varian baru virus itu ternyata juga telah sampai di Jawa Timur.
Bahkan, di Bangkalan, di seberang Surabaya, kota tempat saya tinggal dan bekerja, sudah belasan warga terinfeksi virus varian B.1.671.2 Delta. Di India, varian virus ini telah menyebabkan ledakan kasus Covid-19, termasuk angka kematiannya.
Dua bulan sejak dinyatakan sembuh dari Covid-19, saya menerima vaksin. Namun, mutasi virus kabarnya menurunkan keampuhan vaksin sehingga potensi reinfeksi berpeluang terjadi. Artinya, ”kekebalan” yang saya dapat karena pernah sakit lalu sembuh dan ditambah vaksin pun belum cukup menjamin tubuh terlindung dari serangan virus jahanam itu.
Dengan kata lain, mau tak mau, kami mesti turut hadir ke ’pusat ledakan’ pandemi itu.
Lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, mulai tercatat secara resmi pada Sabtu (5/6/2021). Kecurigaan pun terbukti. Ledakan angka kasus disebabkan, antara lain, oleh masuknya virus varian baru. Bangkalan pun muncul menjadi ”barang seksi” yang tidak boleh diabaikan dalam peliputan. Sebelumnya, ledakan kasus terjadi di Kudus, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Kesehatan, Panglima TNI, Kepala Polri, dan pejabat utama negara lainnya menyempatkan diri ke Bangkalan guna mendorong penanganan komprehensif agar situasi segera mereda.
Kehadiran para tokoh negara tersebut ibarat haram dilewatkan liputannya oleh para jurnalis, termasuk saya. Dengan kata lain, mau tak mau kami mesti turut hadir ke ”pusat ledakan” pandemi itu. Bangkalan, kabupaten terbarat di Pulau Madura itu, terhubung dengan Surabaya melalui Jembatan Suramadu dan penyeberangan Ujung-Kamal.
Saya mencoba mengalahkan ketakutan akan tertular Covid-19 dengan meyakini keampuhan disiplin protokol kesehatan. Selain itu, saya memilih berangkat sendiri ke Bangkalan ketimbang ikut rombongan meski sudah tentu panitia menerapkan protokol kesehatan yang baik. Berangkat sendiri juga akan membuat saya lebih leluasa dan tidak membebani pihak lain. Saya pergi dengan mengendarai sepeda motor.
Saat wawancara di mana biasanya orang cenderung mengabaikan protokol kesehatan dengan mengerubungi narasumber, saya memilih tetap menjaga jarak dan mencoba mendengarkan dari jauh. Jika ingin bertanya, saya berteriak. Masa bodoh jika nantinya ditegur.
Baca Juga: Di Udara Papua, Pesawat yang Saya Tumpangi Kehabisan Bahan Bakar
Jika wawancaranya tidak terdengar dan memaksa saya mendekat bahkan berimpitan dengan orang lain, setelahnya saya akan segera menyemprot tubuh dengan disinfektan, macam menyemprot hama yang harus dimusnahkan. Masa bodoh jika tindakan saya itu terlihat lebay atau berlebihan, yang penting saya aman.
Dalam perjalanan pulang dari Bangkalan, saya terkena penyekatan lalu lintas dan kewajiban tes antigen. Saya tidak menghindarinya, malah saya manfaatkan untuk mengetahui apakah saya masih aman dari serangan Covid-19. Lumayan, kan, karena tesnya gratis. Ternyata hasil tes saya negatif alias aman. Sayangnya, kebijakan itu harus berakhir setelah 19 hari berjalan. Salah satunya karena adanya penolakan keras dari warga Madura.
Setelah berjalan hampir 16 bulan, tampaknya belum juga ada tanda-tanda pandemi Covid-19 bakal mereda, bahkan terlihat semakin menjadi-jadi. Hampir 2,1 juta orang telah terinfeksi dengan 56.000 jiwa di antaranya meninggal.
Bagi sebagian orang, angka 2,1 juta dan 56.000 tadi mungkin sekadar statistik atau deretan angka tak bermakna. Namun, bagi saya, angka-angka itu membawa dampak psikologis. Meskipun pernah terkena, saya masih takut menghadapinya dan saya tak malu mengakuinya.
Di sisi lain, profesi sebagai jurnalis menuntut saya akan situasi yang ideal. Saya memercayai jurnalistik adalah pekerjaan otak dan otot, ditambah sedikit nasib baik alias keberuntungan. Situasi pandemi Covid-19 yang menebar rasa takut otomatis berdampak terhadap cara dan gaya saya bekerja.
Baca Juga: Malam Terakhir yang Menegangkan di Puncak Jaya
Selama enam bulan sejak merebaknya pandemi, secara pribadi saya membatasi pergerakan dan kontak dengan orang lain (narasumber). Saya lebih mengandalkan otak dan nasib ketimbang otot alias menghindari kehadiran di lokasi peliputan. Tujuannya, menekan risiko tertular Covid-19.
Jauh di relung hati, saya sesungguhnya menyadari, ketidakhadiran amat jauh dari situasi ideal peliputan dalam mengumpulkan bahan laporan. Dengan mengurangi kerja otot, saya sadar, liputan-liputan akan terasa kering, miskin deskripsi, selain pelan-pelan akan membunuh kemampuan dalam mengindera peristiwa.
Kalaupun harus hadir langsung, demi menekan risiko tertular, kedatangan dibuat sesingkat mungkin, selain disiplin pada protokol kesehatan. Mungkin ini yang disebut ketakutan berlebihan di tengah ”perang buta” melawan Covid-19. Tidak heran, karena setelah 16 bulan berjalan, belum terlihat jelas apakah kemenangan akan berpihak pada umat manusia.
Di masa pandemi, peliputan lapangan relatif berpindah dari dunia nyata ke jagat maya. Sebelum pandemi, acara diskusi, seminar, pameran, pementasan hingga peluncuran produk selalu hadir dengan keriuhan massa.
Saat ini, keriuhan itu pindah ke platform virtual. Saya tak bisa lagi meraba, mencium, dan merasai suatu acara yang berlangsung di jagat maya meski informasi dan pengetahuan tetap muncul dalam acara itu.
Redaksi kami pada prinsipnya memberikan keleluasaan dalam bekerja di masa pandemi. Meski demikian, jurnalistik berkualitas tetap perlu diperjuangkan meski di masa pandemi mengalami pembatasan. Secara bertahap, saya mulai beradaptasi dengan mencoba cara-cara lain agar tetap eksis dan produktif menulis laporan jurnalistik yang baik.
Baca Juga: Petuah Terakhir Legenda Jazz Benny Likumahuwa
Pada awalnya, karena khawatir tertular, saya menghindari datang ke ”lokasi-lokasi” berisiko, seperti fasilitas kesehatan dan acara yang potensial menarik kehadiran banyak orang.
Ketika tarif tes cepat mulai terjangkau atau banyak digelar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Surabaya, saya berusaha ikut. Sebenarnya, sih, daripada bayar mahal di klinik. Lebih baik cari tes gratisan di pasar, kelurahan, atau tempat lain digelarnya tes itu.
Hingga Desember 2020, semuanya baik-baik saja ketika kemudian saya mendapat penugasan ke Jakarta. Sepulang dari Ibu Kota pada awal Januari itulah, saya harus menerima kenyataan yang tidak mengenakkan.
Pada hari kelima setiba dari Jakarta, kondisi kesehatan saya menurun. Istri curiga dan mendesak saya untuk tes. Kecurigaan itu terbukti. Saya terkontaminasi Covid-19 sehingga harus isolasi dan mendapat perawatan di RS Lapangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 2 Surabaya.
Pengalaman tertular sempat mengubah pandangan saya. Sempat terpikir, buat apa dari dulu berusaha disiplin protokol dan membatasi aktivitas liputan kalau akhirnya kena juga. Namun, pandangan itu kemudian gugur.
Baca Juga: Ketika Wartawan Disangka Bank Emok
Saya sadar bahwa yang keliru itu bukan disiplin atau pembatasannya, melainkan saya sendiri. Yang ideal, saya harus lebih disiplin dan lebih cerdas dalam bekerja.
Saya meyakini manusia adalah makhluk hebat yang adaptif. Terbukti melalui evolusi dan revolusi selama ratusan ribu tahun. Kita akan selalu menemukan cara untuk bertahan hidup dan berkembang, setidaknya bagi diri sendiri.
Saya jadi teringat petikan kata-kata Didik ”Didi Kempot” Prasetyo, sang Godfather of Broken Heart. Almarhum pernah bilang, ”Opo wae sing dadi masalahmu, kuwat ora kuwat kowe kudu kuwat. Tapi misale kowe uwis ora kuwat tenan, yo kudu kuwat.”
Jika diterjemahkan kira-kira artinya, apa pun masalahmu, kuat tidak kuat kamu harus kuat. Tapi misalnya kamu sudah tidak kuat, ya tetap harus kuat.
Kalau boleh sedikit saya pelesetkan dalam konteks jurnalistik, apa pun masalahmu, kamu harus kuat liputan (menulis). Tapi seumpama sudah tidak kuat liputan (menulis), ya harus tetap liputan (menulis).